Perkemahan Pramugari

Dwi Anggrainy Astivan 9 Maret 2014
Apa yang terlintas ketika anda membaca judul cerita ini? Apakah Anda membayangkan akan membaca cerita mengenai perkemahan wanita-wanita cantik yang mengenakan seragam di atas pesawat terbang? Sesungguhnya cerita ini merupakan kisah perkemahan anak-anak berseragam coklat, memakai dasi merah putih, memegang tongkat, bertopi jerami dan baret. Ya, Pramuka! Perkemahan Pramugari merupakan sebuah akronim dari Perkemahan Pramuka Tiga Hari. Dibawah teriknya sinar mentari, anak-anak pramuka SDN 019 Longkali bertumpuk dalam sebuah mobil pick up berangkat dari desa Maruat menuju perkemahan Pramugari yang terletak di SMP 03 Longkali, desa Sebakung 4. Sebuah perkemahan yang telah kami nantikan selama beberapa minggu belakang ini. Desir angin panas menyapa ketika kami sampai dipelataran tujuan dan mengiringi kami menuruni pick up. Senyum-senyum kecil terpancar disela keringat yang menetes di wajah anak-anak.  Anak-anak usia 9-12 tahun bekerja sama mendirikan kemah, menjejalkan linggis ke dalam tanah untuk memasukan bambu sebagai tiang penyangga utama. Terik matahari secara sempurna memanggang tanah sehingga diperlukan tenaga orang dewasa untuk melubanginya. Setelah tanah terlubang, anak-anak mengerumuni bambu tersebut dan bersama-sama menancapkan bambu. Lucunya melihat mereka serentak menggantungkan badan ke bambu agar bambu dapat tertancap mantap. Belumlah kemah dapat berdiri tegak, tiba-tiba hujan mulai turun. Air-air yang turun dari langit itu berhasil membuat kubangan-kubangan di area perkemahan dan merubuhkan kemah yang belum sepenuhnya terpasang. Sedih rasanya melihat anak-anak menatap kemah yang telah mereka dirikan rubuh. Ketika hujan berhenti, beberapa guru turun tangan membantu mendirikan kembali kemah anak-anak. Beberapa anak mendirikan kemah, sementara anak lainnya membantu menggoreng pisang dan tempe untuk hidangan pengganti tenaga membangun kemah. Semua bekerja ditengah udara sejuk dalam bebauan  tanah sehabis hujan. Cipratan-cipratan air tanah, gerimis hujan dan keringat telah menyatu dipermukaan kulit mereka. Tak lama kemudian kemah pun dapat berdiri, kami semua menatapnya sambil tersenyum. Namun, mata kami tertuju pada genangan air dibawah kemah. “Bu, bagaimana kami tidur kalau tanahnya becek?” tak hanya becek, tetapi banyak kubangan-kubangan air disana. Tentunya terpal tak akan mampu menahan air dan dingin. Lalu terdengarlah sebuah ide dari seorang pendamping pramuka “Dialaskan rumput dulu saja, lalu baru diberi terpal”. Sesungguhnya itu adalah sebuah ide yang cemerlang, tetapi rona lelah telah terpancar dari wajah mungil anak-anak, begitu pun guru-guru yang lain. Tak tega rasanya jika mereka harus mengangkut rumput berjarak 200 meter. Tak ada yang menanggapi ide tersebut, semua terdiam merasakan tanah yang menempel dikaki yang telah letih berdiri. Seorang gadis berumur 10 tahun menggulung rok panjangnya, menyelipkannya di celana pendek dalaman yang dipakainya, berjalan menuju rerumputan dan berteriak “Ayo teman-teman kita ambil rumput supaya nanti malam bisa tidur nyenyak!”. Lalu kaki-kaki kecil mulai melangkah mengikuti pemberi ide, mengambil onggokan rumput di sudut area kemah dan menyusunnya di dalam kemah. Empat kali mereka mondar-mandir dan akhirnya terciptalah “kasur” di dalam kemah mereka. Sungguh besar semangat mereka, lega rasanya melihat senyum dan tawa tetap menghiasi bibir mereka. “Pramuka itu memang susah, tetapi tidak payah!” Ya, anak-anak itu tidak payah walau dalam kesusahan. Mungkin seragam berwarna coklat sebagai warna tanah dipilih pramuka karena mereka tidak takut kotor, dasi merah putih sebagai lambang nasionalisme merupakan wujud semangat yang tak henti, dan tongkat kayu sebagai wujud pribadi yang kuat. Aku bangga terhadap pramuka, aku bangga menjadi saksi perjuangan anak-anak pramuka SDN 019 Longkali di perkemahan Pramugari.

Cerita Lainnya

Lihat Semua