Tidak Ada Hari-hari "Biasa" Ketika Kita Berada di Desa

28 Januari 2022

Pagi itu adalah pagi yang berbeda, setidaknya bagi dirimu yang bangun cepat karena tak sabar untuk kembali belajar di sekolah. Jam menunjukan pukul tujuh, dan meskipun matahari masih belum sepenuhnya menampakkan diri, kamu telah siap memulai harimu sebagai siswa tahun ajaran baru. Ketika itu, umur kamu masih sekitar sepuluh tahun, dan kamu tidak sabar bertemu dengan teman-teman, saling bercerita tentang apa saja yang kalian lakukan semasa liburan, kemudian menyambut bapak dan ibu guru yang menugaskan kalian untuk menulis cerita semasa berlibur, lalu meminta satu-persatu murid untuk membacakannya di depan kelas.

Hari-hari berjalan cepat ketika kamu masih anak-anak. Selepas pulang sekolah, kamu segera melepas seragam, makan siang, lalu bermain kembali seolah belum mengenal perasaan lelah. Pagi berganti menjadi petang, lalu esok hari datang lagi untuk membawa cerita baru dan mengisi lembar-lembar masa kecilmu. Mungkin, tidak semuanya masih kamu ingat dengan baik, tetapi perasaan hangat itu masih ada dan bersisa, takkan terhapus oleh waktu, meskipun kini kamu telah menginjak dewasa.

Kira-kira, perasaan itu jugalah yang dialami oleh anak-anak di SDN 10 Banyu Abang, Kecamatan Teluk Batang, Kayong Utara. Pagi itu adalah hari pertama masuk setelah libur kurang lebih dua minggu. 

Ketika melangkahkan kaki masuk ke halaman sekolah, Inda Ayu Lestari--akrab disapa Inda, Pengajar Muda angkatan 21 penempatan Kayong Utara, disambut hangat oleh anak-anak peserta didiknya. Ia masuk ke kelas empat dan mengajak para siswanya untuk bercerita tentang pengalaman liburan mereka. Beragam cerita hadir dan mewarnai kegiatan di kelas saat itu. Mulai dari cerita jalan-jalan ke ibu kota Kalimantan Barat lalu main di mall, kisah liburan bersama keluarga di pantai, hingga pengalaman membantu bapak di ladang maupun berkunjung ke rumah nenek. 

Selain bercerita secara langsung tentang liburan mereka, Inda juga mengajak peserta didiknya untuk menuliskan pengalaman liburan mereka sebagai tugas. Antusiasme anak-anak dalam menyambut tahun ajaran baru menjadi suntikan energi tersendiri bagi Inda untuk tak kalah bersemangat menyongsong hari-hari belajar bersama di sekolah.
 

Siang yang menyenangkan di ladang

Jika pagi tadi kita berkunjung ke Teluk Batang, Kayong Utara, kini mari bergeser sedikit ke Pulau Maya. Siang hari sesuai kegiatan belajar mengajar di sekolah, Sendy, Pengajar Muda Angkatan 21 yang mengajar di SDN 13 Kamboja, ikut Ibu Ati ke ladang untuk menyemai padi bersama ketiga anaknya, Anita, Anila dan Raya. Untuk sampai di ladang, mereka perlu berjalan kaki sekitar dua kilometer dari kediaman masing-masing.

Kepada Sendy, Ibu Ati menyampaikan alasannya mengapa memilih berangkat ke ladang di siang hari yang terik. “Kan kalau pagi anak-anak masih di sekolah. Sayang kalau tidak belajar, apalagi sekolah masih terbatas pertemuan seperti ini (karena pandemi). Jadi Ibu nungguin mereka pulang.”

Bagi Sendy, aktivitas berladang mengingatkannya tentang kampung halaman. Dahulu, ia bersama kedua orang tuanya biasa mengisi waktu luang dengan berkebun. Sambil berteduh di bawah pohon mangga, mereka akan membuat perapian kecil untuk memasak ubi dan ikan sambil menikmati petang sebelum hari menjelang gelap. Bagi Sendy, hidup terasa lebih ringan ketika itu. 

Hari-hari di ladang bersama Ibu Ita dan anak-anaknya menjadi istimewa sebab membangkitkan ingatannya akan masa kecilnya, menjadi pengingat bahwa hal sederhana juga dapat menjadi sumber kebahagiaan yang tak terkira harganya.
 

“Kami seperti pasukan dengan misi mulia: Mencari Paku”

Kini, matahari telah mulai berjalan ke arah barat, memberikan semburat warna jingga pada langit yang sama di Kayong Utara. Saat itu setengah jam sebelum waktu asar ketika rumah Qurrata--Pengajar Muda angkatan 21, diketuk oleh kedua siswanya, Azis dan Gibran.

“Ibuk jadi mau maku?” Tanya mereka. 

Di Kayong Utara, “maku” adalah suatu sebutan dari kegiatan mencari sayuran paku atau pakis. Masyarakat dusun penempatan Qurrata telah terbiasa dengan kegiatan tersebut. Di sana, tumbuhan paku tumbuh subur di belakang rumah, dan lebih subur lagi jika mencari hingga ke dalam hutan yang membutuhkan perjalanan sekitar 2-3 kilometer untuk sampai.

Sepanjang jalan menuju hutan, Qurrata bertemu dengan banyak siswanya. Tak sedikit dari mereka yang kemudian menawarkan diri untuk menemaninya maku.

“Saya tambahkan (temani) boleh ya, Buk?” Seru salah satu siswa Qurrata yang tengah bermain sabak. Ada juga yang dari kejauhan berlari menghampiri, sambil menawarkan diri untuk turut menemani. Tanpa sadar, Qurrata yang mulanya dibersamai dua siswa, kini diekori tujuh belas siswa. 

“Kami seperti pasukan dengan misi mulia: Mencari Paku.” Tulis Qurrata dalam salah satu unggahan fotonya bersama anak-anak di hutan.

 

Tidak ada hari-hari “biasa” di desa, dan makna yang dipetik tiap harinya

Dalam satu hari saja, beragam cerita tumbuh dan terus bertambah dari tiap sudut Indonesia. Bagi para Pengajar Muda, tak ada hari-hari “biasa” di desa. Sebab, tiap hari, selalu ada kejutan-kejutan kecil yang menambah arti dalam satu tahun mengabdi di pelosok negeri. 

Dalam salah satu misinya, Gerakan Indonesia Mengajar memiliki rencana besar untuk memberikan kontribusi pada lahirnya jejaring para pemimpin yang peka terhadap realitas kehidupan bangsanya, terlatih melakukan intervensi di tingkat akar rumput, serta menjembatani masyarakat dengan pusat pusat kemajuan.

Indonesia Mengajar percaya kurikulum terpenting untuk membentuk dan mengasah kepemimpinan Pengajar Muda adalah ketika menghadapi berbagai tantangan secara langsung pada saat mendorong perubahan entitas perilaku di sebuah daerah selama satu tahun bertugas. Kurikulum ini memberikan kesempatan kepada Pengajar Muda untuk menyaksikan realita keragaman konteks serta kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh pendidikan di daerah, serta mengupayakan berbagai cara bersama-sama masyarakat untuk mengidentifikasi potensi potensi, khususnya di tingkat lokal, untuk menjawab berbagai tantangan.

Dalam perjalanannya, mengasah kepemimpinan juga melibatkan pembelajaran yang dipetik dari refleksi atas cerita-cerita--baik sederhana maupun tidak, yang dialami oleh Pengajar Muda sehari-hari. Dalam artikel berjudul Reflective Leadership: Learning to Manage and Lead Human Organizations (2017), Süleyman Davut Göker dan Kıvanç Bozkuş menuliskan mengenai pentingnya refleksi sebagai proses personal sekaligus kolaboratif dari seorang pemimpin.

Tulisan yang terbit pada Jurnal Intech tersebut juga menggarisbawahi pentingnya refleksi yang memungkinkan seseorang untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Individu mengevaluasi wawasan yang dikembangkan dari proses tersebut lalu menghubungkannya dengan perspektif, nilai, pengalaman, keyakinan, dan konteks yang lebih besar. Pada akhirnya, refleksi melahirkan pembelajaran yang memperluas perspektif kita tentang suatu masalah, dan membantu kita mengembangkan strategi untuk menghadapinya.

Konsep ini juga dibahas lebih dalam oleh Lillas M. Brown dan Barry Z. Posner dalam The Leadership and Organizational Development Journal mengenai pembelajaran transformasional (transformational learning), yang menjadi unsur penting dalam pembentukan karakter seorang pemimpin. Disebutkan, konsep kunci dalam pembelajaran transformasional adalah pengalaman atau peristiwa pemicu, refleksi kritis yang mencakup refleksi isi, refleksi proses, dan refleksi premis (memeriksa keyakinan), pembelajaran afektif di mana perasaan memainkan peran utama dalam memicu refleksi, dialog dan hubungan yang mendukung dan saling percaya, serta pengembangan individu.

Dalam pembelajaran transformasional, cerita dan pengalaman dibayangkan sebagai titik awal yang menjadi bahan refleksi. Sehingga, melibatkan pengalaman hidup secara kritis dan reflektif merupakan kondisi yang diperlukan untuk transformasi. Pengalaman hidup ini mencakup banyak hal, bukan hanya cerita-cerita “penting” yang menandai awal maupun akhir sesuatu, melainkan juga kisah-kisah sederhana di dalamnya. Termasuk kegiatan sehari-hari yang seringkali luput dari perhatian kita.
 

Yang dipelajari sebelum menutup hari

“Saya, lah, yang sedang belajar.”

Bagi Niar--Pengajar Muda angkatan 21 yang ditempatkan di Maybrat, ada banyak hal yang ia pelajari sesaat sebelum ia menutup hari. 

“Selamat sore, Ibu, selamat sembahyang petang, Ibu,” menjadi sapaan sehari-hari yang ia terima ketika berjalan pulang dari mengajar. Baginya, suasana yang hangat dan penuh toleransi ini menjadikannya tidak pernah merasa benar-benar sendiri, meskipun ia adalah satu-satunya muslim di desa penempatannya.

Di Kampung Tiga Dalam--demikian masyarakat menjuluki kluster desa daerah penempatannya, Niar merasakan malam-malam yang tenang tanpa penerangan berlebih, sambil sesekali ditemani suara jangkrik di sekitar kompleks perumahan sekolah. Di sini, ia menikmati sarapan keladi rebus bersama tumis gedi, atau makan siang dengan nasi hangat dan sayur daun kasbi. Tiap sore, Niar akan berkeliling kampung bersama anak-anak, bermain di bukit atau kali, mengunjungi rumah-rumah masyarakat, atau sesekali juga ikut mereka ke kebun. Di wilayah Indonesia yang lebih dulu menyambut matahari terbit, sekaligus menghantar matahari terbenam ini, ia menemukan banyak pembelajaran baru dari hal-hal kecil yang ia lalui.

Seringkali, kita merasa bahwa hari, bulan, hingga tahun berjalan terlalu cepat. Terkadang, kita lupa memaknai hari-hari “biasa” dan membiarkannya terlewat begitu saja. Padahal, memberi arti pada hal-hal kecil dan memetik makna dari kisah sederhana dapat menjadi proses belajar penting yang membawa pemahaman kita menjadi lebih baik mengenai dunia. Kini, sembari memulai dan menutup hari, jangan lupa menyisihkan sedikit waktu dan ruang untuk bertanya pada diri sendiri: apa yang sudah kita pelajari hari ini?


***
Ditulis oleh:
Redaksi Pojok Refleksi Indonesia Mengajar


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua