Sepanjang Jalan Lebuh-Kaduguling-Jahe, Pepohonan Bersorak; Kau Jagoan Nak!
Fandy Ahmad 14 Oktober 2012“Alam Semesta akan menarik lalu merespon dan mengabulkan apa yang kau pikirkan. Yang baik atau buruk, negatif atau positif. Pikiran berawal dari perasaan, still feel goodajaJagoan!”
Kemarin Lusa (Jelang Pulang Sekolah).
“Pak Pandi, ini ada pemilihan siswa teladan tingkat Kecamatan Cimarga. Bisa bantu siapkan anak-anak ya Pak!” ujar Pak Osim, Kepala SDN 1 Sangiang Jaya tempat aku ditugaskan oleh Indonesia Mengajar.
“Lombanya kapan Pak?” jawabku kepada Pak Osim.
“Besok portopolionya dikumpulkan. Lusa lombanya. Maaf Pak, saya mendadak menyampaikan ini” ujar Pak Osim sambil menyerahkan lembaran informasi lombanya.
“Beugh, iya Pak mendadak! Tapi baiklah, akan saya coba dengan menggandeng guru lain” kataku kepada Pak Osim. Menggandeng guru lain agar setelah PM tidak lagi ditugaskan di sekolah ini, guru bisa dengan mandiri mempersiapkan lomba-lomba lainnya. Tentunya PM membagi pengetahuan soal membangun motifasi, percaya diri, dan mimpi anak-anak untuk melakukan yang terbaik.
Saya pun membaca dengan seksama selebaran lombanya. Mulai dari syarat-syarat sampai dengan apa-apa saja meteri lombanya untuk memilih siswa teladan yang akan mewakili Kecamatan Cimarga ke Kabupaten Lebak. Beberapa materi lomba sudah pernah saya ajarkan dalam pelajaran tambahan tiap malam di rumah tinggalku. Namun, untuk ukuran anak kampung seperti anak-anakku yang polos dan tak bersalah seperti di sekolah ini, materi yang dilombakan sangat sulit dan tidak mungkin. Hanya membangun pesimisme saja!
Huuffff, saya menarik napas panjang lalu istigfar! Serius saya istigfar, tuben ;). Istigfar karena saya secara tidak sadar sudah meminta kepada alam semesta untuk menjadi orang yang selalu pesimis. Ah, jangan donk!
Kemarin (Jam Istirahat-Pulang Sekolah-Pengumpulan Portopolio-Belajar Bareng di Malam Hari).
Lonceng tanda istirahat berbunyi. Saya keluar dari kelas V baru saja mengajar IPA/Sains di kelas itu. Kelas yang jumlah muridnya 78 orang. Kelas yang riuh ramai. Kelas yang sebelum saya masuk, harus menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk mengajarkan IPA/Sains dengan sekreatif mungkin. Kelas yang anaknya lucu-lucu, lugo-polos, dan menggemaskan.
Saya menuju ruang guru, membawa 2 murid perempuan yang akan saya seleksi lagi, memilih salah satu yang sebenarnya keduanya saya harapkan untuk ikut lomba. Namanya Sukmawati dan Esa Lestari. Dua anak ini saya pilih dari hasil profilling yang saya lakukan kepada semua anak kelas empat sampai kelas enam. Dengan metode yang cukup rumit, terpilihlah mereka berdua dengan poin yang sama.
Memang dari hasil multiple intelegence research (MIR) yang saya lakukan kepada setiap anak, Sukma dan Esa cocok diikutkan lomba siswa teladan. Kalau menurut saya, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan linguistik yang menjadi prioritas utama. Proses wawancara dilakukan, mengarang Bahasa Indonesia, sampai dengan melakukan seminar kecil-kecilan untuk belajar memecahkan problem solving. Anak-anakku ini hebat, meskipun cakrawala pengetahuannya minim, mereka berhasil keluar dari problem rasa percaya diri yang rendah. Ini capaian yang sangat bagus. Karena prinsip yang saya tanamkan ke anak-anak; “Bapak tidak butuh anak-anak pintar, yang bapak butuh anak dengan rasa percaya diri yang tinggi, dan keberanian mencoba serta menemuka hal-hal yang baru. Itu saja!”.
Pulang sekolah terpilihlah Esa Lestari untuk ikut lomba. Portopolio Esa yang paling tinggi poin-nya dibandingkan portopolio Sukmawati. Tapi saya sangat sayang kepada keduanya. Point yang saya susun bukan berdasarkan angka kuantitatif yang menjebak, namun dengan analisis kuantatif yang melelahkan. Saya sempat mengeluh, dengan pola yang saya buat sendiri. Tapi saya ini guru, guru yang mestinya kreatif dan mampu membuat tantangan untuk diri sendiri J.
Sampai dirumah makan siang, sholat, ngeprint portopolio Esa plus foto dan syarat-syarat yang diminta panitia. Lalu saya berangkat ke UPT Cimarga untuk mengumpulkan portopolio Esa, sekalian mampir di Kampung Munjul rumah kepala sekolah untuk meminta stempel dan tanda tangan. Jalan menuju Cimarga minta ampun! Tapi jalan berbatu besar, berbatu tajam, licin-berlumpur karena habis hujan saya hajar saja. Toh, pemilik motor yang motornya saya pinjam bilang; “Sikat, hajar saja jalannya Pak! Rusak-rusakin aja motornya!”. Waktu tempuh jika kondisi hujan seperti ini makan waktu sampai 1,5 jam menuju (UPT) Kecamatan Cimarga.
Sampai di UPT, portopolio Esa saya serahkan kepada panitia. “Kok cuma satu orang Pak? Putranya tidak di daftarkan?” ujar panitia yang saya lupa namanya itu. Bapak ini juga seorang guru SD yang masih satu kompleks dengan kantor UPT Cimarga.
“Oh, harus dua ya Pak?” tanyaku kepada si Panitia.
“Iya, setiap sekolah diwakili 1 orang putra dan 1 orang putri” kata si panitia menjelaskan.
“Bukan satu sekolah satu perwakilan gitu pak?” tanyaku lagi.
“Satu orang putra dan satu putri pak” jawab si panitia.
“Kalau besok pagi sebelum lomba didaftarkan bisa tidak pak?” aku bertanya kepada si panitia.
“Hmmm, gimana ya?...........Iya deh, boleh!” jawab si panitia dengan penuh pertimbangan.
“Ok terima kasih Pak, saya pamit dulu, takut kemalaman!” saya minta pamit kepada si panitia.
“Pulang ke mana Pak?” tanya si panitia.
“Ke Kampung Lebuh Pak!” jawabku.
“Heh? Kampung Lebuh?” si panitia kaget, melongo. Saya beranjak meninggalkannya sendirian.
Singkat cerita, saya pulang ke Lebuh 16.30. Jalan yang saya lewati sama kondisinya saat saya berangkat. Tambahannya hanya rabun senja. Saya nekat saja melewati jalan itu, menerobos hutan, pohon bambu yang agak serem, kabut sehabis hujan, dan semak-semak di sekitar jalan. Dengan selamat saya sampai di kampung lebuh pukul 18.15 WIB.
Tiba dilebuh saya mandi, sholat, minum kopi buatan emak, lalu menuju rumah Esa untuk meminta ijin kepada orang tuannya untuk diikutkan lomba besok.
Setelah orang tua Esa setuju dan mengerti, saya lalu pulang kerumah. Di rumah saya berpikir putranya akan diwakili oleh siapa? Saya melirik ke arah laptop, meraihnya, laptop menyala lalu saya buka file yang merangkum profil siswa kelas empat sampai kelas enam. Fokus saya tertuju pada murid yang bernama Lutpi Pirdaus, kelas empat. Kecerdasan interpersonalnya sangat kuat. Sisanya, kecerdasan linguistik dan matematika-logis menjadi kolaborasi yang apik. Kecerdasan murid kelas empat didominasi oleh kecerdasan natural (alam). Itu alasan kenapa kalau pelajaran Matematika dan IPA/Sains yang saya ajarkan ke mereka selalu di luar ruangan.
Ngomong-ngomong untuk memilih Lutpi, kepala saya memperdebatkan banyak hal. Salah satunya (yang sebenarnya tidak perlu), anak yang luar biasa ini, cacat fisik. Tangannya, maaf, buntung sejak kecil. Saya tidak akan menceritakan bagaimana kejadiannya, akan panjang ceritanya. Secara logis, kalau saya guru yang kejam, saya tidak akan memilih Lutpi karena faktor itu. Tapi (sekali lagi) saya ini guru! Maka saya tertibkanlah pikiran saya yang kadang terlalu logis ini. Toh, saya juga tidak pantas menciptakan pesimisme dan memperlakukan secara jelek kekurangan murid saya, di pikiran saya. Ya, semua anak juara kan?
Buuukk! Saya memukul tembok kamar saya, tanda deal, putra akan diwakili oleh Si Lutpi Pirdaus. Jagoanku! “Pak, ada apa?” Emakku tiba-tiba membuka kamar, wajahnya terlihat kaget. “Oh...ini...anu...itu Mak...tadi anu, apa namanya? Ada nyamuk di tembok, saya pukul” kataku kepada Emak, aku pun salah tingkah. “Oh...” kata Emak legah, lalu menutup kembali pintu kamarku.
Cepat-cepat saya beranjak dari salah tingkah yang menunda waktu. Lalu berjalan cepat menuju rumah Lutpi yang jaraknya lumayan jauh dari rumah saya. Saya ngoobrol dengan orang tua Lutpi, meminta ijin untuk diikutkan lomba, kemudian Lutpi saya bawa ke rumah untuk breafing sekaligus menambal kekurangannya dalam hal materi lomba yang akan dilombakan. Terutama, pertunjukkan seni. Saya putuskan Lutpi akan membaca puisi, ‘Aku’-nya Chairil Anwar. Sebenarnya saya ingin Lutpi mempertunjukkan Seni Debush khas Banten. Tapi, saya (gurunya) kebal senjata tajam aja boro-boro. He he he. Kalau Esa pertunjukan seninya menyanyi, lagu ‘Terima Kasih Guruku’ yang legendaris itu.
Putra dan Putri yang mewakili sekolah tempat saya bertugas sudah siap untuk breafing dan menambal kekurangan. Terlebih dahulu saya memberikan tes awalan, yang kira-kira akan masuk dalam lomba, mengobok-obok rasa percaya diri, motifasi, dan mimpi keduanya. Terutama Si Lutpi yang kadang selalu meratapi kekurangannya. Selesai, saya rasa keduanya siap. Tapi masalah kecil yang muncul, kedua anakku ini tidak punya seragam sekolah lengkap. Keduanya saya suruh pulang untuk istirahat. Semalaman saya keliling kampung ke rumah anak-anakku yang lain untuk mencari pinjaman seragam lengkap untuk jagoanku. Sekalian ke rumah Pak Aden suruh siap berangakat pagi-pagi, guru honorer muda yang gak diangkat-angkat juga jadi pegawai, guru yang saya gandeng untuk lomba ini. Capek!
Hari Ini (Hari Lomba)
“Pak, yaaaa ammmpuuun! Katanya berangkat jam setengah enam? Wuiiih, masih molor aja? Kumaha tea?” Pak Aden membuka pintu kamarku, mengagetkanku yang masih tertidur pulas. Sambil terkekeh.
“Eh, Pak. Tungguin sakejap! Pak Aden ngopi he lah. Saya mandi dulu” kataku masih mengantuk.
“Hayo sagera!” pinta Pak Aden. Kali ini agak jengkel.
Saya bangkit, meraih handuk, menuju kamar mandi sambil melihat ke luar. Eh, ternyata anak-anakku sudah siap. Mereka sudah rapi, Emakku tadi menyeterikakan baju mereka. Duh, Emakku tersayang, inisiatif sekali!
Setelah mandi saya memakai baju yang ternyata sudah diseterika rapi juga oleh Emakku. Oke Mak, sejuta kecupan buat Emak! Sholat subuh, meski telat, ah Tuhan Maha Pengertian bukan? Ngeprit portopolio Lutpi yang kata panitia boleh diserahkan pagi ini sebelum lomba. Setelah semua siap, saya salim ke Emak dan Bapak. Menyeruput kopi terdahsyad se jagat bikinan Emak. Lalu bergegas ke Cimarga. Saya membonceng Esa, Pak Aden membonceng Lutpi.
Sampai di tempat lomba, saya memandangi lekat-lekat wajah kedua jagoan saya. Sangat lekat dan dalam. Sial, wajah mereka terlihat bercampur panik dan khawatir, rasa percaya diri kedua jagoanku ini rontok perlahan-lahan.
“Baiklah anak-anak, coba lihat anak-anak kota itu! Lihat baik-baik, mereka tidak ada bedanya dengan kalian; sama-sama makan nasi, mereka tidak makan batu! Barangkali bedanya, kalian lebih tangguh dari mereka. Kalian berangkat pagi-pagi dari Lebuh, melewati jalan yang sialan, hutan yang Masya Allah, dan lupa sarapan pagi tapi masih bisa tersenyum (aku memberikan kedua anakku roti isi keju)! Kalian pemberani sejati yang sebenarnya! Kalian, meskipun anak kampung, masih punya harga diri, jangan mau diremehkan ya!” aku memotifasi anak-anakku. Entah mereka mengerti perkataanku atau tidak T,T. Alhamdulillah mereka bilang “Iya, Pak!” optimisme mereka lalu meroket J.
Saya daftarkan Lutpi di panitia. Dan lomba pun dimulai. Lomba pemilihan siswa teladan tingkat Kecamatan Cimarga ini dibagi dua tahap. Tahap pertama Tes Potensi Akademik (TPA) dan akumulasi nilai portopolio. Tahap kedua tes wawancara, seminar, pertunjukan seni, mengarang Bahasa Indonesia, dan Peraturan Baris Berbaris (PBB). Yang poinnya kecil pada tes tahap pertama tidak bisa ikut tes tahap kedua. Tes tahap pertama akan memilih lima putra dan lima putri untuk masuk tes tahap kedua yang menentukan siapa yang akan mewakili UPT Cimarga ke Kabupaten Lebak.
Tes tahap pertama selesai, anak-anakku keluar dari ruangan, cepat-cepat mereka saya sambut lalu saya berikan susu yang saya beli di toko seberang jalan. Sambil minum susu, kami breafing persiapan tes tahap kedua jika lolos, dan siap-siap untuk pulang jika tidak lolos. Lutpi meringis kesakitan sambil memegang perutnya. “Kenapa Nak?” tanyaku kepada Lutpi. “Aduh, sakit perut Pak!” jawab Lutpi. Ini kesalahan saya, lupa kalau Lutpi adalah anak kampung yang tidak terbiasa minum susu. Meskipun susu yang saya berikan disedotnya sampai tetes terakhir.
Peserta yang lolos tahap ke dua diumumkan. Kami harap-harap (tak boleh) cemas. Yes, Lutpi lolos tes tahap ke dua. Tapi oh no, Esa belum diberi kesempatan lolos ke tahap kedua. Padahal saya sangat berambisi Esa mewakili UPT Cimarga ke Lebak. Karena saya sangat yakin se yakin-yakinnya kalau Esa lolos ke Lebak, dia akan mewakili Lebak ke Provinsi Banten. Esa adalah satu-satunya anak dengan karakter yang kuat dibanding anak-anak seusianya di SDN 1 Sangiang Jaya tempatku mengajar, bahkan di Kabupaten Lebak, serius.
“Keeceeeewaaaa, kaaareeeeenaa cinnntaaaaa!” nada panggil dari HP sialan milik salah satu guru yang murid putrinya lolos ke tahap ke dua, memekik seperti kucing yang kejepit. “Beugh!” aku jengkel-mengeluh entah tentang apa.
Esa aku redam rasa kecewanya, tentunya setelah aku meredam kekecewaan pada diriku sendiri. “Esa hari ini belum lolos, gak apa-apa ya sayang! Tau gak kenapa Esa gak lolos? Karena lomba ini gak level buat Esa! Ini lomba dengan level rendah, Esa cocoknya ikut lomba dengan level tinggi, bukan lomba dengan level rendah seperti ini. Lain kali ada loh lomba dengan level tinggi buat Esa, dan bapak yakin Esa bisa menang! Okey? Tos dulu dong!” kataku memberi motivasi kepada Esa.
“Kalau Esa cocoknya lomba level tinggi, kok level rendahnya gak lolos Pak?” sepertinya Esa protes soal ucapanku.
“Hmmm...ini makan siang dulu ya nak!” pintaku kepada Esa sambil memberikannya Es Krim. Aku menggaruk-garuk kepala. Sebenarnya aku mengalihkan pembicaraan karena aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Weh, susah juga memotifasi anak-anak ya!
“Iya donk, menang! Siapa dulu gurunya” terdengar suara keras orang menelpon di sebelahku. Gayanya menelpon menarik perhatian orang se UPT. Guru yang HP sialan-nya tadi memekik kencang-mengejek. Bah.
Lutpi aku breafing. Kali ini fokus soal problem solving sebelum mulai masuk tes tahap ke dua. Karena kesimpulanku mereka yang juara pada tahap ini adalah mereka yang memiliki kemampuan memecahkan masalah. Plus PBB seadanya aku ajarkan ke Lutpi. Sebenarnya sudah aku ajarkan pada Eskul Pramuka aba-aba paling dasar sampai ekspert. Tapi aku tambahkan aba-aba langka yang saya prediksi diberikan oleh juri. Misalkan hadap kanan maju jalan, balik kanan henti, aba-aba jebakan balik kiri dan hormat kiri. Saat di coba, Lutpi ternyata bisa! Jagoanku ini cepat menangkap apa yang aku jelaskan. Karena rasa percaya dirin plus mentalnya yang membuncah.
Lomba di mulai. Seminar, wawancara, mengarang Bahasa Indonesia, dan pertunjukkan seni sudah diikuti oleh Lutpi. PBB dilombakan di lapangan, disaksikan oleh semua guru. Aku memperhatikan Lutpi dari jarak tidak jauh bersama guru-guru pendamping dari SD lain. Awalnya aba-aba yang diberikan oleh juri dilakukan dengan sangat baik oleh Lutpi. Tapi tiba-tiba; buuuut! Oh my God, Lutpi, maaf, kentut! Peserta yang lain juga juri melirik ke arah Lutpi. Mereka menahan tawa, tapi tawa pun pecah!
Aku mengadahkan tagan ke langit lalu mengusap tangan ke wajahku sekuat-kuatnya. Ingin tertawa tapi tak tega. Aku meraih kotak susu yang sudah disedot habis oleh Lutpi lalu melemparnya dengan agak emosi ke tempat sampah. Aku melihat wajah Lutpi dari jarak tidak jauh, anakku ini down. Aba-aba selanjutnya yang diberikan juri, tidak dilakukan dengan benar oleh Lutpi. Langkah tegak maju seperti robot, jalan di tempat kaki kanan duluan, pokoknya berantakan. Guru-guru lain tertawa semakin keras, Lutpi semakin tidak konsentrasi. Aku menarik napas dalam-dalam. Setelah selesai PBB, Lutpi dengan polosnya mengaku, saat aba-aba bubar jalan, dia kentut lagi. “Tapi nggak keras kok Pak!” pengakuannya dengan tersenyum malu-malu. Aku merangkulnya erat-erat.
Pemenang diumumkan. Semua peserta dan guru pendamping berbaris. Di tengah barisan aku hanya menunduk, tanda aku pesimis Lutpi akan menang. Jangankan menang, masuk tiga besar saja sulit untuk berharap. Lutpi gagal di PBB. Juri pun membacakan juara untuk putra mulai dari juara tiga. Bukan Lutpi, aku semakin menunduk. Juara satu, bukan Lutpi, aku balik kanan, ingin keluar dari barisan, tapi dalam posisi serong kanan. “Juara II dari sekolah nun jauh di sana!” juri membacakan juara II. Aku balik kanan, ingin melangkah keluar barisan. Karena aku menganggap ‘sekolah nun jauh di sana’ bukan SD tempat aku mengajar, masih ada SD lain meskipun SD-ku lebih jauh lagi.
“Atas nama Lutpi Pirdaus!” juri menyebut nama Lutpi. Langkahku tertahan saat ingin keluar barisan. Kepalaku berdebat, murid bernama Lutpi Pirdaus yang ikut lomba hanya satu, muridku. Aku masih ragu, itu Lutpi anak muridku. “SDN 1 Sangiang Jaya” juri menyebut sangat jelas nama SD tempatku mengajar. Aku balik kiri, menarik napas dalam, kepalaku mengadah ke langit, tak lagi menunduk, anak muridku juara II! Aku mengangguk ke arah Pak Aden.
Ceremony penutupan lomba selesai. Hujan deras mengguyur Cimarga. Aku bangga melihat anakku menerima piala meski hanya juara II. “Pak, maaf hanya juara II. Jangan hukum saya ya Pak!” ujar Lutpi memasang wajah melasnya yang polos. Aku hanya tersenyum merangkul Lutpi dan Esa, kami bertiga duduk di teras kelas yang masih satu kompleks dengan UPT sambil memandangi hujan. Dingin, tapi berempat (plus piala), kami hangat. UPT mulai sepi, hujan terus mengguyur deras.
Setelah hujan agak redah (gerimis), Pak Aden mengajak kami pulang. Sudah pukul empat sore. Jalan yang kami lewati becek dan berlumpur. Ban motor tenggelam. Sesekali kandas. Tapi kami menikmati perjalanan. Kabut yang lembut setelah hujan terjebak di jalan menerpa wajah kami. Sepanjang jalan ada suara berbisik kepadaku. Suara dari pepohonan, dari semak belukar, dari buruh-burung, kabut, serangga, dan angin sepoi;
Pak Guru, sampaikan ke anak-anakmu.
Kami berbisik kepadamu.
Dari pepohonan, kabut tipis yang lembut, burung-burung, dan angin sepoi.
Dengarkan!
Kami bersorak.
Bersorak. Histeris.
Disepanjang jalan Lebuh-Kaduguling-Jahe.
“Kau Jagoan Nak!”
Kami bersorak-bernyanyi riuh-ramai dalam diam.
Dalam bisu.
Itu senja tersenyum diufuk.
Lihat merahnya, berbaur dalam gerimis hujan.
Dalam lembut embun, membentuk jingga kemerahan.
Kau juga mendengarkan pastinya Pak Guru.
Mereka bilang ke jagoanmu dalam kusyuknya;
“Kau Jagoan yang sebenarnya Nak!”.
Semua bersorak dalam indahnya,
Sepanjang jalan Lebuh-Kaduguling-Jahe.
Sambil menyetir motor, aku memegang erat tangan Esa yang memeluk pinggangku. Aku melihat ke arah Lutpi yang dibonceng Pak Aden di depan. Lutpi berbalik sambil tersenyum memeluk erat piala dengan tangan buntungnya. Tangan buntungnya yang mungil dan lucu. Tangan buntungnya yang sering digigit-gigit oleh teman-temannya jika lagi bete di kelas. Mataku berkaca-kata. “Hei Nak, dengarkan senja berbisik. Kau tangguh, pemberani, jagoan yang sebenarnya” gumamku menerobos senja sepanjang Lebuh-Kaduguling-Jahe.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda