“Sekrup-sekrup Kecil” Pemutar Mesin Pendidikan Negeri: di Bagian Manakah Kita Ingin Berkontribusi?

14 Januari 2022

“Nona, ko tidur nyenyak, kah? Mama bangun malam tadi, mama perhatikan ko tidur. Mama tidak tega. Nona, ko tinggal di Jawa dengan fasilitas lengkap, toh?”

Pertanyaan penuh kecemasan ini datang dari Mama Sara kepada Farin--Pengajar Muda angkatan 21, penempatan Kabupaten Maybrat. Kala itu adalah pagi hari setelah malam pertama Farin tinggal bersamanya di Kampung Kabusaboabo.

Ketika pertama bertemu, Mama Sara yang menjabat sebagai Kepala Sekolah SD YPK Jitmau ini menyiratkan sosok yang segan dan irit berbicara. Suaranya lantang, tanpa senyum, dan kadang caranya berbicara terdengar seperti sedang marah. Mama Sara juga tidak memberi Farin sambutan hangat, sebagaimana yang dilakukan kepala sekolah lainnya. 

Farin merasa beruntung ketika dengan cepat disadarinya bahwa Mama Sara sangat mengkhawatirkannya. Bagi Mama, tempat penempatan Farin tidaklah baik. Beliau sampai memohon kepada Kepala Dinas untuk memindahkan Pengajar Muda asal Bandung tersebut. Permohonan itu ditolak mentah-mentah. Farin pun turut konsisten menyakinkan Mama, bahwa ia mampu menjalaninya.

Tak akan terlupakan dalam benak Farin ketika itu, Mama Sara terbangun tengah malam lalu membaca Alkitab cukup lama, kemudian ditutup dengan memanjatkan doa. Ada nama Farin di dalamnya. Doa Mama sangatlah tulus, menyampaikan ucapan terima kasih dan harapan agar Farin nyaman dan dikasihi.

“Ko tidur di kasur empuk tanpa kegelapan. Ko tidur tra kepanasan. Sambil dengar-dengar TV menyala. Tra sibuk toki nyamuk juga, toh? Tapi di sini, ko tidur seadanya, Nona." 

Bagi Farin, kebaikan Mama Sara hadir dalam berbagai rupa. Mulai dari perhatian pada hal-hal kecil yang Farin suka; seperti makanan favoritnya, hingga sifat Mama yang selalu ingin melindunginya. 

 

Pelantik pelita, menjadi pengingat untuk terus belajar dan berkaca

Cerita yang dialami Farin hanyalah satu dari sekian banyak kisah penuh kehangatan yang dirasakan oleh para Pengajar Muda lainnya. Kehangatan, kasih sayang, dan rasa aman itu hadir dari mana saja; bukan hanya dalam hubungan bersama para peserta didik, tetapi juga dengan para aktor yang terlibat dan mendukung, menemani, serta menjadi rumah bagi mereka.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Iffah, Pengajar Muda angkatan 21 yang ditempatkan di Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Di sini, ia bertemu dengan seorang aktor pendidikan inspiratif yang akrab disapa Kak Jen. 

Telah beberapa tahun berjalan sejak Kak Jen ini memutuskan untuk datang ke Kabupaten Maybrat sebagai guru honorer. Kini, perempuan asal Sorong tersebut bekerja sebagai Abdi Negara yang juga beberapa kali membantu sebagai proktor Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Hal ini membukakan pintu perjumpaan dan percakapannya bersama Iffah.

"Panggilannya di sini, Dek. Kalau kota besar, sudah maju, rasanya sudah banyak yang ngisi. Nggak akan kekurangan guru, adanya saya nggak sebegitu dibutuhin, lah. Tapi daerah-daerah kayak Maybrat ini, rasanya selalu butuh orang-orang yang mau datang untuk berbuat, apa pun, di sana.” Jawab Kak Jen mengenai alasannya memilih Maybrat sebagai tempat untuk berkontribusi.

Masih hangat di ingatan Iffah, awal Oktober ketika beberapa komputer yang akan digunakan ANBK mengalami error. Ketika itu, Iffah mengeluhkan kebijakan pemerintah yang seakan terlalu memaksa, “Indonesia kan nggak semua tempatnya teraliri listrik dan punya jaringan yang stabil, tapi tetep aja dipaksain yang beginian,” keluhnya kepada Kak Jen.

Kak Jen mengiyakan, tetapi tak lama kemudian menambahkan, "Tapi, Dek, kalau nggak gini, nanti daerah-daerah nggak akan sadar kalau ketinggalan, dan ya sudah, nyaman aja jadi daerah tertinggal dengan segala keistimewaan yang dipunya. Jadi menurutku dan buatku, ANBK ini bisa jadi pecutan semangat buat belajar maju untuk pendidikan di daerah."

Di mata Iffah, Kak Jen ialah pemantik pelita kecil yang membantunya untuk banyak belajar dan berkaca. Semangat Kak Jen dalam memutar roda pendidikan di Maybrat menjadi inspirasi tersendiri baginya. Kak Jen, yang menyiapkan ANBK sambil mengasuh anaknya yang belum genap dua tahun. Kak Jen juga, yang beberapa kali turun-naik Sorong-Maybrat, yang ikhlas mendedikasikan waktu dan semangat untuk memajukan pendidikan dari sudut bangsa. Kak Jen hadir dan menawarkan  sudut pandang baru dalam melihat sesuatu, agar kita tak melulu fokus dalam kesulitan, bahwa masih ada hal-hal baik yang dapat kita lakukan dan usahakan.

 

Bergerak di belakang layar, tetapi berlari paling kencang

Dari ujung timur Indonesia, Maybrat, mari kita bertolak menuju ke arah barat Indonesia, yaitu Kabupaten Aceh Singkil. Jika kita berkunjung ke Rimo, salah satu kelurahan yang terletak di Gunung Meriah, rasanya akan kurang sempurna jika belum mendatangi Lapangan Meriam Sipoli, lalu berjalan menuju Pustaka Keumala Bangsa. Tempat ini ialah ruang baca yang didirikan oleh Rahmad Hidayat Munandar--biasa dikenal sebagai Bang Rahmad, untuk memberikan wadah bagi masyarakat dari berbagai komunitas di Aceh Singkil untuk duduk berdiskusi dan berkolaborasi.

Bagi Bang Rahmad, Pustaka Keumala Bangsa adalah perwujudan atas mimpinya untuk berkontribusi dan mengabdi bagi pendidikan negeri. Memang, mimpi Bang Rahmad untuk menjadi Pengajar Muda belum terwujud, tetapi bukan berarti semangatnya telah redup. Dituturkan oleh Leon--Pengajar Muda angkatan 20 di Aceh Singkil, sejak kedatangan Pengajar Muda angkatan pertama di sini, Bang Rahmad tak pernah absen untuk membantu dan mengajak kolaborasi dalam mengadakan berbagai macam kegiatan. Bang Rahmad juga mengajak pemuda-pemudi untuk aktif dan selalu memberikan motivasi kepada mereka agar setia dalam pengabdian melalui kegiatan-kegiatan bersama Pengajar Muda. 

Bang Rahmad memiliki harapan supaya seluruh elemen masyarakat di Aceh Singkil menyadari bahwa pendidikan adalah kewajiban bersama. Sehingga, masyarakat di sini dapat saling bahu membahu untuk memajukan pendidikan di Aceh Singkil.

Apa yang dipercayai Bang Rahmad benar adanya. Pendidikan memang sifatnya tak terputus dari peran sekitar, seperti para pemangku kebijakan, administrator, keluarga, hingga masyarakat lintas umur dan budaya. Hal ini menjadikan komunitas dan pemuda-pemudi di dalamnya memiliki andil yang besar dalam meneruskan estafet perjuangan, bukan hanya atas nama pendidikan di Aceh Singkil, namun juga menginspirasi daerah lain untuk melakukan hal yang sama.
 

Sekrup kecil penggerak mesin besar pendidikan Indonesia

Emmanuel Jean-Francois, dalam Jurnal Education and Society berjudul Building Global Education With A Local Perspective (2015) mendefinisikan bahwa pendidikan inklusif bersifat lintas sektor dan melibatkan banyak kementerian dan pemangku kepentingan yang berbeda. Inklusif ini berarti merangkul siapapun untuk memiliki hak dalam mengakses pendidikan yang layak, terlepas dari identitas suku, agama, budaya, maupun strata ekonomi.

Pendidikan lintas sektor ini melibatkan orang tua dan masyarakat untuk berperan aktif mendukung perkembangan peserta didik. Menurut Emmanuel, tidak ada “resep” tertentu untuk mewujudkan ruang yang suportif sekaligus inklusif. Tujuan ini diwujudkan dengan berkaca pada potensi lokal, belajar dari hambatan yang dialami, serta merumuskan jalan keluar istimewa yang dapat diusahakan bersama-sama.

Hal inilah yang menggarisbawahi pentingnya peran aktor lokal dalam menumbuhkan ruang suportif dan inklusif bagi pendidikan Indonesia. Gerakan Indonesia Mengajar  meyakini  bahwa  kemajuan  pendidikan  adalah  konsekuensi  dari  perilaku-perilaku  positif para aktor yang memberikan pengaruh, seperti orangtua, guru, kepala sekolah, masyarakat dan pemerintah.  Peningkatan  capaian  siswa  akan  terjadi  jika semua komponen aktor memiliki perilaku yang mendukung proses pendidikan yang baik. Sebab, tidak ada cara “paling benar” dalam menyelenggarakan proses belajar dan mengajar. Pendidikan adalah kolaborasi peran, seumpama sekrup-sekrup kecil yang secara kolektif menggerakkan mesin besar yang mengarah ke masa depan yang lebih baik. Sistem pendidikan akan mempengaruhi masyarakat, sebagaimana masyarakat mempengaruhi atau membentuk sistem pendidikan yang ada di dalamnya. It takes a village to raise a kid, but it takes the whole nation to provide a better education system for them. 

Sesungguhnya, sosok seperti Mama Sara, Kak Jen, maupun Bang Rahmad ada di mana-mana. Mereka adalah pelita-pelita kecil yang menerangi sekitar, memberikan apa yang dipunya untuk memajukan sesama. Mereka, tentunya, juga ada di sekitar kita. Selama ini, mungkin kita mengabaikan peran-peran “tak terlihat” ini. Padahal, mereka ada, berdampak, dan menyertai kita tiap hari.

Menyadari keberadaan adalah awal dari kontribusi. Terkadang, beberapa dari kita merasa terputus dari rantai besar pendidikan Indonesia. Kita tidak tahu pasti apa yang dapat kita beri. Namun, sudah sejauh mana kita berusaha? Sebab, tak ubahnya seperti kendaraan yang tak dapat bergerak tanpa mesin dan bahan bakar; tiap peran, mulai dari sekrup hingga pengemudi, sekecil apapun, adalah berarti. Lalu, di bagian manakah kita ingin berkontribusi?

 

***
Ditulis oleh:
Redaksi Pojok Refleksi Indonesia Mengajar
 
 


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua