info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kenapa Beta Ada di Bandung?

Adhi Rachman Prana 1 Desember 2012

Menjadi Guru adalah hal yang sangat menantang. Betul kata Pak Anies Baswedan pada saat pembekalan sebelum kami diterjunkan ke lapangan. Every day is a decision making day.  Setiap hari berbagai tantangan muncul silih berganti dan tentu saja berlainan. Menghadapi anak-anak yang ajaib dengan segala dinamika kepolosan dan tindak-tanduknya terkadang menjadi hal rumit yang sulit sekali dicari jalan keluarnya. Pernah, suatu ketika saya sedang mengajar matematika di kelas IV dan V yang memang berada dalam ruangan yang sama. Chaos. Beberapa anak ribut berebut lidi-lidi mereka yang dipakai untuk menghitung pembagian. Yang lainnya selalu ribut memanggil-manggil namaku dengan tidak sabar untuk mengecek apakah jawaban mereka benar atau tidak. Sebagian kecil sudah menyerah dan hanya tidur-tiduran di lantai, jika kutegur jawabannya “Sareu pak, peri dulu”. Belum lagi ada anak kelas sebelah yang gurunya tidak masuk seringkali keluar masuk kelasku dengan ribut. Anak kelas 1 menangis kencang menghampiriku, mengadu temannya telah memukulnya. Si tersangka juga tak kalah keras berteriak menyangkal semau tuduhan si korban. Semua terjadi dalam waktu yang bersamaan. Apa yang anda lakukan ketika menghadapi situasi itu? Bingung bukan? Tapi, perlahan aku sangat menikmati momen-momen itu. Mereka sangat jujur dengan perasaannya. Si anak yang menangis dan anak yang (katanya) memukul sudah kembali bermain bersama, berkejaran sambil tertawa. Tidak lebih dari 20 menit saja mereka bermusuhan. Bagaimana dengan orang dewasa? It takes much longer time to forgive another person’s mistake.

Satu hal yang sangat menghibur adalah celotehan dan pertanyaan unik mereka tentang berbagai hal. Rasa ingin tahu mereka yang besar terkadang tak mampu kupenuhi dengan jawaban yang memuaskan. Bukan karena pertanyaannya sulit, namun justru karena pertanyaannya sangat mudah dan sederhana. Sesuatu yang terkadang kita (orang dewasa_ lewatkan begitu saja karena menganggap hal-hal tersebut sepele dan tidak penting. Menjadi guru bukan berarti tahu segalanya. Terkadang atau bahkan sering kali banyak pertanyaan anak-anak ini yang tidak berhasil kujawab saking out of the box nya mereka. Akan kuceritakan satu kejadian saja yang membuatku berpikir keras berusaha menjawab pertanyaan dari Dedet. Sampai saat ini saya belum tahu jawabannya. (Kalau anda tahu jawabannya, let me know ya J)

***

Berawal dari sepucuk surat dari salah satu teman kuliahku yang keturunan Ambon. Ruth Nikijuluw namanya. Sengaja aku meminta dia untuk membuat surat inspirasi untuk anak didikku agar mereka mempunyai semangat untuk terus sekolah dan mengejar cita-cita mereka.

“Anak-anak kalian dapat surat lagi.. kali ini datang dari teman kuliah Bapak yang sekarang sedang bersekolah di Amerika.. kalian tahu Amerika dimana?”, ucapku sambil mengacungkan amplop surat

“Di luar negeri Paaak..”, jawab Malsi

“Ya betul, Amerika Serikat itu di luar negeri, tepatnya di benua Amerika”, lanjutku

“Wuiiih jauh niaan Paak..”, ujar imam

“Pak Amirika para ngan Meka ya Pak?”, tanya Cania dengan pelafalan yang masih kagok

“Jauh Cania, Kalau Mekah masih di benua Asia, Amerika Serikat di benua Asia, kagi kita lihat di peta di mana Amerika itu ya..Sekarang Bapak minta satu orang pemberani maju untuk membacakan suratnya”

Angga maju. Ia membuka amplop yang ternyata juga berisi wall sticker puzzle peta dunia. “Wooow Apedie ini Pak, ringkeh oi..” Ujar Angga, yang lain berebut maju untuk ikut melihat dan berdecak kagum.

“Ini peta dunia, kagi kalian rangkai sendiri ya..sekarang kalian duduk dulu dan dengarkan Angga membacakan surat dari Kak Iyuth”, kataku menjelaskan.

Di suratnya Iyuth menceritakan tentang asal keluarganya dan bagaimana ia sekolah dulu. Anak-anakku antusisas mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan terpatah-patah oleh Angga. Selesai membacakan kuminta mereka mencari letak kota- kota yang disebutkan Iyuth dalam suratnya. Dengan cepat mereka menunjuk kota Ambon, Bogor dan Depok di peta. Malsi dengan cepat juga bisa menemukan letak negara Amerika Serikat di peta dunia yang sudah robek karena seringnya dimainkan oleh anak-anak ini.

“ Nah sekarang Bapak minta kalian membuat surat balasan untuk Kak Iyuth ya.. Ingat pake tanda baca dan kalimat yang benar!”

Setelah mendengar instruksi itu anak-anak dengan patuh menulis surat balasan. Beberapa bertanya padaku tentang isi surat atau sekedar mengecek apakah tulisan mereka betul atau tidak.

“Kalau dengan kak iyuth kalian boleh lho pakai kata beta. Beta itu bahasa maluku untuk Aku atau saya”, aku menjelaskan.

“Ooooh cak Beta anaknya Mamang Do itu berartid ari Maluku ya Pak?” Ujar Dedet menanyakan salah satu bujang di Talang yang memang ada yang bernama Beta. Aku tersenyum.

“Naah kalau Beta itu memang kebetulan saja namanya Beta, dia uwang sini. Bukan dari Maluku.”, jelasku

“Ooooh.. Beta tuh yang ada di lagu Halo-halo Bandung ya Pak?”, ujar Dedet lagi setelah berpikir sejenak

“Naaah betul Det, kalian ingat lagu Halo-halo Bandung ada liriknya Sudaah lama betaa tidak berjumpa dengan kaau..”  Aku menyanyikan sebaris lirik dari lagu itu, serentak anak-anak melanjutkan.

“Sekaraaang telah menjadi lautan api, mari BUNG! Rebut kembaliii..”

Kelas la ngsung ribut, seperti biasanya kalau sudah masalah lagu dan menyanyi yang tercipta bukan paduan suara bernada, namun nada-nada sembarang anak-anak itu yang berteriak-teriak seolah-olah sedang diadakan lomba suara paling keras. Aku pun menenangkan dengan sinyal.

“Merah”, kataku setengah berteriak

“Prok” serentak semua bertepuk tangan sekali. Ini caraku untuk grabing attention saat kelas sedang ribut.

“Ayo lanjutkan dulu menulis suratnya..” Tiba-tiba Dedet kembali mengangkat tangan

“Pak.. uwang Bandung juga pakai kata Beta ya Pak?” tanyanya penasaran

Kujawab singkat, “ Bukan Det, kalau bahasa Bandungnya aku itu abdi. Itu bahasa Sunda, yang dipakai di daerah Jawa Barat.”

Dedet tampak kebingungan, “ Lok mane Pak lagunya Halo-halo Bandung pake bahasanya bahasa Maluku?”

Aku mulai menangkap maksud Dedet. Ia sedang mensinkronkan informasi yang didapat dariku dengan yang ada di lagu Halo-halo Bandung. Aku pun mengernyit. Iya juga ya, pikirku. Kenapa yang dipakai di lagu Halo-halo Bandung itu Beta. Hmm, apa karena pengarangnya orang Ambon?Ismail Marzuki tentus aja bukan dari maluku kok. Aku terdiam cukup lama sambil berpikir keras. Dedet masih menatapku menunggu jawaban. Karena tak kunjung keluar sepatah kata pund ari mulutku ia melanjutkan.

“Kenapa Pak Beta ada di Bandung?” tanyanya dengan susunan kata yang kurang pas. Aku nyengir sambil garuk-garuk kepala.

“Iya ya.. Kenapa ya? “ kataku malah bertanya balik. Tuiba-tiba aku mendapat ide cemerlang.

“Nah, Det kenapa tidak kamu tanyakan saja langsung ke orang Ambonnya, Kak Iyuth kan asal Ambon sekaligus ia juga tinggalnya di Bogor wilayah Jawa Barat. Para Bogor dengan Bandung itu. Bapak belum tahu jawaban pertanyaanmu tadi.” Ujarku jujur sambil tersenyum malu.

“oooh iya Pak, aku tanyakan ya Pak..” dan Dedet pun langsung sibuk meneruskan mencatat suratnya.

Sampai akhir pelajaran pikiranku disibukkan dengan pertanyaan itu. Muka Dedet yang penasaran sambil bertanya “Kenapa Beta ada di Bandung” terus terekam di memori otakku. Lucu sekali melihatnya, dan lebih lucu lagi karena aku sama sekali tidak tahu sedang apa Beta di Bandung. Hahaha. Kalau mau usil sebenarnya bisa saja kubilang karena Beta sedang belanja pakaian di Bandung. Atau karena lagu Halo-halo Bandung itu memang diperuntukkan bagi orang Ambon yang kangen dengan Kota Bandung. Aku terkikik geli sekaligus miris. Pertanyaan sederhana yang sama sekali tidak terlintas di otakku. Benar juga, kenapa yang dipakai Beta bukan Aku atau Saya saja yang lebih bersifat nasional ya?. Jika diingat-ingat, dulu waktu belajar lagu nasional aku pasti hanya menghapal liriknya tanpa menelisik lagi tiap kata-kata yang ada dalam lagunya. Aaah hari ini aku belajar lagi! Belajar dari Dedet, siswa kelas V berumur 10 tahun. Pelajaran itu adalah : Jangan kamu menelan mentah-mentah apa yang diberikan kepadamu, lihatlah lagi lebih dalam dan tanyakan hal-hal yang kau anggap tidak wajar.

Sampai tulisan ini kuketik, aku masih mencari jawaban atas pertanyaan Dedet. “Kenapa Beta ada di Bandung?”

 

***

Tebat Rawas, 16 September 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua