Menilik Kembali Definisi Cerdas untuk Turut Serta dalam Usaha Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

21 Januari 2022

Jagat pendidikan nasional mendapat banyak angin segar sejak Mas Menteri menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (yang kemudian pekerjaannya ditambah Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi beberapa bulan setelah dilantik). Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya terlihat revolusioner dibandingkan dengan situasi dan kondisi yang ada sebelumnya. Sebut saja program Kampus Merdeka yang banyak rupanya, penghapusan Ujian Nasional, dan pelaksanaan Asesmen Nasional untuk Sekolah Dasar dan Menengah. 

Melihat kebijakan yang selalu berganti seiring guliran tokoh-tokoh yang menempati posisi menteri ini, tidakkah menimbulkan sebuah pertanyaan di benak setiap kita sebagai pelaku pendidikan?

Sebenarnya, apa sih tujuan dan fungsi pendidikan di negeri ini?

Pendidikan hadir sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan janji kemerdekaan yang tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi, “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selain itu, secara spesifik, dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tertulis bahwa:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Baik Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ataupun Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, keduanya mencantumkan kata cerdas. Sebenarnya, seperti apa cerdas itu?

Teori Kecerdasan Majemuk

Pada tahun 1983, Howard Gardner, seorang psikolog dan ahli Pendidikan dari Harvard University memperkenalkan sebuah gagasan tentang teori kecerdasan majemuk. Gagasan ini hadir sebagai studi lanjutan dari gagasan yang dikemukakan oleh Francis Galton, seorang polymath yang berasal dari Inggris, pada tahun 1890 tentang Intelligent Quotient (IQ) sebagai ukuran kecerdasan manusia. Sebelum Gardner mengemukakan gagasannya, selama bertahun-tahun tes IQ menjadi satu-satunya alat untuk mengukur dan menjadi definisi dari kecerdasan manusia.

Teori kecerdasan majemuk yang digagas oleh Gardner mendefinisikan kecerdasan menjadi 9 komponen, yaitu kecerdasan matematis, linguistik, musikal, visual, kinetis, naturalis, interpersonal, intrapersonal, dan spiritual. Gagasan Gardner menjadi bekal untuk pengembangan gagasan tentang kecerdasan selanjutnya. Sebut saja Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosional yang diperkenalkan oleh Keith Beasley dan ditulis dalam buku yang berjudul “Emotional Intelligence – Why it can matter more than IQ” oleh Daniel Goleman, Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan emosional yang diperkenalkan oleh Dana Zohar pada tahun 1997, dan disusul dengan Adversity Quotient (AQ) atau kecerdasan mengatasi kesulitan, dan Transcendental Quotient (TQ) atau kecerdasan transendental.

Di masa depan, masih sangat mungkin semakin banyak gagasan tentang kecerdasan yang akan terus bermunculan. Gagasan ini akan berkembang seiring dengan perkembangan kesadaran manusia akan proses pengenalan dirinya, juga lingkungan sekitarnya. Tapi rasanya, ada satu kesimpulan yang sama-sama diamini oleh semua orang saat ini: bahwa kecerdasan bersifat majemuk dan tidak tunggal, ada banyak komponen yang menyusunnya.

Lalu, bagaimanakah seharusnya pendidikan hadir untuk memenuhi fungsi dan tujuannya guna mencerdaskan kehidupan bangsa?

Menilik definisi kecerdasan yang dipaparkan di atas, bukankah rasanya kita kembali ke tahun 1890 di mana kecerdasan ditentukan hanya berdasarkan IQ saja jika kita memosisikan pendidikan hanya sebatas hal-hal yang bersifat pengetahuan? Jawaban dari pertanyaan yang tepat, hapalan yang persis, dan hitungan yang presisi rasanya sudah tidak bisa lagi menjadi satu-satunya definisi dari kecerdasan. Ada banyak komponen-komponen lainnya yang juga harus ditinjau.

Mengingat hal-hal yang tertulis di atas, dapatkah kita terus menyerahkan tanggung jawab pendidikan ke sekolah saja? Bolehkah kita lepas tangan dan melempar tugas kepada guru dan kepala sekolah untuk melunasi janji kemerdekaan, mencerdaskan kehidupan bangsa? Meminta sekolah untuk bertanggung jawab atas kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, mengatasi kesulitan dan tekanan, hingga memaknai kehidupan anak-anak kita?

It takes a village to raise a child dan kiasan prasmanan pendidikan

Ada sebuah pepatah berbahasa Inggris yang berbunyi “It takes a village to raise a child” atau jika diterjemahkan ke dalam bahasa ibu, diperlukan sebuah desa untuk membesarkan seorang anak. Sebuah desa, bukan sebuah rumah.

Anak-anak melihat apa yang dilakukan orang-orang juga fenomena yang terjadi di sekitarnya. Anak-anak mendengar apa yang diperbincangkan orang-orang di sekelilingnya, juga suara-suara yang dibentuk alam tempat tinggalnya. Anak-anak mencium aneka aroma yang berkelindan di udara, baik yang alami atau pun dibuat manusia. Anak-anak mengenali apa yang ditapaki kaki dan tangannya, juga yang sengaja ataupun tidak sengaja tersentuh kulitnya. Terakhir, anak-anak juga berbicara, berinteraksi dengan orang-orang lain yang ia temui di sekelilingnya.

Pepatah ini mengingatkan akan peran yang dimiliki oleh setiap orang yang ada di desa, dalam pertumbuhan seorang anak yang lahir di sana baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sejalan dengan hal itu, Indonesia Mengajar memperkenalkan konsep prasmanan pendidikan. Prasmanan pendidikan adalah sebuah konsep di mana seluruh persoalan pendidikan yang ada, dihidangkan di dalam sebuah meja panjang prasmanan. Dalam prasmanan ini, setiap orang boleh memilih sendiri hidangan-hidangan yang ingin diambilnya: mungkin yang sesuai dengan seleranya, sesuai dengan kapasitas dirinya, menggugah keinginannya, atau membuatnya penasaran. Semua orang dipersilakan untuk mengambil porsian dan bagiannya.

Karena Indonesia Mengajar percaya, bahwa setiap orang, dengan masing-masing posisi dan potensi yang dimilikinya dapat mengambil peran dalam pewujudan tujuan dan fungsi pendidikan: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Jadi…

Tugas dan fungsi pendidikan nasional yang dikutip dari Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional yang adalah ingin mencerdaskan kehidupan bangsa tidak lagi bisa dilemparkan ke guru dan sekolah saja, kita tidak lagi hidup di kurun waktu 1890 sampai 1983 di mana kemampuan intelektual menjadi satu-satunya definisi dan alat ukur kecerdasan. Rasanya, menyadari bahwa ada banyak hal yang harus diperhatikan dari pertumbuhan dan perkembangan seorang anak yang berada di sekitar adalah kewajiban setiap orang. Kemampuan emosional, spiritual, ketahanan akan tekanan, dan pemaknaan akan kehidupan seseorang dibentuk oleh lingkungannya, oleh orang-orang yang ia temui di dalam kehidupannya, oleh pengalaman-pengalaman hidup yang dijalaninya, dan oleh tiap sudut kehidupan yang sempat dicicipinya. Maka, sudah saatnya untuk kita melihat kembali, dengan posisi dan potensi yang kita miliki, peran seperti apa dari prasmanan pendidikan yang bisa kita emban?

Mari tanyakan kepada diri kita sendiri: sudahkah kamu mengambil peran untuk pertumbuhan anak-anak yang ada di sekitarmu? Atau, sudahkah kamu mengambil porsi dalam prasmanan pendidikan yang terhidang di hadapanmu?


 

***

Ditulis oleh:

Iffah Sulistya

Pengajar Muda XXI

Kabupaten Maybrat


 


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua