info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Islam yang Tergadai

Ade Putri Verlita Maharani 11 Oktober 2017

Pulau paling barat Indonesia yaitu Sumatera, terkenal dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam. Seperti halnya Aceh yang menobatkan diri sebagai Kota Darussalam, Musi Rawas juga sempat memiliki visi menjadi Kota Darussalam, ketika masa pemerintahan Bupati Ridwan Mukti.

Konsep Darussalam sendiri dianggap berbeda dengan beberapa kebijakan yang ada karena selain menuju target pemerintahan (Millenium Development Goals/MDGs), nilai-nilai religius menjadi aspek penting dalam setiap pelaksanaannya. Tapi apakah pemaknaan Darussalam ini sudah menyentuh masyarakat-masyarakat daerah yang berada di pelosok Musi Rawas (?)

Kembang Tanjung adalah desa yang berada paling selatan dari Musi Rawas, berbatasan langsung dengan Kabupaten Empat Lawang. Pertama kali tiba di SD desa ini, saya tidak langsung mengajar. Saya memilih mengamati sekeliling, dan menyadari keberadaan Darussalam ini salah satunya dari seragam yang dikenakan oleh guru dan siswa. Setiap siswa dan guru mengenakan seragam lengan panjang, dan khusus perempuan ditambah dengan atribut jilbab.

Saya senang karena tidak merasa minoritas di daerah ini, terutama menyangkut soal keagamaan. Kebetulan waktu itu bertepatan dengan momen Ramadhan. Sayangnya, momen ramadhan ini ternyata tidak diimbangi dengan pelaksanaan ritual puasa, meski semua penduduknya beragama Islam. Bahkan anak-anak bebas makan dan minum selama jam-jam orang biasanya berpuasa.

Setelah diamati lebih jauh, ternyata memang ritual keagamaan masih belum menjadi kebiasaan di daerah ini. Masyarakat masih belum melaksanakan ritual wajib semacam sholat dan puasa. Begitu juga anak-anak, masih sangat jarang yang mau sholat dan berpuasa. Selain itu, meski masih berada di Indonesia, saya hampir tidak pernah mendengar kumandang adzan dari masjid desa selama ini. Hal yang cukup miris, menurut saya.

Tapi kemudian, yang saya tahu, untuk menumbuhkan kebiasaan beritual membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sama halnya dengan pengalaman saya, untuk mencintai sebuah keyakinan membutuhkan waktu seumur hidup saya seiring pertumbuhan dan perjalanan hidup yang saya alami.  

Alih-alih memaksakan sebuah ritual dilaksanakan secara dogmatis, saya lebih mengenalkan Islam dengan cara-cara yang menyenangkan. Salah satunya melalui kegiatan takbir keliling. Malam Adha tahun 2017 ini menjadi momen pertama anak-anak mengumandangkan takbir sambil berkeliling desa. Siang hari sebelum pulang sekolah, Saya mengajak anak-anak agar berkumpul di rumah piara selepas magrib sambil membawa perkakas jenis apapun yang bisa menjadi alat musik. Bisa berupa rebana, alat-alat masak, kaleng sarden, botol kecap, dan lain sebagainya.

Malam itu, mereka datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan, mereka sudah tidak sabar ingin segera bertakbir. Sebelum berkeliling, saya sempat menjelaskan kepada mereka mengenai esensi dari takbir. Takbir di sini serupa suka cita para muslim dalam menyambut hari raya Islam, kali ini Idul Adha, yang diperingati setiap setahun sekali. Takbir sebagai bentuk syukur para pemeluk agama Islam karena masih bisa bertemu dengan Idul Adha.

Suara kaleng sarden, jerigen, rebana, dan perkakas lain bergabung menjadi satu membentuk nada ritmis mengiringi takbir kami malam itu. Para warga yang biasanya hanya berdiam diri di dalam rumah, karena memang suasana desa yang gelap (belum ada listrik), memilih ke luar rumah karena penasaran dengan ramai yang tidak biasa. Kemudian saya bertukar senyum dengan warga sembari terus mengumandangkan takbir bersama anak-anak.

Begitulah cara saya merayakan sebuah kemenangan Adha di Desa Kembang Tanjung. Dengan kegiatan-kegiatan menyenangkan semacam ini, besar harapan saya anak-anak bisa tumbuh menjadi penganut agama yang damai dan logis, bukannya fanatik. Yang mencintai agama mereka secara menyeluruh dan lebih mendalam, tidak hanya memandang atribut yang dikenakan oleh seseorang. Sehingga ketika dewasa nanti, mereka tidak mudah terprovokasi oleh hal-hal yang kurang fundamental, yang acap kali memicu perpecahan bahkan dengan sesama pemeluk agama yang seiman. Karena agama adalah cara kita untuk lebih menghargai perbedaan, bukan malah sebaliknya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua