Selamat Jalan Rusli..
Adhi Rachman Prana 15 Oktober 2012Jum’at siang itu terasa panas sekali bagiku. Sinar matahari pukul satu siang terik menyengat. Sungguh berat memulai pelajaran saat itu dengan matematika. Anak-anak pun masih terlihat letih karena paginya mereka baru berlatih pramuka. Kupandangi raut wajah anak-anakku yang berpeluh. Sebagian besar menggunakan bukunya untuk mengipasi kepala mereka. Memberi sedikit angin segar ke ubun-ubun. Semua anak pria bahkan sudah melepaskan separuh kancing bajunya karena kepanasan. Melihat kondisi mereka aku pun tak mau berbohong dengan mengatakan aku sangat bersemangat mengajar. Tiga jam mengisi latihan pramuka sendirian cukup menguras energiku. Ya, Pak Jali yang biasanya ikut melatih hari ini tidak bisa hadir. Kalau saja sekarang aku bisa memilih, aku akan tidur saja di lantai rumah keluarga angkatku yang bersemen kasar. Tapi tentu saja sudah menjadi kewajibanku untuk mengajar anak-anak ini. Kukumpulkan mood terbaikku, kupekikkan semangat seperti biasanya untuk membangunkan mereka dari rasa lelah. Cukup sukses, semua nya berteriak lantang menyambut sinyal yang kuberikan.
Baru saja aku akan mengulang pelajaran FPB ketika pintu kelas diketuk oleh seseorang. Aku pun menoleh, seorang bapak berusia senja melongokkan kepalanya dari jendela. Rambutnya yang sebagian sudah memutih menyembul dari balik kaca berteralis besi. Ia mengangguk sambil tersenyum, dengan sorot mata yang kupahami. Dengan isyarat tangan, ia memintaku untuk menemuinya karena ada keperluan. Seorang anak yang sudah mengenal Bapak itu bekata setengah teriak,
“Pak, Bapangnya Rusli Paak!”,
Aku pun mengangguk, menengok ke arah Rusli yang duduk di pojok kanan kelas. Ia tertunduk, kepalanya ditempelkan ke meja sambil tangannya tetap sibuk menulis, atau menggambar, entahlah aku tidak tahu pasti.
Kubuka pintu dan kusapa ramah, kusalami pria itu.
“Assalamualaikum Pak, ada yang bisa saya bantu?”,
“Maaf mengganggu Pak Adi, saya mau minta tolong mengurus kepindahan anak saya..Rusli Pak”, ujarnya yang kuketahui belakangan namanya Pak Maryono
“Maksudnya pindah sekolah Pak..?”, tanyaku ragu-ragu.
“Betul Pak, pindah sekolah..”
Kutengok ke belakang, ke arah kelas. Melihat Rusli tepatnya. Ia masih duduk bergeming. Anak-anak yang lain berdiri, ingin tahu apa yang kami bicarakan. Tampaknya salah satu anak mendengar dan ribut menjelaskan kepada yang lain. Aku pun menghela napas, kuajak bapak muridku itu ke kantor guru.
“Ada apa Pak sampai Rusli harus pindah sekolah?”, tanyaku setelah kami duduk di kantor sempit berukuran 1X3 meter saja. (ketika dibangun, kantor ini memang awalnya ditujukan untuk gudang namun, karena kekurangan kelas, kantor guru dipakai sebagai kelas).
“Kami sekeluarga nak pindah ke Air Limau Pak Adi”, ujarnya.
“Oh begitu Pak, waah padahal Rusli salah satu anak terpandai di kelas, saya pasti akan kehilangan” ujarku jujur
“Kami juga maunya Rusli tidak pindah-pindah sekolah terus, tapi yaa kami ini buruh tani. Disini susah nian dapat pemasukan. Ladang orang yang kami garap la selesai”
Aku menelan ludah. Ya, bagi sebagian besar buruh tani. Ketika jasanya sudah dipakai, tentu ia harus mencari ladang lain yang membutuhkan tenaga orang untuk menggarapnya.
“Kapan Pak, pindah ke Air Limau-nya?”
“ Lebih cepat lebih baik Pak Adi, kalau bisa besok ya besok kami pindah” ujarnya.
“Baik Pak, insya Allah besok sudah selesai surat kepindahan Rusli”, ujarku kepadanya.
*****
Seharian itu aku tidak berkonsentrasi. Rusli akan pindah, besok adalah hari terakhirnya ada bersama kawan-kawannya di sini. Pikiranku melayang ketika pertama kali aku bertemu dengan anak-anak ini. Rusli lah yang paling bisa mengerti apa yang saya katakan, ia yang sudah berkali-kali pindah tempat tinggal lebih bisa berbahasa Indonesia dibandingkan dengan teman-temannya di Talang. Ia termasuk anak yang pandai dan hiperaktif. Di kelas, ia sangat vokal. Kadang-kadang sukses membuat saya jengkel. Aaaah, Rusli yang paling tahu nada ketika bernyanyi harus mengikuti orang tuanya pindah karena kondisi ekonomi. Kulihat catatan raportnya, sekolah ini adalah sekolah keempat Rusli, dan kini ia harus siap-siap kembali beradaptasi di lingkungan baru, sekolahnya yang kelima. Sore itu juga kusiapkan surat dan gambar untuk kenang-kenangan Rusli. Kucetak foto-foto teman-teman dan sekolahnya Rusli agar ia ingat pernah sekolah di SDN 3 Rambang. Untuk pertama kalinya selama tinggal di Talang ini, aku menitikkan air mata kala kata demi kata tertulis dalam suratku untuk Rusli. Potongan memori berseliweran dalam alam bawah sadarku. Kenangan tentang celotehan Rusli dan teman-temannya. Rusli yang menyarankan untuk mengirim Babi ke Rote begitu mengetahui sahabat penanya disana suka makan daging babi ( baca cerita lengkapnya disini). Ia yang selalu bisa membuat pantun-pantun lucu bagi kami semua. Ia yang selalu mencari masalah pertama kali dengan mengajak temannya berkelahi, namun ia pula yang selalu jadi yang pertama kali menangis setelahnya.
Rusli, perawakannya tidak besar untuk anak seusianya. Di kelas V yang hanya berjumlah 5 orang, ia adalah murid terpendek. Meskipun demikian, ia sangat ingin menjadi TNI. Kuingat saat ia mengadu karena diejek oleh teman-temannya tentang tidak mungkinnya Rusli jadi tentara karena ia pendek. Aku merangkul bahunya, saat itu kukatakan tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini kalau kamu mau berusaha. Kukatakan juga bahwa ia masih dalam masa pertumbuhan, tentu saja masih bisa bertambah tinggi. Ia pun senang mendengarnya. Kulihat tumpukkan kertas gambar anak-anak di sudut kamar 3x2 meter yang kutinggali. Kucari karya-karya Rusli, kuambil satu gambar favoritku hasil karyanya. Gambar dua orang pria berbaju loreng ala TNI sedang memegang senjata, di sekelilingnya terdapat tank-tank bemoncong. Di sudut gambar ada bendera merah putih. Di bawah gambar ada tulisan yang sedikit berantakan, ‘namaku Rusli aku ingin jadi tentara karena ingin menjaga INDONESIA’, begitu tulisnya. Perasaanku mengharu biru melihatnya. Kutahan isak tangis yang siap menyembur. Kugigit bibirku supaya tidak terdengar suara tangisan yang bisa muncul kapan saja. Kurapihkan kembali kertas-kertas gambar itu.
***
Ada sedih ada senang. Ada tinggi ada pendek. Kadang sukses kadang gagal. Ada pertemuan tentu ada pula perpisahan. Tuhan Maha Adil. Ia menciptakan segala sesuatunya secara berpasang-pasangan. Supaya kita selalu bersyukur dalam kondisi apapun. Pagi itu aku sudah mengendarai motorku menuju sekolah induk di desa. Sekolah kami di Talang Tebat Rawas adalah sekolah kelas jauh yang secara administratif masih menginduk ke sekolah yang ada di Desa. Jaraknya kurang lebih 18 km dari talang kami. Kutemui kepala sekolah disana untuk mengurus kepindahan Rusli. Cukup banyak yang harus disiapkan, formulir permohonan pindah dari orang tua, surat keterangan kepindahan dan surat penerimaan dari sekolah baru. Aku pun baru kembali ke Talang kala matahari tepat di atas ubun-ubun.
Rumah Rusli terdapat di tengah umeh (sebutan untuk ladang). Setiap hari Rusli berjalan melalui hutan-hutan karet sejauh 1,2 km. Rumah-rumah yang berada di umeh ini memang sengaja dibuat jauh dari Talang untuk menjaga ladang yang ditanami pohon karet baru supaya tidak diganggu oleh babi hutan, kijang maupun hewan herbivora lainnya. Kuparkirkan motor milik tetanggaku di depan rumah panggung kecil terbuat dari papan. Begitu turun, gonggongan anjing menyambutku. Kuperhatikan rumah itu sudah kosong. Sudah ditinggalkan. Mendadak aku panik. Apakah mereka sudah berangkat? Bagaimana dengan raport dan surat kepindahan Rusli? Sebagai guru, aku tentu sangat ingin pendidikan Rusli bisa dilanjutkan. Bagaimana aku menghubungi mereka? Siapa yang bisa ditanyai, tidak ada tetangga disini. Hanya ada rumah Rusli ini di tengah ladang seluas hampir 1 hektar.
Kupacu motorku sedikit ngebut ke Talang. Kutanya Pak Jali, yang mengajar kelas 1 di talangku. Ia menggeleng. Tidak tahu juga dengan kepindahan Pak Maryono, orang tua Rusli. Kutanya kawan-kawan Rusli yang kelasV. Mereka pun tidak melihat Rusli hari itu. Hatiku pedih bagai disayat sembilu. Pikiranku dipenuhi kepanikan dan kesedihan. Bagaimana Rusli kalau tidak sekolah lagi? Bagaimana ia bisa bercerita tentang perang-perang dan keinginannya menjadi tentara? Aku pun berusaha tenang. Kuingat lagi percakapan kemarin dengan Bapak Rusli. Ia tampak tulus ketika mengatakan ia ingin anaknya pindah sekolah. Kuputuskan untuk menunggu saja. Berharap bapak dan anaknya itu akan muncul di sekolah siang ini.
Kukemasi peralatan yang akan kubawa ke sekolah lalu aku pun berangkat dengan Angga. Tetanggaku yang juga murid kelas V. Sesampainya di sekolah seorang murid kelas II berteriak, “Pak Rusli..Pak...”. Aku pun menoleh. Ia sudah disana. Memakai kaos kuning, bersama Bapaknya. Aku menarik nafas lega. Kulihat anak-anak kelas IV dan V yang lain sudah mengerubungi Rusli. Beberapa memberikan surat berisi kata-kata perpisahan untuk Rusli. Beberapa bahkan sudah menitikkan air mata. Aku pun mendekat ke kerumunan itu. Kusiapkan senyum terbaik untuk anakku yang luar biasa itu. Kusapa Pak Maryono lalu kujelaskan surat-surat itu. Kemudian kuminta waktu sebentar supaya Rusli bisa masuk ke kelas dulu. Berpamitan dengan teman-temannya.
Di kelas, tidak ada yang bersuara. Semuanya memandang Rusli dengan muka sedih. Kubuka dengan memberikan pengumuman yang sebetulnya tidak perlu lagi, tentang kepindahan Rusli. Anak-anak pun bergantian memberikan kata-kata terakhir untuk Rusli. Mungkin, ini bisa jadi pertemuan terakhir mereka. Anak-anak ini kebanyakan tidak pernah keluar dari Talang ini. Dan Rusli sebentar lagi akan pindah ke tempat yang jauh. Di luar Kabupaten ini. Saat Rusli menyampaikan salam perpisahannya. Tumpah lah sudah semua rasa yang sudah coba kutahan. Tak hanya anak-anak, aku pun sulit mengendalikan diri. Kubiarkan air mata itu mengalir deras melalui pipiku dan jatuh ke lantai. Cengengkah aku? Aah kawan! Seandainya kau ada disana dan melihat semuanya, aku yakin kau pun akan ikut menitikkan air mata. Aku tidak fokus pada apa yang Rusli katakan. Aku sudah membawa kamera untuk mengabadikan momen ini tapi mendadak sama sekali tidak ada mood untuk melakukannya. Aku teringat potongan kisah Laskar Pelangi yang sempat kunilai terlalu melankolis dan berlebihan, saat Lintang harus pergi terlebihd ahulu dari mereka. Kini, aku tau Andrea Hirata tentu saja tidak berlebihan dalam mengungkapkan rasa itu. Aku pun merasakan hal yang sama. Sedih, karena satu anakku yang cerdas harus menjadi orang yang pertama berpisah dari kami.
Kuantar Rusli ke tempat ayahnya yang tampak berkaca-kaca di atas motornya. Aku pun menyalaminya sambil berpesan,
“Pak, titip Rusli, ia anak yang cerdas. Terus sekolahkan ya Pak setinggi mungkin, Insya Allah rezeki sudah ada yang mengatur”. Ujarku lirih ke telinga Pak Maryono.
Ia hanya mengangguk. Kemudian berbalik menuju motornya. Tiba-tiba ia berhenti. Ia balik lagi tampak ingin mengucapkan sesuatu. Ia mendekat dan memelukku.
“Terima kasih Pak Adi.. kalau bukan karena keadaan...”, ia menangis. Tak kuasa melanjutkan kalimatnya.
“Iya Pak, saya mengerti.. Hati-hati ya Pak”.
Ia melepas pelukanku. Menghidupkan motornya. Rusli naik di belakang. Selesai salam, Pak Maryono menarik gas motor. Asap putih mengepul keluar dari motornya yang sudah tua. Motornya melaju perlahan, kulihat Rusli yang masih menangis melambaikan tangan. Tangannya yang kecil dan kurus memegang amplop berisi surat-surat dan foto-foto untuk kenang-kenangan dari sahabatnya. Semakin jauh bayangan Rusli dan Bapaknya semakin hilanh. Terkaburkan oleh asap dan debu jalanan. Anak-anak di sebelah ku sudah menutup mukanya. Menangis. Sahabat mereka yang selalu membuat tertawa harus pergi.
Selamat jalan Rusli. Kejar cita-citamu sampai ke ujung dunia! Jangan menyerah Rusli. Walaupun mungkin kau akan bertemu dengan lingkungan baru entah berapa kali lagi. Aku tahu, suatu saat nanti kau ada di garda terdepan pasukan berbaret merah. Membela negaramu, negara kita, INDONESIA!!
***
Tebat Rawas, 29 September 2012
Salam Hangat,
Adhi Rachman Prana
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda