Yang Dapat Kita Renungkan dari Terbit-Tenggelam Ujian dan Asesmen Nasional

4 Februari 2022

Mari berasumsi bahwa kita adalah warga negara Indonesia pada umumnya, taat pada aturan, dan telah menjalani wajib belajar 12 tahun yang pertama kali dicanangkan oleh pemerintah sejak Juni 2015 silam. Bersekolah secara formal di Indonesia, tentunya kita tidak terhindar dari kesempatan--sekaligus keharusan, untuk mencicipi berbagai rasa Ujian Nasional (UN) yang menanti di tiap penghujung jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar, hingga menengah atas. Bagaimana tidak? Diselenggarakan pertama kali pada tahun 1950, ujian yang telah berganti nama sebanyak enam kali ini menjadi kewajiban bagi siapa saja yang membutuhkan ijazah sebagai bukti kelulusan. 

 

Terbit dan tenggelam Ujian Nasional: memandang evaluasi pendidikan dalam sejarah

Dilansir dari Tirto, tahun 2020 menjadi tahun terakhir bagi Ujian Nasional (UN) untuk dilaksanakan. Dimulai dari 2021 kemarin, bentuk ujian yang telah langgeng selama 70 tahun tersebut akhirnya diganti dengan evaluasi bentuk lain, yakni asesmen kompetensi minimum dan survei karakter bernama Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK).

Sejak dideklarasikannya kemerdekaan Indonesia, UN menjadi sistem utama bagi evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan secara nasional. Ujian ini diselenggarakan untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan peserta didik pada jenjang satuan pendidikan sebagai hasil dari proses pembelajaran sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Selain itu, hasil UN juga digunakan untuk melakukan pemetaan tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada satuan pendidikan. 

Pertama kali, Ujian Penghabisan (1950-1964) menjadi nama yang digunakan untuk menyebut evaluasi tahunan di akhir tiap tingkat pendidikan Indonesia. Ujian ini diadakan dalam skala nasional dengan soal-soal uraian yang dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, yang kemudian hasilnya akan diperiksa oleh pusat-pusat rayon.

Tak bertahan lama, Ujian Penghabisan kemudian berganti nama menjadi Ujian Negara (1965-1971) sebagai ujian akhir penentu kelulusan. Jika kita dinyatakan lulus ujian ini, maka kita akan diperkenankan untuk melanjutkan ke sekolah atau universitas negeri. Sebaliknya, jika tidak lulus, maka kita terpaksa mencari alternatif sekolah atau universitas swasta untuk melanjutkan pendidikan. 

Setelah hadir selama enam tahun, Ujian Negara lalu digantikan oleh Ujian Sekolah (1972-1979) yang bertujuan untuk menentukan tamatnya peserta didik dalam menyelesaikan program belajar pada satuan pendidikan. Kali ini, seluruh bahan ujian disiapkan oleh sekolah atau kelompok sekolah, sehingga kualitas, tingkat kesukaran, dan mutu soal sangatlah bervariasi tergantung lembaga pendidikan yang menyediakannya. Selain itu, bentuk soal dan sistem penilaian juga diserahkan pada sekolah, dengan pedoman penilaian umum dari pemerintah pusat. Akibatnya, tidak ada standar nasional yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas tingkat pendidikan maupun mutu lulusan. 

Evaluasi Belajar Tahap Nasional, disingkat Ebtanas atau Ebta (1980-2002) menjadi salah satu istilah ujian yang cukup akrab di telinga kita. Serupa namun tak sama, Ebtanas menguji beberapa pelajaran pokok, sedangkan Ebta mengujikan mata pelajaran lain di luar Ebtanas. Mula-mula, pemerintah pusat akan menerbitkan petunjuk teknis penyelenggaraan Ebtanas dan Ebta, termasuk kriteria kelulusan ujian. Jika bahan Ebta disediakan oleh sekolah, bahan dan kumpulan soal untuk Ebtanas tetap disediakan oleh pusat untuk kemudian digandakan dan dirakit oleh panitia daerah. Di akhir, sekolah akan memeriksa jawaban dan menentukan kelulusan siswa berdasarkan pedoman pusat. 

Setelah Ebtanas, pergantian istilah terjadi kembali menjadi Ujian Akhir Nasional (2003-2004) lalu Ujian Nasional (2005-2020). Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni untuk menentukan kelulusan, memetakan mutu pendidikan, dan menjadi salah satu bahan seleksi menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jika pada UAN pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab untuk penyelenggaraan ujian, maka pada UN, hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, serta tingkat sekolah.

 

Yang perlu kita pahami tentang Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK)

Tercatat, sejak tahun 2006--setahun setelah implementasi awal Ujian Nasional, telah muncul berbagai kritik, saran, dan tuntutan mengenai penyelenggaraan ujian ini. Masyarakat dan pemerhati pendidikan umumnya menyoroti standar kelulusan UN yang dinilai membatasi peserta didik untuk mendapatkan gelar kelulusan. Menyikapi ini, UN juga terus berusaha dibenahi dengan mengurangi standar kelulusan, hingga pengadaan ujian perbaikan bagi peserta dengan nilai kurang memuaskan.

Mulai tahun ajaran 2021, UN resmi dihapuskan secara permanen oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Keberadaan ujian ini akan digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Kepada Tirto, Nadiem juga menyampaikan bahwa kebijakan ini adalah tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). 

Menurut laman Kemendikbud, Asesmen Nasional dapat diartikan sebagai program evaluasi yang diselenggarakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan memotret input, proses dan output pembelajaran di seluruh satuan pendidikan Indonesia.

Asesmen Nasional adalah program penilaian terhadap mutu setiap sekolah, madrasah, dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah. 

Mutu satuan pendidikan dinilai berdasarkan hasil belajar murid yang mendasar, kualitas proses belajar-mengajar, dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran. Informasi-informasi tersebut diperoleh dari tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Pelaksanaan ujian dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah seperti kelas 4, 8 dan 11. Harapannya, asesmen dan survei ini dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran.

Asesmen Nasional juga menghasilkan informasi untuk memantau perkembangan mutu dari waktu ke waktu beserta kesenjangan antar bagian di dalam sistem pendidikan. Kesenjangan ini dapat berupa kesenjangan antar kelompok sosial ekonomi tertentu, kesenjangan lembaga pendidikan negeri dan swasta, kesenjangan antardaerah, dan sejenisnya. Diharapkan, Asesmen Nasional dapat menunjukkan apa yang seharusnya menjadi tujuan utama satuan pendidikan, yakni pengembangan kompetensi dan karakter murid. Gambaran tentang karakteristik esensial sebuah satuan pendidikan yang efektif untuk mencapai tujuan utama tersebut juga diharapkan dapat mendorong satuan pendidikan dan para stakeholders untuk memfokuskan sumber daya pada perbaikan mutu pembelajaran.

Jika dipandang melalui konsep dan tujuannya, Asesmen Nasional merupakan program yang cukup bagus untuk menilai dan mengevaluasi kualitas pendidikan di seluruh pelosok negeri. Namun, bagaimana dengan implementasinya?
 

Jalan kita masih panjang: pelaksanaan ANBK di pelosok Indonesia

Jika mengingat masa-masa pelaksanaan Ujian Nasional dahulu, mungkin yang terbayang dalam benak kita adalah ruangan ujian yang telah diatur sedemikian rupa dengan satu hingga dua pengawas di tiap kelasnya. Kemudian, kita akan mendapatkan beberapa lembar kertas ujian dengan mata pelajaran yang berbeda sesuai jadwal masing-masing. Lalu, hari-hari setelah ujian menjadi masa tunggu yang mendebarkan karena hasil ujian tersebut menggenggam masa depan pendidikan kita.

Jika dahulu kita terbiasa mengerjakan ujian di atas kertas, kini hampir seluruh asesmen dilakukan melalui komputer. Tak terkecuali di daerah-daerah yang belum banyak bersinggungan dengan teknologi, termasuk daerah penempatan Pengajar Muda, Kabupaten Maybrat.

Pada November 2021 lalu, tim Pengajar Muda Maybrat mendampingi berbagai sekolah untuk simulasi ANBK. Termasuk Safarin Fitri Akmal--akrab disapa Farin, Pengajar Muda Angkatan 21 yang mengajar di SDN YPK Jitmau. Minggu itu, ia mendampingi sekitar 7 sekolah untuk menjelaskan kepada anak-anak yang baru pertama kali menggunakan komputer. Ia menemani para peserta didik untuk mengoperasikan mouse, mengetik menggunakan keyboard, dan menjawab setiap soal yang muncul di layar.

Ada sekitar 50 soal yang perlu dikerjakan. Bagi Farin, soal tersebut dinilai terlalu sukar untuk anak-anak di desa. Ditambah lagi dengan belum terbiasanya anak-anak dalam menatap layar komputer selama berjam-jam. Baginya, kegiatan ini cukup menguras tenaga dan pikiran.

Hal yang serupa juga dialami oleh Pengajar Muda di Seram Bagian Timur, Maluku. Melalui Berbagi Suara, Pengajar Muda Angkatan 21 yang akrab disapa Faiza menceritakan pengalamannya untuk mendampingi murid-murid di kelas lima SDN 3 Tutuk Tolu. Ketiadaan komputer di sekolah menjadikan peserta didik “menumpang” di SMA terdekat untuk mengikuti ANBK. Seperti halnya di Maybrat, hal ini juga menjadi pengalaman pertama bagi murid-murid Faiza untuk mengoperasikan komputer. Sistem penilaian yang serba berubah ini tentunya memerlukan waktu agar para siswa dapat beradaptasi, sehingga keberadaan para aktor pendidikan di sekitar akan sangat membantu penyesuaian teknologi dalam pengerjaan ujian.

Perubahan, meskipun seringkali membuat kita merasa tidak nyaman, adalah salah satu bukti bahwa ada yang sedang berusaha kita benahi dari dalam diri. Perubahan berbagai aspek pendidikan, mulai dari kurikulum hingga metode evaluasi, menjadi tanda bahwa negara kita sedang berbenah pula untuk masa depan pendidikan yang lebih baik. 

Dilansir dari PISA Indonesia, hasil PISA (Programme for International Student Assessment)--suatu program internasional yang mengukur kemampuan peserta didik pada rentang usia 15 tahun, Indonesia masih menduduki peringkat yang terbilang rendah, yaitu 69 dari 77 Negara pada 2018. Menanggapi hal ini, tentunya diperlukan evaluasi dan refleksi diri untuk memperbaiki sistem pendidikan dalam negeri. Jalan memang masih panjang dan jauh, tetapi bukan berarti kita dapat merasa pesimis dengan masa depan pendidikan bangsa. Justru sebaliknya, dengan teknologi yang ada, kini kita dapat bahu-membahu memajukan pendidikan melalui cara sederhana, dimulai dari lingkungan terdekat kita, dimulai dari pertanyaan kecil: apa yang dapat kita bantu benahi, hari ini?

 

***
Ditulis oleh:
Redaksi Pojok Refleksi Indonesia Mengajar


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua