info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ayo Buat Parasut

Ade Susilo 11 Maret 2014

Hijaunya rumput pagi masih kelihatan segar dengan sisa embun semalam. Matahari bersinar cukup terang. Pohon mangga besar membuat sebagian sekolah tertutup teduh bayangannya. Membuat cuaca semakin menyenangkan pagi itu. Anak-anak berlarian masuk ke kelas, topi dan dasi masih terpasang rapi. Bersiap untuk belajar. Kakiku melangkah santai menuju kelas. Dengan tas di punggung dan kedua tangan membawa kotak merah berisikan alat dan bahan mengajar.

“Weh, Pak Ade bawa apa itu”, bisik kelas 4 pagi itu.

“Pak, kita buat terjun payung IPA hari ini?”, tanya salah seorang anak dengan semangat. Padahal baru beberapa langkah aku masuk kelas.

“Iya, nanti Bapak bagikan bahan dan alatnya ya,” jawabku.

Pagi itu saya memang berencana membuat parasut bersama anak-anak. Materi belajar IPA untuk membuat karya model sederhana menggunakan energi angin. Saya memilih membuat parasut karena hal ini akan menyenangkan dan mudah dibuat. Anak-anak kelihatan sangat bersemangat dan berbeda. Hari ini mereka langsung duduk tenang menunggu apa yang akan kulakukan selanjutnya. Pagi itu dimulai dengan doa seperti biasa. Setelah menuliskan cara pembuatan parasut di papan tulis, saya mulai membagikan alat dan bahannya.

“Nah, Bapak sudah siapkan alat dan bahannya. Tapi sebelumnya Bapak mau tanya, ada beberapa teman kalian yang tidak membawa plastik parasut sebelumnya? Setelah Bapak buat, ternyata cukup seluruh kelas. Boleh kita bagi dengan teman yang tidak membawa plastik sebelumnya?” tanyaku ke seluruh kelas. Saya bertanya kepada anak-anak yang telah membawa plastik sebelumnya.

“Iya Pak, bagikan saja”, jawab mereka. Lega rasanya mendengar jawaban itu. Saya sudah meminta mereka untuk membawa plastik kresek sebelumnya. Tidak semua membawanya. Mungkin karena plastik kresek yang dikumpulkan harus cukup besar dan mereka tidak menemukannya.

Pembagian alat dan bahan berjalan dengan lancar. Beberapa anak bertanya bagaimana cara membuatnya dan kelihatan khawatir tidak berhasil membuatnya. Di depan kelas, saya menjelaskan dan mendemonstrasikan cara membuat parasut sederhana. Dari cara membagi lingkaran plastik agar lubang bisa memiliki jarak yang sama, mengikat benang di plastik hingga mengikat seluruh benang secara bersamaan pada potongan kardus sebagai beban. Mereka memperhatikan dengan seksama. Selanjutnya mencoba membuat sendiri.

“Buatnya, berdua dengan teman sebangku. Kalo susah, bantu temannya ya.”

“Kalo berusaha, kita pasti bisa,” celetuk Aswan.

“Ya benar kata Aswan, kalo berusaha kita pasti bisa”, sambungku spontan. Entah dari mana ia mendapatkan kata-kata itu.  

“Pak, saya tidak bisa mengikat benangnya,” Bilal mengalami kesulitan.

“Hmm, Jivel bantu Bilal sebentar. Jivel sudah jago buatnya.” Bilal memang duduk sendiri. Dan Jivel kelihatan sudah sangat mahir membuatnya. Saya juga terkejut melihatnya. Apalagi kali ini sangat tenang. Biasanya ia akan sering berlari dan teriak ketika belajar. Ia tidak hanya membantu Bilal, ia bahkan juga membantu Tasya dan Faldi.

“Desi juga tolong bantu Yeti.” Yeti kesulitan ketika mengikat benang di plastik. Saya tidak membantu mereka sama sekali dalam proses pembuatan parasut. Jika mereka mengalami kesulitan, mereka akan mencoba sendiri. Jika tidak mampu, maka mereka akan meminta bantuan temannya.

“Hayo, sekarang kita semua keluar, pergi ke lapangan. Kita lihat, parasut siapa yang paling tinggi dan paling lama turun ke bawah,” tantangku pada mereka.

“Hayooo....,” teriak mereka dengan semangat. Tidak perlu diberi aba-aba lagi, semuanya sudah berlarian dengan parasutnya.

“Siap semuanya, kita lempar sama-sama. Satu, dua, tiga... ” seruku.

Ada yang melompat setinggi tingginya. Ada yang melempar parasut sekuat mungkin. Ada yang lupa parasutnya seimbang. Ada yang benangnya sedikit terlilit. Bukan hanya sekali, namun berkali kali mereka melakukannya. Mereka teriak semangat. Dan wajah mereka terlihat sumringah dan mengingatkanku dulu saat aku juga pertama kali bermain parasut. Mungkin seperti itu juga wajahku.

“Pak, kok cepat sekali turunnya,” tanya Bilal. Wah, ini kesempatanku untuk menjelaskannya.

“Nah, kalo mau lebih lama, plastik parasutnya harus lebih besar agar udara yang terperangkap lebih besar. Jadi turunya bisa lebih lama. Coba nanti, dirumah anak-anak Bapak coba sendiri buat dirumah ya. Terus bisa dibandingkan dengan parasut yang kita buat sekarang” jelasku.

“Iya Pak, nanti saya mau buat yang besar dirumah,” jawab yang lain.

Bahkan hingga istirahat siang, anak-anak masih sibuk memainkan parasut buatan mereka sendiri. Wahyudi yang paling sering main bola, kali ini masih sibuk berlari kesana kemari memainkan parasutnya. Kadang ia dan Fikri melompat dari atas meja melemparnya bersamaan. Belum lagi Jivel yang sudah naik ke potongan kayu di bawah pohon mangga memainkan parasutnya. Begitu sederhana kebahagian mereka.  


Cerita Lainnya

Lihat Semua