Upacara Tanpa Bendera

Adhi Rachman Prana 14 Oktober 2012

17 Agustus tahun 45 itulah hari kemerdekaan kitaaaaa... hari merdekaa..nusa dan bangsa.. hari lahirnya bangsa Indonesiaaaaa...”

Sekitar 15 siswa kelas IV dan V dengan nada sumbang namun bersemangat menyanyikan lagu itu. Saking semangatnya, koor itu ibarat mempunyai coda sendiri. Sayangnya coda yang tercipta bukanlah pengulangan teratur dan bernada, melainkan nada-nada saling berkejaran karena masing-masing anggota paduan suara seperti berlomba-lomba ingin menjadi yang paling cepat menyelesaikan lagu itu. Kuperhatikan mereka yang sesekali menggoyangkan badan mengikuti irama lagu. Urat-urat di leher mereka membentuk relief panjang menunjukkan betapa kuatnya mereka mengeluarkan suara. Sudah hampir 30 menit aku mencoba mengarahkan mereka agar bernyanyi dengan nada yang tepat. Hasilnya nihil, mereka belum mengenal nada. Aaah, seandainya disini ada keyboard atau alat musik melodis lain tentu jauh lebih mudah mengenalkan nada-nada kepada mereka.  “ Pak sareu[1] Pak, peri[2] dulu ya Pak, kami nak[3] minum..”, ujar Armadi. Aku pun menanggukkan kepala, paduan suara langsung bubar. Berlari mengambil botol minuman mereka.

Hari ini untuk pertama kalinya kami mengadakan latihan upacara peringatan 17 Agustus untuk esok hari. Tidak ada masalah dengan petugas lainnya, tidak sampai tiga kali latihan pembaca teks Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Do’a, Pembawa Acara dan Ajudan Pembina Upacara sudah lancar dengan tugasnya masing-masing. Tinggal tim paduan suara inilah yang masih belum tahu betul nada-nada lagu yang akan mereka perdengarkan pada upacara nanti. Buatku, paduan suara menjadi salah satu elemen penting untuk mendukung suasana khidmat dan membangkitkan semangat nasionalisme pada upacara peringatan 17 agustus nanti. Maka, aku pun melatih mereka semampuku. Jam menunjukkan pukul 17.00, sudah waktunya anak-anak ini pulang. Besok rencananya sebelum upacara kami akan pawai keliling talang Tebat Rawas dengan atribut ala kemerdekaan yang sudah kami buat bersama sembari meneriakkan pekikan kemerdekaan dan melantunkan lagu-lagu nasional, mengajak siapapun yang menonton untuk ikut bangga dan semakin cinta tanah airnya.

Aku sedang membereskan perlengkapan untuk upacara besok saat satu suara memanggilku.

“ Pak Adiii...”, Desti, siswi kelas VI dari jauh berlari menghampiriku sambil berteriak

Aku menoleh “ Ya? Ngapeu[4] Des?”

“Bendera merah putihnya dek ngatek [5]Pak..”, ujar desti dengan napas tersengal

Aku tertegun. Benderanya tidak ada? Kok bisa?

La[6] kamu cari di wadah[7] Pak Jali?”, tanyaku lagi

Laudeu[8] Pak tapi dek ngatek, lok mane[9] pak besok upacara dek ngatek bendera?”, ujarnya bingung

“Ya sudem, kagi[10] Bapak carikan, kamu balek lah dulu.. la petang kagi umah[11] bingung nyari kamu!”

Au[12] Pak, dulu ya Pak..” ia pun pergi dengan berlari, sama seperti ketika ia datang tadi.

Pffhuuh. H-1 dan bendera merah putih belum juga ditemukan. Kupandangi halaman sekolah dari dalam kantor guru. Lapang tanah merah berpasir itu kadang-kadang dipakai untuk bermain bola kaki oleh anak-anak. Tentu saja dengan gawang buatan mereka sendiri yaitu dua buah sepatu penanda batas gawang. Lapangan di depan sekolah yang cukup luas itu memang sepi atribut. Tidak ada taman atau sekedar pepohonan. Bahkan, tiang bendera pun tidak nampak disini. Ketika pertama datang kesini aku sempat heran, sekolah macam apa ini tidak ada tiang bendera di depannya. Setelah dijelaskan bahwa tidak pernah ada upacara bendera di sekolah kelas jauh ini karena masuknya siang, jadi tidak dibuat tiang bendera disana. Untuk upacara besok pun, rencananya bendera hanya akan dibentangkan oleh dua orang petugas pembawa bendera karena belum ada tiang bendera disana. Kami berlatih menggunakan bendera latihan berwarna ungu. Bendera gugus depan pramuka seolah kami yang kutemukan sudah lapuk di sudut lemari kelas kami. Kata anak-anak bendera merah putih disimpan di rumah salah satu guru di sini. Sampai tadi Desti mengatakan benderanya tidak ada. Setekah kupastikan dengan bertanya langsung, memang tidak ada.

Aku memutar otak, bagaimana supaya besok pagi upacara bendera tetap bisa dilaksanakan. Kalau aku ke dusun dan meminjam dari sekolah induk perlu waktu 2 jam bolak-balik dan belum tentu penjaga sekolah ada di rumahnya karena besok libur dan biasanya ia pulang ke desanya. Di Talang ini memang aku diperingatkan untuk tidak bepergian ke luar talang setelah maghrib karena rawan. Jalanan yang kulalui menuju sekolah induk adalah melewati hutan karet yang berkkelok-kelok dan sangat sepi. Kalau ada kepentingan yang sangat mendesak, minimal 4 orang harus mengantar dengan dua motor lain. Aaah akan menyusahkan warga saja, pikirku. Aku pun pulang ke rumah sembari terus memikirkan alternatif pengganti bendera merah putih itu.

 

****

Kepada sang merah putih hormaaaaaaaaat grak...”, Suara Angga, memecah terik matahari pagi. Dengan sigap semua peserta hormat kepada bendera. Lagu Indonesia Raya berkumandang. Tim paduan suara dengan lantang dan kompak menyanyikan lagu kebangsaan. Menyentuh jauh ke dasar hatiku. “Hiduplah tanahku..hiduplah negeriku.. bangsaku rakyatku semuanyaa...” Sampai bait itu aku terharu. Sungguh sederhana seremoni ini. Kulihat secarik kertas berukuran 60cm X 30cm berwarna merah dan putih yang direkatkan dengan lem dipegang oleh dua siswi kelas VI, Desti dan Tiara. Tidak seperti upacara-upacara yang biasa kuikuti dimana pandangan mataku selalu tertuju pada bendera yang perlahan-lahan naik ditarik oleh sang pengibar bendera. Bendera yang kami punya sekarang statis, tidak bergerak. Namun, justru disitulah hati ini tergetar, dengan kesederhanaan dan keterbatasan fasilitas, anak-anak kami disini tetap ingin melaksanakan upacara untuk memperingati dirgahayu Republik Indonesia yang ke-67.

“Hiduplah Indonesia Raya...” Lagu selesai berkumandang. Pemimpin upacara sudah memberi aba-aba tegak gerak. Kulihat Desti dan Tiara dengan khidmat dan hati-hati melipat kembali bendera dari kertas tersebut yang baru kubuat pagi tadi. Membawanya kembali dengan gagah dan memperlakukannya layaknya Paskibra yang mengibarkan sangsaka merah putih di Istana Negara. Latihan singkat sudah berhasil membuat mereka menghargai bendera. Mereka tahu betapa mahal pengorbanan para pejuang di masa lampau untuk mengibarkan bendera dan mempertahankannya.

Upacara terus berlanjut, kini tiba saatnya tim paduan suara menyanyikan lagu Hari Merdeka. Aneh, kenapa tiba-tiba aku yang deg-degan? Bisikku dalam hati. Lewat ujung mata kuperhatikan Santrika, sang dirigen maju ke hadapan tim paduan suara. Dan ajaib!! Walaupun masih ada kekurangan, anak-anak padus sudah kompak menyanyikan lagu tersebut, bahkan kata “Setia” dan “Sedia” yang biasanya tertukar-tukar, kini mulus dilantunkan dengan benar oleh mereka. Aku tersenyum lega sekaligus senang. Latihan kami membuahkan hasil.

Hari ini, sama seperti 67 tahun yang lalu, tanggal 17 Agustus bertepatan dengan bulan Ramadhan dan sekaligus jatuh pada hari Jum’at. Tebat rawas menjadi saksi betapa kuat jiwa nasionalisme yang sudah tertanam di hati anak-anak sekolah dasar ini. Semangat itu tertular padaku, hampir 5 tahun setelah aku lulus SMA tak pernah lagi mengikuti upacara. Tanggal 17 Agustus selalu kutunggu bukan karena seremoninya, melainkan karena tanggal merahnya. Artinya, waktu untuk beristirahat dari kepenatan aktivitas sebagai mahasiswa yang berjubel. Aku malu. Disini, anak-anak lah yang meminta untuk upacara. Keceriaan mereka saat menyanyikan lagu sorak-sorak bergembira sembari mengipas-ngipaskan bendera kertas yang mereka buat sendiri. Senyum yang selalu mengembang saat aku berteriak pekik kemerdekaan yang langsung dijawab lantang oleh mereka berhasil menumbuhkan kembali kecintaanku pada tanah air.

Siangnya di sekolah, sambil menunggu guru mereka masih menyanyikan lagu-lagu nasional. Kulihat pohon harapan untuk 67 tahun Indonesia. Sengaja aku meminta mereka menuliskan harapan-harapan mereka untuk negerinya di pohon itu. Kubaca satu per satu. Aku tersenyum bangga. Betapa mereka sangat mencintai Indonesia. Kulihat satu tulisan berwarna merah dengan huruf kapital yang ditebalkan

“AKU CINTA INDONESIA. AKAN KUBELA NEGARAKU SAMPAI TITIK DARAH YANG PENGHABISAN- Anton”

Hatiku berdesir. Di dadaku penuh dengan optimisme. Optimisme akan perubahan besar bagi Indonesia di tangan anak-anak ini kelak.Ya, Indonesiaku tak akan pernah pudar di hati rakyatnya.

Dirgahayu Kemerdekan RI ke-67

 

Tebat Rawas, 28 Agustus 2012

 

[1]Capek

[2]Istirahat

[3]hendak

[4]Kenapa

[5]Tidak ada

[6]Sudah

[7]Rumah

[8]Sudah

[9]Bagaimana

[10]Nanti

[11]Ibu

[12]Iya

17 Agustus tahun 45 itulah hari kemerdekaan kitaaaaa... hari merdekaa..nusa dan bangsa.. hari lahirnya bangsa Indonesiaaaaa...”

Sekitar 15 siswa kelas IV dan V dengan nada sumbang namun bersemangat menyanyikan lagu itu. Saking semangatnya, koor itu ibarat mempunyai coda sendiri. Sayangnya coda yang tercipta bukanlah pengulangan teratur dan bernada, melainkan nada-nada saling berkejaran karena masing-masing anggota paduan suara seperti berlomba-lomba ingin menjadi yang paling cepat menyelesaikan lagu itu. Kuperhatikan mereka yang sesekali menggoyangkan badan mengikuti irama lagu. Urat-urat di leher mereka membentuk relief panjang menunjukkan betapa kuatnya mereka mengeluarkan suara. Sudah hampir 30 menit aku mencoba mengarahkan mereka agar bernyanyi dengan nada yang tepat. Hasilnya nihil, mereka belum mengenal nada. Aaah, seandainya disini ada keyboard atau alat musik melodis lain tentu jauh lebih mudah mengenalkan nada-nada kepada mereka.  “ Pak sareu[1] Pak, peri[2] dulu ya Pak, kami nak[3] minum..”, ujar Armadi. Aku pun menanggukkan kepala, paduan suara langsung bubar. Berlari mengambil botol minuman mereka.

Hari ini untuk pertama kalinya kami mengadakan latihan upacara peringatan 17 Agustus untuk esok hari. Tidak ada masalah dengan petugas lainnya, tidak sampai tiga kali latihan pembaca teks Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Do’a, Pembawa Acara dan Ajudan Pembina Upacara sudah lancar dengan tugasnya masing-masing. Tinggal tim paduan suara inilah yang masih belum tahu betul nada-nada lagu yang akan mereka perdengarkan pada upacara nanti. Buatku, paduan suara menjadi salah satu elemen penting untuk mendukung suasana khidmat dan membangkitkan semangat nasionalisme pada upacara peringatan 17 agustus nanti. Maka, aku pun melatih mereka semampuku. Jam menunjukkan pukul 17.00, sudah waktunya anak-anak ini pulang. Besok rencananya sebelum upacara kami akan pawai keliling talang Tebat Rawas dengan atribut ala kemerdekaan yang sudah kami buat bersama sembari meneriakkan pekikan kemerdekaan dan melantunkan lagu-lagu nasional, mengajak siapapun yang menonton untuk ikut bangga dan semakin cinta tanah airnya.

Aku sedang membereskan perlengkapan untuk upacara besok saat satu suara memanggilku.

“ Pak Adiii...”, Desti, siswi kelas VI dari jauh berlari menghampiriku sambil berteriak

Aku menoleh “ Ya? Ngapeu[4] Des?”

“Bendera merah putihnya dek ngatek [5]Pak..”, ujar desti dengan napas tersengal

Aku tertegun. Benderanya tidak ada? Kok bisa?

La[6] kamu cari di wadah[7] Pak Jali?”, tanyaku lagi

Laudeu[8] Pak tapi dek ngatek, lok mane[9] pak besok upacara dek ngatek bendera?”, ujarnya bingung

“Ya sudem, kagi[10] Bapak carikan, kamu balek lah dulu.. la petang kagi umah[11] bingung nyari kamu!”

Au[12] Pak, dulu ya Pak..” ia pun pergi dengan berlari, sama seperti ketika ia datang tadi.

Pffhuuh. H-1 dan bendera merah putih belum juga ditemukan. Kupandangi halaman sekolah dari dalam kantor guru. Lapang tanah merah berpasir itu kadang-kadang dipakai untuk bermain bola kaki oleh anak-anak. Tentu saja dengan gawang buatan mereka sendiri yaitu dua buah sepatu penanda batas gawang. Lapangan di depan sekolah yang cukup luas itu memang sepi atribut. Tidak ada taman atau sekedar pepohonan. Bahkan, tiang bendera pun tidak nampak disini. Ketika pertama datang kesini aku sempat heran, sekolah macam apa ini tidak ada tiang bendera di depannya. Setelah dijelaskan bahwa tidak pernah ada upacara bendera di sekolah kelas jauh ini karena masuknya siang, jadi tidak dibuat tiang bendera disana. Untuk upacara besok pun, rencananya bendera hanya akan dibentangkan oleh dua orang petugas pembawa bendera karena belum ada tiang bendera disana. Kami berlatih menggunakan bendera latihan berwarna ungu. Bendera gugus depan pramuka seolah kami yang kutemukan sudah lapuk di sudut lemari kelas kami. Kata anak-anak bendera merah putih disimpan di rumah salah satu guru di sini. Sampai tadi Desti mengatakan benderanya tidak ada. Setekah kupastikan dengan bertanya langsung, memang tidak ada.

Aku memutar otak, bagaimana supaya besok pagi upacara bendera tetap bisa dilaksanakan. Kalau aku ke dusun dan meminjam dari sekolah induk perlu waktu 2 jam bolak-balik dan belum tentu penjaga sekolah ada di rumahnya karena besok libur dan biasanya ia pulang ke desanya. Di Talang ini memang aku diperingatkan untuk tidak bepergian ke luar talang setelah maghrib karena rawan. Jalanan yang kulalui menuju sekolah induk adalah melewati hutan karet yang berkkelok-kelok dan sangat sepi. Kalau ada kepentingan yang sangat mendesak, minimal 4 orang harus mengantar dengan dua motor lain. Aaah akan menyusahkan warga saja, pikirku. Aku pun pulang ke rumah sembari terus memikirkan alternatif pengganti bendera merah putih itu.

 

****

Kepada sang merah putih hormaaaaaaaaat grak...”, Suara Angga, memecah terik matahari pagi. Dengan sigap semua peserta hormat kepada bendera. Lagu Indonesia Raya berkumandang. Tim paduan suara dengan lantang dan kompak menyanyikan lagu kebangsaan. Menyentuh jauh ke dasar hatiku. “Hiduplah tanahku..hiduplah negeriku.. bangsaku rakyatku semuanyaa...” Sampai bait itu aku terharu. Sungguh sederhana seremoni ini. Kulihat secarik kertas berukuran 60cm X 30cm berwarna merah dan putih yang direkatkan dengan lem dipegang oleh dua siswi kelas VI, Desti dan Tiara. Tidak seperti upacara-upacara yang biasa kuikuti dimana pandangan mataku selalu tertuju pada bendera yang perlahan-lahan naik ditarik oleh sang pengibar bendera. Bendera yang kami punya sekarang statis, tidak bergerak. Namun, justru disitulah hati ini tergetar, dengan kesederhanaan dan keterbatasan fasilitas, anak-anak kami disini tetap ingin melaksanakan upacara untuk memperingati dirgahayu Republik Indonesia yang ke-67.

“Hiduplah Indonesia Raya...” Lagu selesai berkumandang. Pemimpin upacara sudah memberi aba-aba tegak gerak. Kulihat Desti dan Tiara dengan khidmat dan hati-hati melipat kembali bendera dari kertas tersebut yang baru kubuat pagi tadi. Membawanya kembali dengan gagah dan memperlakukannya layaknya Paskibra yang mengibarkan sangsaka merah putih di Istana Negara. Latihan singkat sudah berhasil membuat mereka menghargai bendera. Mereka tahu betapa mahal pengorbanan para pejuang di masa lampau untuk mengibarkan bendera dan mempertahankannya.

Upacara terus berlanjut, kini tiba saatnya tim paduan suara menyanyikan lagu Hari Merdeka. Aneh, kenapa tiba-tiba aku yang deg-degan? Bisikku dalam hati. Lewat ujung mata kuperhatikan Santrika, sang dirigen maju ke hadapan tim paduan suara. Dan ajaib!! Walaupun masih ada kekurangan, anak-anak padus sudah kompak menyanyikan lagu tersebut, bahkan kata “Setia” dan “Sedia” yang biasanya tertukar-tukar, kini mulus dilantunkan dengan benar oleh mereka. Aku tersenyum lega sekaligus senang. Latihan kami membuahkan hasil.

Hari ini, sama seperti 67 tahun yang lalu, tanggal 17 Agustus bertepatan dengan bulan Ramadhan dan sekaligus jatuh pada hari Jum’at. Tebat rawas menjadi saksi betapa kuat jiwa nasionalisme yang sudah tertanam di hati anak-anak sekolah dasar ini. Semangat itu tertular padaku, hampir 5 tahun setelah aku lulus SMA tak pernah lagi mengikuti upacara. Tanggal 17 Agustus selalu kutunggu bukan karena seremoninya, melainkan karena tanggal merahnya. Artinya, waktu untuk beristirahat dari kepenatan aktivitas sebagai mahasiswa yang berjubel. Aku malu. Disini, anak-anak lah yang meminta untuk upacara. Keceriaan mereka saat menyanyikan lagu sorak-sorak bergembira sembari mengipas-ngipaskan bendera kertas yang mereka buat sendiri. Senyum yang selalu mengembang saat aku berteriak pekik kemerdekaan yang langsung dijawab lantang oleh mereka berhasil menumbuhkan kembali kecintaanku pada tanah air.

Siangnya di sekolah, sambil menunggu guru mereka masih menyanyikan lagu-lagu nasional. Kulihat pohon harapan untuk 67 tahun Indonesia. Sengaja aku meminta mereka menuliskan harapan-harapan mereka untuk negerinya di pohon itu. Kubaca satu per satu. Aku tersenyum bangga. Betapa mereka sangat mencintai Indonesia. Kulihat satu tulisan berwarna merah dengan huruf kapital yang ditebalkan

“AKU CINTA INDONESIA. AKAN KUBELA NEGARAKU SAMPAI TITIK DARAH YANG PENGHABISAN- Anton”

Hatiku berdesir. Di dadaku penuh dengan optimisme. Optimisme akan perubahan besar bagi Indonesia di tangan anak-anak ini kelak.Ya, Indonesiaku tak akan pernah pudar di hati rakyatnya.

Dirgahayu Kemerdekan RI ke-67

 

Tebat Rawas, 28 Agustus 2012

 

[1]Capek

[2]Istirahat

[3]hendak

[4]Kenapa

[5]Tidak ada

[6]Sudah

[7]Rumah

[8]Sudah

[9]Bagaimana

[10]Nanti

[11]Ibu

[12]Iya


Cerita Lainnya

Lihat Semua