Hadiah Perjalanan

RinaAnggraeni Safia 14 November 2015

“Berjalanlah ke tempat asing dengan hati, kemudian biarkan waktu menyampaikan hadiahnya”

Dingin menyeringai diantara pekat malam. Kabut menghalangi sorotan cahaya senter yang seharusnya mampu menembus gelap hingga 100 meter. Ini bukan tengah malam atau lewat dini hari, jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 20.30 WITA. Sepi dan sunyi melewati kebun cokelat dan pepohonan di samping jalan setapak. Aku berjalan seorang diri menuju rumah setelah mengajar ngaji dan berbincang-bincang ringan di rumah imam dusun, Bapak Herdi. Setengah jam yang lalu kupaksa anak-anak untuk kembali pulang terlebih dahulu, supaya mereka bisa makan malam dan belajar sebelum lampu padam pukul 22.00 WITA.

Sepanjang perjalanan aku menikmati bunyi jangkrik yang berisik, suara gesekan daun-daun yang tertiup angin, samar-samar jalanan setapak yang terkena cahaya dari senter, gonggongan anjing dari kejauhan, dan suara deru mesin genset yang memberi aliran listrik bagi dusun. Menjelang dua bulan penarikan, segala hal jadi terkesan dramatis, atau mungkin hanya aku yang terlalu perasa.

Sesampainya di rumah, aku bergegas masuk kamar, tidak bergabung menonton TV bersama mamak, bapak, dan juga putri seperti biasanya. Terlampau banyak deadline yang harus diselesaikan malam ini. “Na, maiko mande (mari sini makan)! A’de ko burorang le (tidakkah kamu lapar)?”, tanya mamak sembari mengetuk pintu kamar.

“iye’, mak. Sappinere (sebentar). Ganti baju jolu (dulu)”, jawabku dari dalam kamar.

Aku keluar dengan wajah kelelahan karena seharian bolak-balik dusun-kabupaten kemudian berangkat ke masjid. Seperti biasa, piring, cucian tangan, dan menu makan malam telah tersedia di atas meja, beserta mamak yang selalu menungguku untuk makan bersama.

“Na, di dalam dapur ada semangka. Mau kuambilkan?”, celetuk mamak di tengah ritual makan malam.

“Nanti pi, mamak. Mande ko jolu (kamu makan dulu)”, ujarku sembari mengunyah ikan tapilalang.

Dan lagi-lagi seperti biasa, apapun makanan yang ada di dapur pasti dikeluarkannya untukku. Tak tanggung-tanggung, mamak selalu menyuguhkan segala hal untukku dengan tangannya sendiri. Selepas makan malam, aku langsung bergegas masuk kamar dan kembali berkutat dengan laptop, mengejar deadline.

“Na, metindo ko di’ (kamu tidur ya)?”, teriaknya dari luar kamar sembari mengetuk pintu.

“Belum pi, mamak. Mangakai (kenapa)?”, jawabku sambil membuka pintu.

“Mamak tidur di sini di’? siola ta dio (sama kamu)”, pinta mamak.

Aku termangu sejenak, mamak yang biasanya selalu menemani Putri tidur, tiba-tiba saja memilih tidur bersamaku. Seandainya Putri terbangun, tidak akan direlakan mamaknya tidur bersama orang lain, bersamaku. Putri, adik bungsuku, manja sekali dengan mamak dan tidak bisa ditinggal barang sebentar pun. Kami bercerita banyak hal, mulai dari cerita tentang adik-adikku (Susi dan Gilang) hingga menggosipkan tetangga yang mau melaksanakan resepsi pernikahan, tetapi tetap berujung pada pertanyaan “sudah tanggal berapa ini, Na?”. Aih...rupanya mamak sedang menghitung hari, hari kepulanganku, hari dia akan melepasku, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Barangkali pilihan tidur bersamaku adalah salah satu caranya untuk tidak menyia-nyiakan sisa waktu untuk dihabiskan bersamaku.

Kemudian aku sadar bahwa perjalanan ini telah memberiku seorang mamak yang tanpa pertalian darah telah memberiku semua yang terbaik dari dirinya. Mamak yang selalu melarangku memegang piring kotor, mamak yang selalu menyiapkan masakan terbaiknya untukku, mamak yang selalu menungguku pulang dari kabupaten setiap weekend usai, mamak yang terkadang menginginkan waktu lebih untuk dihabiskan bersama, mamak yang sering menyuruhku istirahat ketika membantunya mattutu’ sappiri, mamak yang selalu menawari kopi ketika aku hendak begadang, dan mamak yang selalu tidak ikhlas kalau tahu aku berjalan kaki sejauh 2 km. Mamak yang tak pernah menganggapku orang lain.

“Hati yang turut serta dalam perjalanan telah membungkus hadiah yang tidak ternilai, seorang mamak sederhana dengan cinta yang luar biasa”

Buttutala, November 2015

Ketika mamak tengah tertidur lelap di samping pembaringanku


Cerita Lainnya

Lihat Semua