Buku Baca Cecep

Ade Susilo 25 Oktober 2014

Cecep. Sudah bisa ditebak dari namanya ia adalah keturunan Sunda. Murid kelas 4 yang tinggal di Desa sebelah tempatku mengajar. Desa Ondo Ondolu I SPB (Satuan Pemukiman B), yang berjarak sekitar satu kilometer dari sekolah. Sebelum pemekaran, SPA, SPB dan SPC adalah satu desa*. Sekarang SPA dan SPB menjadi Desa Ondo Ondolu I. Sedangkan desaku sendiri adalah Desa Ondo Ondolu. Kami lebih sering menyebutnya SPA, SPB atau SPC. Mungkin agar lebih mudah di ucapkan. Sama seperti kebanyak keluarga lain yang ada di desa, keluarganya adalah transmigran. Mereka berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Lombok. Suku asli sulawesi juga masih mendiami desa ini. Meski tidak sebanyak warga transmigran.

Cecep adalah satu dari dua orang siswa kelas 3 yang belum bisa membaca saat aku mulai mengajar disekolah ini. Bukan hanya belum bisa membaca, ia bahkan belum mengenal huruf-huruf alfabet dengan baik. Antara M dan N, B dan D, bahkan V, W, Y dan Z seringkali salah ia baca. Banyak juga sembarangan ia membacanya. Jadi, aku harus mulai mengajarinya dari nol.

“Ia memang beda Pak Ade. Pernah ia pulang sekolah, terus bilang tidak naik kelas kepada saya. Tapi ia tetap mau pergi ke sekolah. Ia lain dengan kakaknya yang putus sekolah. Pak Ade harus sabar dengan Cecep karena dari sejak TK dulu ia agak kurang mengingat dan menangkap pelajaran,” pesan ibunya kepadaku ketika aku berkunjung kerumahnya. Aku hanya mengatakan kepada ibunya untuk mengingatkan Cecep agar belajar membaca setiap sore atau malam dari buku belajar membaca. Ia sudah punya buku baca sendiri.

Meski sudah berjanji untuk rajin membaca, mengajarinya cukup butuh perhatian. Setiap istirahat sekolah, aku harus memanggilnya untuk belajar membaca denganku. Beberapa kali ia terlihat enggan karena sedang malas atau asyik bermain dengannya. Aku tetap dengan pendirianku. Setiap istirahat ia harus belajar membaca. Pernah juga aku tidak mengontrolnya dan hasilnya, ia kembali lagi lupa akan huruf atau cara membaca yang telah ia pelajari sebelumnya. Setiap akan mulai belajar, aku selalu bertanya apakah ia juga belajar dirumah. Dan selalu, jawaban yang jujur ia berikan. Ia akan menjawab tidak, jika memang tidak. Dan ia jika ia memang belajar membaca.

Pernah satu ketika hampir seminggu ia tidak masuk sekolah, aku bertanya, “Kenapa kamu sudah lama tidak masuk sekolah?”.

“Saya ke Luwuk, Pak. Bantu bapak kerja, cari uang,” jawabnya polos.

Atau saat ia memukul adik kelasnya hingga menangis, ia menjawab, “Dia masuk kelas tiga, Pak. Ganggu kita lagi belajar,” jawabnya. Aku tahu ia salah, namun disatu sisi aku tahu bahwa ia punya keinginan besar untuk belajar. Pernah satu ketika aku melihatnya hanya melongo dengan mata bulat melihat temannya membaca buku cerita rakyat bergambar di lantai ruang guru. Dari kejadian ini satu hal yang kupahami bahwa jauh didalam hatinya ia ingin dapat membaca buku seperti teman – temannya. Ia juga ingin tahu banyak cerita menarik yang sering temannya ceritakan.

Banyak hal ajaib yang kualami selama mengajarinya. Seperti saat selesai mengajarinya mengeja kata – kata terbuka seperti “maka”, “pagi” dan “satu”. Dengan sangat cepat ia menguasai kata – kata tertutup seperti “bukan”, “salut” dan “bahwa”. Hanya perlu sekali mengajarinya membaca huruf “ny” dan “ng”. Entah dari mana ia dapat dengan cepat memahaminya.

Selesai khatam modul baca sederhana yang diberikan kepadanya, aku hanya memberinya buku – buku cerita singkat dan sederhana. Ia masih mengeja, belum lancar. Terkadang kata – kata lebih dari tiga suku kata masih sering salah. Saat itu aku menasehatinya agar ia mencoba mengeja dalam hati dan langsung mengucapkan kata – katanya. Tidak memakan waktu lama ia melapor kepadaku, “Pak, saya sudah bisa membaca tanpa mengeja.” Waw.

Itu adalah cerita awalku dengannya di sekolah ini. Sekarang ia sudah bisa mengikuti teman – temannya ketika mendikte bacaan. Walau terkadang masih tertinggal sedikit – sedikit. Ia juga tidak malu lagi pergi ke perpustakaan dan memilih buku yang ingin ia baca. Membawanya pulang dan beberapa hari kemudian mengembalikannya. Ia mengajarkan arti sebuah proses. Memulai dari hal kecil dan berlanjut dengan hal kecil pula. Yang terpenting tetap menjalankannya. Bersabar. Pada akhirnya hasilnya mulai terlihat.

Cecep, seringkali ketika bertemu ia riang hati berkata, “Pak, ini buku yang Bapak pinjamkan. Sudah selesai saya baca. Terima kasih, Pak. Masih ada buku yang lain lagi pak? Biar saya baca dirumah.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua