Dua Ilmuwan Cilik Meneliti Gerhana Matahari

AfifAlhariri Pratama 29 Maret 2016

Pelan – pelan bayangan menghilang seiring matahari yang semakin tertutup oleh bulan. Gelap menyeruak, melukiskan atmosfer bagai senja tanpa semburat merah. Sebuah cincin berdiri gagah di angkasa dengan korona terlihat di bagian tepi piringan matahari yang membuatnya semakin indah. Seperti mata horus yang mengawasi hambanya.

Dan suasana menjadi senyap.

Burung – burung berhenti berkicau dan ayam – ayam tak lagi berkotek, kucing kurus hitam yang sedari tadi ikut mondar – mandir mengeluskan badannya di kaki saya kemudian terpekur di bawah pohon, terdiam. Semesta dalam 1 menit 12 detik bersepakat menjadi bisu. Hanyut dalam keheningan. Takzim bersama dengan mistis yang paripurna.

 “Apik men. Apik men,” Febri berseru kegirangan. Kacamata ND5 yang sedari tadi ia gunakan untuk memperhatikan proses gerhana telah ia lepas. Ia tak henti – hentinya menatap gerhana matahari total yang bulat sempurna.

“Ih. Iyo. Apik – apik. Koyok cincin.” Ujar Tina yang tak kalah heboh.

Sementara pak Triyono berlari dari dalam ruang kantor bergabung untuk melihat fenomena alam yang hanya muncul 350 tahun sekali itu.

Kami berempat berdiri memandang angkasa. Menyerap takjub yang tak terhingga pada langit yang pagi ini menjadi istimewa. Cukup satu menit, kami terpesona, cincin di angkasa itu kembali memudar. Kami memakai kembali kacamata.

Pelan – pelan suasana yang gelap tadi menjadi cerah. Burung – burung kembali berkicau dan ayam riuh berkotek. Semesta menjadi ceria seketika. Seiring cahaya yang muncul untuk menghapus gulita.

“Nah. Gerhana matahari ini hanya terjadi sekali dalam beratus – ratus tahun. Dari ratusan tahun itu, saat bulan mengelilingi bumi, ada satu masa dimana matahari bersama bulan dan bumi berada satu garis lurus. Itu yang menyebabkan gerhana matahari.” Saya menerangkan kepada anak – anak dengan menggambarkan prosesnya di atas tanah. Kemudian menunjukkan brosur gerhana yang dikirimkan oleh pihak Universe Awareness Indonesia.

“Kok bisa jadi kayak cincin, pak?” tanya febri yang sedari tadi paling khusyuk memperhatikan proses gerhana. Bahkan jika tidak saya peringatkan, ia akan berdiri terus menerus memperhatikan matahari. Padahal rekomendasi untuk pengamatan menggunakan kacamata gerhana itu tak boleh lebih dari 2 menit secara berturut – turut.

“Karena jarak bulan ke bumi itu lebih dekat daripada jarak bulan ke matahari. Coba kamu lihat papan nama kita disana. Lebih besar mana papan sama jempol kita?” tanya saya menunjuk ke papan.

“Papan!” jawab mereka berdua serempak.

“Tetapi percaya tidak kalau jempol kita itu bisa menutup papan?” saya kemudian memberi contoh dengan mendekatkan jempol ke mata.

“Iya yah,” kata Tina.

“Nah. Begitu juga dengan bulan dan matahari. Meski bulan lebih kecil dari matahari, tetapi karena jaraknya lebih dekat dengan bumi, akhirnya permukaannya tersebut bisa menutup permukaan matahari. Bias sinarnya itulah yang membuatnya terlihat seperti cincin.”

“Ada dua cara memperhatikan gerhana. Pertama pakai kacamata gerhana seperti yang kita lakukan. Kedua dengan metode proyeksi menggunakan kotak lubang jarum. Itu seperti disana,” saya menunjuk sebuah kotak kardus yang berdiri di atas tripod.

Kami berjalan menuju kotak tersebut dan saya mengajak anak – anak untuk melihat proyeksi matahari yang berada di dalam kotak.

“Coba perhatikan baik – baik. Apa yang beda dengan mataharinya?” tanya saya.

“Kecil pak,” jawab Tina.

“Apalagi?”

“Terbalik, pak,” jawab Febri.

“Benar jawaban kalian berdua. Di kotak ini, proyeksinya menjadi lebih kecil dan terbalik.”

Ada sebuah kebahagiaan dan juga kekecewaan yang berkumpul di dalam dada saya. Dari belasan anak – anak yang saya ajak untuk memperhatikan gerhana, hanya dua orang yang hadir. Sebetulnya antusiasme anak – anak saat diajak cukup tinggi, namun saya paham bahwa mereka tidak diizinkan berangkat oleh orang tuanya. Beberapa dari orang tua di desa masih menganggap bahwa gerhana matahari erat kaitannya dengan peristiwa mistis yakni Buto yang memakan matahari. Selain itu, informasi yang masih tersimpan di benak mereka adalah ketika gerhana tidak diperkenankan untuk keluar rumah. Seperti yang pernah terjadi pada tahun 1983 di pulau Jawa. Tetapi dua ilmuwan cilik di samping saya ini cukup untuk menghapus kekecewaan yang sempat terlukis di wajah saya tadi pagi saat belum ada satupun anak – anak yang datang.

Bersama dua ilmuwan cilik ini kami bercerita tentang banyak hal. Tentang gerhana beserta prosesnya hingga perkara mengapa tidak diperbolehkan untuk melihat langsung ke matahari. Mereka bertanya tentang apa yang terlihat melalui kacamata hitam yang digunakan dan selalu penasaran untuk menyaksikan detik demi detik proses yang terjadi.

 Kedua ilmuwan cilik ini adalah orang – orang yang beruntung. Disaat masyarakat lainnya hanya mampu memperhatikan lewat tayangan televisi, mereka berani keluar untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana proses gerhana matahari total dari awal hingga akhir. Semoga pengalaman ini bisa selalu membekas hingga akhir hayat. Bahwa mereka pernah menjadi empat orang di desa yang melihat gerhana matahari langsung yang akan muncul kembali 350 tahun akan datang.

(tentunya saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Bosscha dan Universe Awareness Indonesia karena telah mengirimkan paket pengamatan gerhana matahari total secara lengkap).


Cerita Lainnya

Lihat Semua