Ternyata, Masih Banyak Orang Baik Di Dunia Ini

Ade Susilo 25 Oktober 2014

Luwuk, kota berair. Kota dengan dengan sejuta pemandangan indah. Mulai dari pantai bening berwarna biru laut hingga bukit hijau pepohonan. Dimalam hari, kota ini disebut “Hongkong”. Mungkin karena kerlap kerlip lampu menerangi kota yang berbukit bukit ini. Dan di salah satu sudut kota, Bukit Kasih Sayang, adalah tempat awal kami bertemu. Dua belas inspirator, empat relawan panitia dan enam pengajar muda menyamakan visi, membangun mimpi anak negeri melalui Hari Inspirasi Banggai yang dilaksanakan pada 10 Oktober 2014. Bagi saya, berada diantara mereka serasa dikerubuti rasa positif.

Sehari sebelumnya, ada briefing Hari Inspirasi Banggai. Mengikuti acari ini membawaku untuk melihat sesuatu lebih dalam. Gunawan, seorang pekerja sosial asal Poso menceritakan sedikit kisah masa kecilnya. “Saat SD, saya habiskan di Poso yang pada saat itu adalah masa konflik. Kita melihat orang asing saja takut”. Secara refleks, aku membayangkannya. Anak – anak yang takut bertemu dan bersinggungan dengan orang lain. Tiba – tiba teringat akan satu siswa SMP dari Narratiwat, Thailand, yang tiba – tiba menangis saat saya mengajak berkenalan. Mungkin ia menangis karena ia takut kepadaku. Perlu diketahui bahwa Narratiwat adalah salah satu propinsi rawan konflik di Thailand. Bisa dikatakan seperti Aceh. Terbayang kondisi psikologi para siswa yang tumbuh dan berkembang saat konflik seperti Poso.

Pengorbanan para inspirator harus diacungi jempol. Gunawan bersama Kak Neng, Kak Ningsih dan Adam rela mengendarai mobil belasan jam dari Palu. Indah, dari Gorontalo menyebrang dengan kapal ferry ditambah lagi berkendara dengan mobil untuk sampai disini. Pak Murad Nasir, disela kesibukkannya sebagai anggota DPR RI, ikut ambil bagian dari kegiatan ini. Alil Suling memacu kecepatan motornya menaklukkan jarak puluhan kilometer untuk datang. Renu, terbang langsung dari Jakarta sampai ke Luwuk untuk menjadi inspirator. Waktu kerja mereka pun dikorbankan. Alasan mereka pun tidak muluk muluk. Mereka hanya ingin berbagi pengalaman kepada para siswa. Pengalaman hidup mereka hingga mereka mampu mencapai seperti sekarang. Pengalaman untuk berani bermimpi mencapai cita – cita mereka. Apapun cita – cita baik para siswa.

Saya pun belajar banyak dari para inspirator yang sangat kreatif untuk menarik perhatian siswa selama mengajar. Renu, penerjemah bahasa Rusia, misalnya, membawa matrioska untuk memukau anak – anak. Andi dan Inal bahkan membawa microphone dan sound sistem radio untuk memperkenalkan siswa seperti apa seorang penyiar radio. Adam, menunjukkan bahwa trik sulap adalah cara jitu memusatkan perhatian siswa. Lebih dari itu, satu hal yang membuat saya terkejut adalah ketika para inspirator memperebutkan kelas yang dipenuhi anak – anak “super aktif” dan berani. Yang terkadang sebagai guru akan menghindari kelas seperti ini.

Ada banyak hal yang didapat dari kegiatan Kelas Inspirasi. Mengutip ucapan Kak Neng saat sesi refleksi, meskipun dengan keterbatasan fasilitas, anak – anak di desa bisa lebih bebas belajar. Mereka juga bisa belajar langsung dari alam. Berbeda dengan anak – anak di kota yang terkekang oleh kemajuan teknologi dan kesibukan kota. Lain dengan Fikri yang mengungkapkan bahwa jika di Kelas Inspirasi itu bebas kepentingan, baginya ia punya kepentingan disini, yaitu kepentingan untuk mengajar. Beda kagi dengan Pak Achi yang menunjukkan rasa bahagianya bahwa ia dapat mengajak anak – anak untuk mencintai dunia pertanian melalui kegiatan ini.

Kelas Inspirasi ibarat sarang laba – laba. Menjadi tempat untuk mempertemukan jaring – jaring orang baik dan peduli akan pendidikan di Indonesia. Untuk kita yang terkadang lelah berjuang sendiri. Atau berpikir bahwa tidak ada orang lagi yang bisa diajak kerja sama. Kelas Inspirasi menjadi tempat bertemu dengan orang – orang hebat serta mengisi kembali semangat dan energi untuk berbuat baik. Kelas Inspirasi Banggai menyadarkan saya bahwa masih banyak orang baik di dunia ini.

You’ll never walk alone – Liverpool.


Cerita Lainnya

Lihat Semua