Puisi Untuk Pahlawan
Adhi Rachman Prana 13 Desember 2012Ini hari Senin. Hari yang biasanya kutunggu-tunggu karena aku bisa melihat murid-muridku yang lucu melaksanakan upacara bendera sederhana. Setiap Senin saya mengajar di sekolah induk pada pagi hari. Setelah selesai mengajar di sekolah induk saya langsung mengajar di kelas jauh. Sekolah kelas jauh kami masuk siang, otomatis upacara pun dilaksanakan tengah hari saat matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Namun, hari ini berbeda. Hujan mengguyur desa kami semalaman. Langit Pagar Agung seolah mencurahkan segala kerinduannya karena lama tak menyapa bumi. Derasnya hujan disambut gembira oleh mayoritas warga disini. Kemarau panjang telah usai, sungai Toman kami sudah mengalir kembali. Semua bisa kembali menjalankan rutinitas yang cukup lama di tinggalkan, “mandi celup”. Jam menunjukkan pukul 10.30. Kukendarai si kuda besi dengan perlahan. Dingin dan lembabnya cuaca masih terasa menembus kulitku walaupun sudah mengenakan jaket. Langit mendung pertanda hujan bisa datang kapan saja. Jalanan tanah liat yang di beberapa bagian sudah bertransformasi menjadi kolam-kolam berair cokelat sudah menunggu di depanku. Sudah tiga kali aku terjatuh dari motor di jalan lumpur ini. Tidak kali ini, tekadku dalam hati. Sepanjang jalan yang kulalui jarang sekali aku berpapasan dengan para petani karet yang pulang ‘nakok’. Mungkin banyak yang urung pergi karena hujan semalam. Sepatuku sudah penuh lumpur karena berulang kali menahan beban motor supaya tidak jatuh akibat ban tergelincir. Jalan menuju talang tempat sekolahku berada berjarak 18 km dari dusun. Tidak jauh sebenarnya jika musim kemarau. Di musim hujan ini, waktu tempuh bisa dua kali lebih lama. Apalagi kalau kebetulan ada mobil/truk yang bannya terjebak di lumpur yang dalam.
Sepanjang pejalanan aku memutar otak, kegiatan apa yang bisa dilakukan di sekolah nanti terkait peringatan hari pahlawan. Sabtu lalu aku memang tidak masuk karena mengantar anak-anak dusun mengikuti Lomba Cerdas Cermat SD Se-Sumatera Selatan. Tidak sulit sebetulnya, anak-anakku hampir selalu bersemangat dan kooperatif bila diminta melakukan sesuatu. Yang terpenting, biarkan mereka berkreasi sesuai dengan kegemarannya. Ya, itu saja.
***
Sampai disekolah sudah kuduga motor dan sepatu yang kupakai sudah tidak jelas lagi warnanya karena bercampur dengan lumpur berwarna cokelat. Seorang anak melihatku dan langsung berteriak. “ Pak Adiii..” sambil berlari ke dalam kelas memberitahu yang lainnya. Seperti coda dalam sebuah paduan suara setiap anak bersahutan menyerukan namaku seolah ingin menjadi orang yang pertama tahu saya sudah ada disekolah. Kemudian dengan sedikit berdorong-dorongan mereka menyalamiku. Kebanyakan siswa malah sengaja menggenggam tanganku cukup lama untuk menjahili kawannya yang masih mengantri di belakang. Sembari tersenyum kutertibkan mereka dengan lembut. Beberapa menanyakanku kemana saja beberapa hari ini tidak terlihat di Talang. Kujawab dengan sabar dan riang. Kulihat sekeliling, guru lain belum ada yang datang. Kubersihkan sepatuku di sumur belakang sekolah. Setelah terlihat cukup bersih, aku beranjak ke kantor guru menyiapkan bahan-bahan untuk mengajar. Kulihat lapangan depan yang becek, di bagian tengahnya malah membuntuk lingkaran air seperti danau buatan. Tidak mungkin melaksanakan upacara bendera. Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 kuraih potongan besi diatas meja. Kupukul lonceng tiga kali. Kulihat sekeliling, tidak ada tanda-tanda kedatangan guru lain. Aku menghela napas panjang, oke mengajar 6 rombongan belajar sendirian lagi. it’s gonna be a long day.
***
“Yang sudah boleh dikumpulkan ke depan ya..”, ujarku
“Beluuum Paaaak “, serempak mereka menjawab.
Aku pun berkeliling melihat-lihat hasil pekerjaan anak-anakku. Ada yang menulis puisi, ada yang menggambar Imam Bonjol, Hassanudin, RA Kartini ada juga yang menggambar Soekarno, bahkan SBY. Ketika kutanya mengapa menggambar SBY, Tedi menjawab
“ Kan menggambar pahlawan Pak..”
“SBY pahlawan atau presiden? “ tanyaku lagi.
“Presiden Pak..” ujarnya bingung.
“Sama tidak Presiden dengan Pahlawan”
“hmmm.................”, dahinya berlipat, ujung pensil digigitnya.. lalu dia menjawab “Tidak Pak..”
“Nah kalau tidak mengapa kamu menggambarnya Nak?”
“Soalnya gambarnya ditempel di dinding Pak!”, ujarnya setengah berteriak
Aku berpikir, mencerna apa maksudnya. Tiba-tiba seorang anak menambahkan,
“ Tedi itu Pak, gambar yang ditempel itu pahlawan gale Paaak !”
Aku pun paham. Kuliah sekeliling kelas, memang ada beberapa gambar pahlawan yang ditempel di kelas ini. Aku terkikik geli. Kujelaskan kalau semua yang ditempel didinding itu bukan hanya pahlawan. Ada presiden dan wapres juga yang sekarang menjabat. Tedi hanya mengangguk angguk malu. “Jadi ulang Pak? “ tanyanya.
“Basing, kalau kamu menganggap presiden itu pahlawan kamu ya tidak apa-apa asal ada alasannya ya “ kataku masih berusaha menahan gelak tawa.
Dalam hati, ini kalau semua gambar yang ditempel itu pahlawan, jangan-jangan Burung Garuda juga disangka pahlawan. Bukan Cuma itu, ada juga tempelan gambar buah-buahan dan hewan dalam bahasa inggris yang kutempelkan di ruangan. Untung aja tidak ada yang gambar orang utan atau semangka, heheheh. Instruksiku memang membuat karya yang berhubungan dnegan pahlawan. Kebanyakan menggambar, beberapa yang suka sastra membuat pantun dan puisi. Saya menyuntikkan semangat mereka dengan reward, karya terbaik akan ditempel di Mading bulan depan.
“Oke anak-anak, yang sudah silakan simpan karyanya di meja Bapak ya.. tolong selesaikan dengan tertib, Bapak ke kelas 1 dan 2 dulu.”, ujarku disambut anggukan kepala anak-anak kelas IV dan V yang masih serius menyelesaikan karya mereka.
***
“ALHAMDULILLAHIROBBIL ALAMIIIN” teriakan siswa kelas satu dan dua memenuhi ruangan. Menutup sesi hari itu. Anak-anak saling dorong berbaris di depanku untuk berjabat tangan. Akhirnya selesai juga, ujarku dalam hati. Mengajar di kelas rendah memang butuh kesabaran ekstra. Setiap anak ingin diperhatikan. Baru saja saya mengajari satu anak, yang lain sudah merengek-rengek minta dibuatkan juga huruf-huruf yang harus mereka tulis. Belum lagi anak-anak yang nangis karena rebutan alat tulis. Grrrrrr. Saya memang masih pemula, entah butuh berapa lama lagi untuk bisa mengaplikasikan manajemen kelas yang efektif buat anak kelas 1 dan 2 ini.
Kuambil lagi kertas plano berisi lirik lagu Indonesia Raya yang tadi kuajarkan. Ya, akhirnya aku menyerah. Kuajarkan saja lagu kebangsaan itu, toh masih dalam momentum hari Pahlawan, elakku. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 17.05, sudah lewat 5 menit dari jam pulang. Kuambil barang-barangku lalu langsung melesat ke kelas III, lalu VI, lalu kelas IV dan V lagi.
“Sare ya Pak?” tanya Mahmud, siswa kelas VI yang sering membantuku mengunci kelas.
Kujawab dengan senyum, “ Sare nian oi”
“Semangat ya Pak!” aku mengangguk. Menepuk bahu kanannya. Aku senang luar biasa, kata-kata sederhana yang mungkin terdengar biasa saja bila diucapkan oleh teman-teman kita di kota. Tapi ini keluar dari mulut seorang anak Talang yang selalu kusemangati setiap hari untuk terus belajar dan meraih cita-citanya. Sikap itu sudah menular, sekarang ia sudah bisa menyemangati gurunya di waktu yang tepat.
“Yok balek, la petang” ujarku sembari merangkul pundaknya.
Setelah mencium tanganku ia pun berlari ke arah motornya. Menstaternya lalu menjalankannya setelah menganggukkan kepala kepadaku. Rumahnya memang berada di Talang lain, jaraknya sekitar 3 km dari sekolah ini. Kulihat ia mengendarai motornya tanpa alas kaki. Ya, dengan jalanan penuh lumpur seperti itu, untuk apa alas kaki?
***
Aku terharu membaca karya anak-anak. Semuanya luar biasa. Datang dari dalam hati mereka yang masih polos dan murni. Gambar-gambar dengan warna-warna yang menunjukkan keceriaan mereka. Kata-kata sederhana dalam untaian kalimat yang mereka buat pada puisinya. Semuanya menunjukkan ketulusan dan kemurnian jiwa mereka. Merefleksikan perasaan mereka untuk pahwalan negeri ini. Kuambil secarik kertas lecek dengan tulisannya yang berantakan. Sebuah puisi karya Angga. Kaya makna. Kubaca sekali lagi.
UNTUK PAHLAWAN
Karya : Angga Prastion
Pahlawan kau begitu baik
ingin merelakan nyawamu demi Indonesia
Kalau tidak ada pahlawan
Pasti kami akan mati dibunuh penjajah
Setiap hari setiap malam kami selalu berdoa
Untukmu pahlawan
semoga kamu di Surgaloka
Akan baik-baik saja
Ya Allah, aku mohon kepada-Mu
Semoga pahlawan baik-baik saja.
Aku terharu membacanya. Masih teringat dua bulan lalu saat aku masih mengenalkan apa itu puisi pada mereka dengan susah payah. Dengan minimnya pemahaman mereka akan bahasa persatuan. Kini, baris demi baris kalimat berbahasa Indonesia sudah bisa mereka tulis. Kosakata yang sederhana, namun memiliki arti dan kedalaman tersendiri. Ditambah lagi alam pikiranku melayang kepada si penulis puisi. Aku tahu bagaimana ia menjalani kehidupannya di Talang ini. Aku tahu usahanya dalam memahami berbagai pelajaran saat di kelas maupun di rumah. Aku bangga dengan karyanya.
Terlepas dari perdebatan di ibukota tentang gelar pahlawan. Disini aku menyadari bahwa semua orang bisa menjadi pahlawan. Pahlawan dalam pemahamanku yang terbatas adalah seseorang yang berjuang untuk sesuatu yang baik, berani dan rela berkorban untuk mencapain ya. Angga yang ingin mahir membuat pantun dan puisi, tidak pernah bosan bertanya kosakata bahasa Indonesia yang belum dia tahu. Ia juga rajin membaca buku-buku cerita yang jumlahnya terbatas di lemari kelas kami. Terkadang ia pergi ke rumahku hanya untuk menanyakan istilah-istilah dari buku nya yang sedang dia baca. “pak solusi itu apa?” atau “Pak, Apedie imaginasi?”. Buat saya Angga telah menunjukkan kualitas sebagai seseorang yang pantang meyerah dan mau berjuang. Benar kata orang , Everyone is a hero, at least for their own life.
Selamat Hari Pahlawan!
***
Tebat Rawas, 12 Nopember 2012
Salam Hangat,
Adhi Rachman Prana
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda