Tiga Duyung Ngambek

Ade Susilo 11 Maret 2014

Merah Putih tidak berkibar meskipun telah berada di bagian paling atas tiang bendera sekolah. Siang itu memang tidak ada angin. Matahari sedikit tertutupi oleh awan hingga cahayanya tidak terlalu terik. Murid laki-laki kelas 5 dan 6 terlihat sedang bermain berlarian mengejar si kulit bundar. Anak kelas 4 masih sibuk mengejarku untuk bertanya tentang operasi penjumlahan bilangan negatif dan positif. Mereka terlihat antusias dengan soal-soal yang kuberikan. Mereka pantang menyerah. Katanya menemukan jawabannya sendiri. Alhasil, aku tertahan dan duduk di ujung teras kelas 4.

Tiba tiba, Dea, Imel dan Anis, tiga orang murid kelas 3 yang manis ini mendekatiku. Kukira mereka datang ingin menabung, namun ada maksud lain.

“Ini Pak. Surat buat Pak Ade, jangan dibaca sekarang ya Pak,” Imel menyerahkan suratnya. Merekapun berlari menajauhiku. Aku masih fokus mengajarkan beberapa murid kelas 4 matematika. Surat itu pun terabaikan. Menunggu waktu bel masuk setelah istirahat, aku membuka suratnya. Hanya selembar kertas dari buku yang dirobek. Kubuka lipatan kertas tersebut dan langsung terlihat tinta berwarna biru. Tulisan tangannya rapi. Ini isinya.  

 

Assalammualaikum

Pak Ade ternyata Pak Ade tidak sayang sama kita

Yang pas waktu mandi kuala, padahal kita minta difoto, tapi pak pilih dorang mbak Indri padahal mereka nggak minta difoto, padahal kita sudah siap-siap tapi Pak cuekin kita, jadi kita mandi aja terus sampai kita batrai kameranya habis padahal kita sudah bilang kalau minta difoto

Pak Ade sayangnya sama kelas 4, Pak Ade pilih kasih

 

Aku tidak perlu membaca suratnya dua kali. Aku mengerti maksudnya. Akupun senyum-senyum sendiri. Beruntung di kantor hanya ada aku sendiri. Memoriku secara otomatis mengingat kejadian kemarin. Aku dan beberapa murid yang tinggal di sekitar sekolah mandi di kuala (baca sungai). Ada beberapa tempat untuk mandi di kuala, mulai dari kuala pura, kuala mati, kuala lombok hingga yang paling aku suka, kuala jembatan. Dan kemarin kita mandi disana. Aku membawa kamera digital dan bermaksud untuk mengambil foto-foto disekitar kuala. Pertama aku mengambil foto anak-anak kelas 6 yang suka melompat dengan berbagai macam gaya masuk ke dalam sungai. Saat ingin mengambil foto tiga orang anak ini, tiga duyung, tiba-tiba baterai kameraku habis. Aku memang lupa untuk mengisi baterai saat listrik dari genset rumah hidup tadi malam.

Aku memanggil mereka tiga duyung karena mereka suka sekali berpura-pura menjadi ikan duyung ketika mandi di kuala. Seringkali bertanya duyung itu ada atau tidak. Tidak jarang juga memintaku mencarikan gambar dugong setelah aku jelaskan bahwa ikan duyung itu adalah dugong jika di laut. Aku tidak membalas surat mereka karena sikap mereka kepadaku tetap sama. Hari itu, seperti biasa, sepulang sekolah mereka menanyakan apa yang akan aku lakukan sore hari. Aku mengatakan kepada mereka untuk ke tempat sinyal karena ada keperluan. Karena tidak ada kendaraan, maka aku akan berjalan kaki kesana. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk mencapainya ditambah jalan yang mendaki di beberapa tempat.  

“Kami ikut Pak. Kito orang pernah kesana. Anis pernah kesana, tapi tidak jalan kaki. Tapi kita tidak akan capek Pak. Pokoknya kita ikut Pak”, kata Dea memaksa.

Bersama tiga duyung dan Geral, kita berjalan kaki. Disana, setelah usaha sekitar 30 menit, aku berhasil menelpon dan mengirimkan beberapa pesan singkat. Pukul 3 sore, aku buru-buru untuk mengajak mereka pulang karena aku sudah janji untuk mengajar les 2 orang anak kelas 5 sesudah ashar yang akan mengikuti OSN esok hari. Kuajak mereka agar jalan lebih cepat. Suara adzan ashar terdengar, langkah kupercepat. Tiga asyik melihat anak lain mandi di kuala dari jembatan kuala. Merengek memintaku ikut mandi kuala. Permintaan mereka tidak dapat kupenuhi karena aku harus segera ke sekolah. Geral masih sibuk memegang kamera sambil menyamai langkahku. Tiga duyung tertinggal. Kulihat dari kejauhan mereka bertiga jatuh dan berteriak aduh. Cukup terdengar olehku.

Sesampai disekolah, sekolah masih sepi. Anisa dan Fifi belum datang. Kubuka perpustakaan dan mengajak Geral untuk menggambar. Sepanjang jalan tadi aku berjanji kepadanya untuk memberikan kertas gambar. Ia suka menggambar. Geral mulai sibuk menggambar. Langkah kaki terdengar. Kukira itu Anisa dan Fifi, namun ternyata langkah kaki itu milik tiga duyung.

“Ini Pak, buku les kita. Kasih soal toh,” Dea berkata dengan nada sedikit tinggi sambil memberikan buku les. Mukanya menunjukkan ekspresi kesal dan marah. Imel yang berada dibelakangnya menimpali dan memberikan buku. Anis datang belakangan. Buatku, ekspresi marah mereka sangat lucu.

“Loh, kalian kenapa? Kalian ngambek sama Bapak?”, kataku dengan nada bercanda. Aku tidak tahan menahan tawa melihat ekspresi dan tingkah mereka. Aku menggoda mereka. Tiga duyung berjalan hilir mudik di perpustakaan. Duduk di lorong rak buku sebentar. Pindah lagi ke teras perpus. Kuintip sedikit lewat jendela kaca dari meja baca. Mereka diam tanpa suara, menatap jauh kedepan. Masuk ke perpus lagi, pura-pura membaca buku. Setelah itu, tiga duyung pergi keluar dan duduk dekat tiang bendera di lapangan sekolah. Geral selesai menggambar dan aku mengajakknya pulang. Anisa dan Fifi tidak datang. Beberapa meter dari perpustakaan, dengan langkah cepat dan marah, mereka mendekatiku dan langsung memasukkan kertas yang sudah diremukkan berbentuk bola kedalam kertasku sambil berkata “Pak ade jahat. Tidak sayang ke kita,” teriak tiga duyung keras sekali. Entah mengapa, justru aku tidak dapat menahan senyum dan tawa selama berjalan kaki ke rumah. Sesampainya, kubaca surat itu.

 

Pak Ade pilih kasih sama kita, Pak Ade jahat padahal Pak sudah lihat kita nangis tapi Pak enggak hiraukan kita, Pak Ade cuekin aja. Pak lebih senang sama kelas lain, terutama kela 5 dan 6 terutama di kelas 5 kak Geral dan Anis, yang dikelas 6 Mbak Indri dan kak Ferli

Pak Ade pilih kasih sama kelas 3, Pak Ade lebih senang mereka daripada kita

Waktu pelajaran bahasa Inggris, Pak Ade tidak menghiraukan kita

 

Dea yang memang tinggal serumah denganku masih dengan sikap dan ekspresi ngambek. Ibu (nenek Dea) ikut tertawa melihat tingkah Dea kepadaku. Kuceritakan kepadanya apa yang terjadi sore itu. Hingga malam hari, Dea pulang mengaji, aku membujuknya.

“Dea mau lihat foto-foto bunga yang Dea ambil. Sama foto-foto tadi sore” bujukku.

Emoh. Gak mau”, jawab Dea ketus.

“Yakin? Bapak hitung ya”

“Iya, iya, iya. Aku mau.” belum selesai hitunganku.

Pagi harinya, sebelum pergi kesekolah, Dea minta agar surat yang mereka tulis dibalas. Balasannya kira-kira seperti ini,

 

Untuk tiga duyung (Anis, Dea, Imel)

Waktu mandi kuala kemaren, Bapak mau foto kalian juga, tapi tiba-tiba baterai kameranya habis. Terus kemaren itu juga Bapak sudah janji ngasih les Anis sama Fifi untuk persiapan OSN. Itulah kenapa Bapak buru-buru. Bapak yakin tiga duyung pasti mengerti. Tiga duyung adalah anak yang baik.

 

Dan sore harinya, kutemukan surat lagi di lantai kamarku. Kali ini suratnya diberi amplop yang dibuat dari robekan kertas buku. Di amplopnya ada gambar bunga-bunga yang tempo hari pernah kuajarkan. Penuh dengan ornamen. Penuh warna. Kubuka dan mulai tersenyum sendiri. Lagi.

 

Assalamu alaikum Pak Ade

Untuk Pak Ade

Pak, kita jujur kita memang marah sama Pak karena ninggalin kita jadi marah Pak padahal mbak Anis nggak datang dengan Fifi. Sewaktu di kuala itu kita kan sudah minta difoto Pak. Kita sudah sadar kok pak. Dua duyung (Imel dan Dea) sudah maafin Pak, ok. Satu duyung lagi (Anis) dia belum maafin Pak. Soalnya dia masih marah sama Pak karena yang kemarin itu yang pas waktu Pak ninggalin kita. Soalnya buru buru ke perpus untuk ngajar yang mau ikut OSN. Padahal kita sudah jatuh sampai kaki kita keseleo. Pak nggak hiraukan kita dan Pak nggak mau nunggu kita.

Pak tapi kita tetap sayang sama Pak Ade karena Pak Ade penggantinya Bu Aulia, kan kita juga sayang sama Bu Aulia, jadi kita harus sayang sama Pak Ade. Kita sayang banget sama Pak Ade.  

 

Di sekolah, hampir tiap jam istirahat mereka mencariku untuk menabung. Hampir tiap pulang sekolah mereka akan bertanya apa yang akan aku lakukan sore harinya. Dan ketika mereka mendengar jawaban “Bapak mau turun. Tidak ada dirumah”. Mereka akan ber-yaaa panjang. Itulah tiga duyung. Selalu membuat senyum dan tawa.


Cerita Lainnya

Lihat Semua