Tanah Becek 17 Agustus
Ade Susilo 25 Agustus 2014Minggu, 17 Agustus 2014. Dengan setelah rapi putih putih, Pak Rustam, Kepala Desa Ondo Ondolu telah bersiap menjadi inspektur upacara Hari Peringatan Republik Indonesia ke 69 di SD Inpres Ondo Ondolu SPC. Bertempat di lapangan sekolah, kami berbaris di atas rumput hijau bercampur tanah becek sisa hujan beberapa hari belakangan. Apalagi jika mengingat dua hari sebelumnya terjadi hujan deras tanpa henti selama dua hari. Membuat desa terisolasi beberapa hari akibat jalan poros kota menuju desa terjadi longsor. Sungai meluap dan hampir banjir. Beruntung, di desa hanya ada beberapa tempat digenangi air. Termasuk tempat kami berbaris pagi itu.
Sehari sebelum pelaksanaan upacara, saya berdiskusi dengan beberapa guru untuk mengadakan upacara dan perlombaan 17 Agustus. Hasilnya, mereka setuju dan mendukung. Saat saya mengumumkan kepada para siswa bahwa kita akan melaksanakan upacara peringatan kemerdekaan Indonesia yang kebetulan jatuh pada hari Minggu, banyak pertanyaan muncul.
“Pak, kalo ndak punya topi atau dasi gimana?”
“Pak, kitorang pakai baju apa?”
“Pak, sepatu saya kotor. Kena pecek”
“Pak Ade, boleh pake sendal?”
“Pak, bawa tas dan buku?”, pertanyaan – pertanyaan ini muncul.
“Besok upacaranya jam 8 pagi. Pake baju putih merah. Yang punya topi dan dasi, silahkan dipake. Kalo ndak punya, ndak papa. Yang penting anak – anak pake baju putih merah. Yang ada sepatu, silahkan pake sepatu. Kotor sedikit tidak apa-apa. Satu lagi, bawa baju biasa. Karena setelah upacara, kita akan mengadakan lomba. Jadi biar baju putih merahnya ndak kotor, habis upacara kita ganti baju”, jelasku sambil berdoa mereka semua mengerti. Mencoba menjawab sebaik mungkin.
“Ah, saya ndak pake sepatu, Pak. Sepatu saya basah dan kotor,” jawab seorang murid.
“Pak, topi dan dasi saya hilang,” komentar satu orang anak.
“Pak, pakai kaos kaki gak?”
“Pak, kitorang bawa buku dan tas?”
“Pak, boleh lapis bajunya?”
“Pak, nanti ganti bajunya dimana?”
“Lombanya apa saja, Pak?”
“Pak, saya ndak mau ikut lomba”
“Pak, besok pulangnnya jam berapa? Saya mau bajaga sapi”
Baiklah, penjelasannya harus diulang dan juga penekanan pada kata dan kalimat tertentu. Rasa ingin tahu mereka memang sangat tinggi. Anak-anak juga selalu mengungkapkan perasaan dengan sangat jujur. Terkadang terlalu jujur. Upacara juga diikuti oleh beberapa warga. Bapak, Ibu, pemuda dan pemudi menyempatkan hadir meski dengan kesibukan mereka di ladang setiap pagi. Pak Rustam sudah mengumumkannya ke seluruh desa lewat pengeras suara masjid kemarin. Ini bukti bahwa mereka masih punya rasa cinta tanah air.
Sebelum upacara dimulai, berkali kali saya harus berjalan kesana kemari untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik. Berlarian kecil ke paduan suara untuk memastikan bahwa mereka tidak salah menyanyikan lagu Hari Merdeka. Saat latihan kemarin mereka belum hafal bait terakhir. Memberi aba-aba kepada peserta upacara agar barisan tetap rapi dan berdiri menghindari tempat becek. Meyakinkan Tasya bahwa ia mampu menggantikan Putri yang mengeluh sakit tenggorokan. Ada saatnya juga saya harus menenangkan barisan kelas satu yang sudah gusar dan mengeluh capek karena kata mereka upacaranya lama sekali dimulai.
Upacara berjalan lancar. Semesta mendukung. Cuaca cerah. Amat juga menjalankan tugasnya sangat baik sebagai pemimpin pasukan paling kanan. Padahal saya agak meragukannya. Walaupun ada banyak hal yang perlu diperbaiki. Namun yang paling melegakan adalah paduan suara tidak salah lirik menyanyikan lagu Hari Merdeka.
Waktu berlanjut. Selesai upacara, berbagai perlombaan dimulai. Lomba balap karung adalah yang pertama. Untuk kelompok putri terjadi kejutan. Rindi, siswa kelas 4 ternyata menjadi yang tercepat. Mengalahkan siswa lain yang postur tubuhnya jauh lebih besar darinya. Ternyata teknik dan kecepatannya tidak terkalahkan. Juga di lomba panco, Aldi, siswa kelas 4 mampu mengalahkan Ferdian, siswa kelas 5 yang lebih dijagokan karena postur badannya yang lebih besar dan kekar. Meskipun ia harus puas diposisi kedua setelah kalah di final. Keunggulan fisik bukan segalanya. Yang terpenting adalah strategi, motivasi dan mental untuk menjadi juara.
Pasukan kelas 5 menguasi perlombaan tarik tambang. Ruli, Andis, Amat, Enal dan Bilal menggusur semua lawan. Padahal mereka selalu dianggap bermasalah di sekolah. Kekompakan mereka harus diberi jempol. Usaha keras mereka juga harus dihargai. Perlombaan selesai. Saatnya pembagian hadiah yang berupa buku, pensil dan pena. Sedehana memang. Namun bagi mereka, hal itu sudah lebih dari cukup. Sebab rasa bangga atas kemenangan tidak diukur dengan besarnya hadiah, bukan?
Kita sudah tidak peduli lagi dengan sepatu, celana dan baju yang kotor. Kaki-kaki yang penuh lumpur dan keringat bercucuran. Semua orang larut dalan kemeriahan kegiatan ini. Semua orang ikut mebantu. Pak Kepala Desa, menyediakan sound system dan snack untuk upacara bendera. Bu Oliv, guru SBK, sibuk membukus hadiah bagi para pemenang. Beliau juga berinisiatif menyumbangkan beberapa buku tulis sebagai tambahan hadiah bagi pemenang. Pemuda Karang Taruna desa dengan suka cita menjadi panitia dadakan membantu kelancaran perlombaan ini. Mulai jadi juri hingga penjaga garis. Tidak kalah penting, kehadiran warga desa juga memberi semangat dan kemeriahan.
Dan mari kita tutup Hari Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 69 di salah satu desa terpencil ujung timur pulau Sulawesi dengan satu surat yang ditulis siswa untuk Presiden Indonesia.
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu.
Halo Pak Presiden, apa kabar? Kalau aku baik-baik saja disini. Disini sangat ramai dan sangat sejuk. Pak saya mau tanya disana ramai juga? Pak Preside pasti sangat senang disana kalau aku disini sangat sedih karena aku mempunyai teman pada nakal-nakal. Pak presiden sudah tercapai ya cita-citanya ya, kalau aku belum tercapai karena aku masih kelas 6 SD. Dan umur aku baru 11 tahun.
Hari ini 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia. Pak Presiden, saya menulis surat ini karena saya ingin sekali berkenalan dengan Pak Presiden. Pak, apakah Bapak tidak ke Ondo Ondolu SPC, kalau Bapak kesini, pasti saya sangat senang atas kedatangan Bapak. Malah kalau bisa saya undang ke rumahku untuk berkenalan bersama orang tuaku.
Pak Presiden bisa nggak bantu aku belajar? Soalnya pelajaran kel 6 sangatlah susah, apalagi yang matematika UN pasti tambah susah. Pak kasih tau caranya.
O, iya meskipun saya bilang begini sama Bapak pasti Bapa tidak akan kesini.
Pak Presiden kesini ya, saya mohon Pak, Bapak kesini. Jika Bapak tidak kesini nggak papa deh. Pasti Pak Presiden ada urusan disana.
Wassalamu alaikum Wr. Wb
Terima kasih
Novita Wahyuningsih
Merdeka. Merdeka. Merdeka.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda