Kita Bisa Nggak Sih Ambil Bagian untuk Investasi Pendidikan?

7 Januari 2022

 

“Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.”

Tercatat, kalimat ini muncul pertama kali pada 3000 tahun lalu, dituliskan oleh Raja Salomo sebagai salah satu ayat dalam kitab Pengkhotbah (1:9). Kini, ia kerap kita jumpai di berbagai tempat: kutipan-kutipan novel, tulisan di antara mural, caption Instagram, dan banyak lagi. 

Setidaknya hingga saat ini, beberapa hal memang tak sepenuhnya baru. Kita, misalnya. Peradaban manusia datang silih berganti mengisi bumi untuk kemudian pergi. Ayat ini menjadi pengingat untuk senantiasa belajar dari sejarah, sebab apa yang kita hadapi kini, pernah dialami juga oleh orang-orang di masa sebelumnya. 

Sayangnya, terdapat beberapa hal di masa lalu yang luput dari perhatian kita. Kali ini, bukan hanya cerita sejarah yang penuh pembelajaran, melainkan peringatan yang dipublikasikan dalam Klub Roma (Club of Rome) pada tahun 1972 silam. Ialah sebuah studi yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengenai Limits to Growth (LtG), yaitu suatu perhitungan tentang risiko kehancuran peradaban dunia berdasarkan proyeksi atas data empiris berbagai macam variabel ekonomi dunia. Jika kita terus mengejar pertumbuhan ekonomi semata--demikian inti dari studi tersebut, maka peradaban manusia diprediksi akan hancur pada sekitar abad ke-21.

 

Konsep Limits of Growth dan peran investasi pendidikan untuk membangun skenario dunia “terbaik”

Studi “kontroversial” yang best seller sebagai buku The Limit of Growth ini kemudian diabaikan selama puluhan tahun karena dinilai tidak akurat. Hingga seorang analis tren ekonomi berkelanjutan di perusahaan Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) bernama Gaya Herrington menelitinya kembali lalu mempublikasikannya dalam jurnal berjudul Update to Limits of Growth (2020) dalam Yale Journal of Industrial Ecology.  

Secara singkat, terdapat tiga skenario yang digambarkan Herrington berdasarkan pengamatannya pada berbagai variabel utama: populasi, mortalitas, kesejahteraan manusia, dan sebagainya. Ketiga proyeksi tersebut ialah plot Business as Usual (BAU), Comprehensive Technology (CT), dan Stabilized World (SW). Plot pertama--yang menggambarkan dunia kita saat ini, menunjukkan penurunan kesejahteraan dan kemandekan pertumbuhan ekonomi dan industri secara tajam pada tahun 2040. Skenario kedua, adanya adopsi teknologi komprehensif atau comprehensive technology (CT) tetap akan mengantarkan kita pada penurunan ekonomi dan konsekuensi negatif lainnya, namun tidak membawa kita pada “kehancuran” seperti halnya pada plot Business as Usual (BAU). Terakhir, skenario dunia terstabilisasi atau Stabilized World (SW) --jalur paling optimis yang sedang kita tuju--akan membawa peradaban manusia ke arah yang lebih berkelanjutan dengan sedikit penurunan ekonomi.

Ketika berbicara dalam World Economic Forum 2020 sebagai direktur KPMG, Herrington menjelaskan tentang ‘agrowth’, yaitu pendekatan terhadap pertumbuhan yang berfokus pada tujuan dan prioritas ekonomi lain. Ia juga menegaskan bahwa kombinasi inovasi teknologi dan investasi yang meluas di bidang kesehatan dan pendidikan akan membawa manusia lebih dekat dengan jalur plot Stabilized World (SW).

 

Memaknai porsi sesuai kemampuan diri melalui Iuran Publik Indonesia Mengajar

Konsep pendidikan sebagai suatu investasi (education as investment) telah cukup lama dikenal dan berkembang sebagai syarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Bahkan, konsep investasi sumber daya sebagai penunjang ekonomi telah dipikirkan sejak zaman Adam Smith (1776) dan Heinrich Thunen (1875) yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia. Meskipun demikian, pendidikan tidak dapat dikatakan hanya sebagai investasi ekonomis semata, melainkan juga memberi pengaruh pada dimensi sosial dan budaya  yang  berorientasi  pada kemanusiaan. 

Investasi pendidikan, menurut Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd.,Kons--Guru Besar Universitas Negeri Semarang--dapat diartikan sebagai suatu proses peningkatan nilai tambah dalam sektor-sektor produktif yang dapat memacu pertumbuhan secara tepat. Nilai tambah tersebut dihasilkan dari keterampilan dan keahlian yang diperoleh seseorang yang memungkinkan bagi seorang SDM terdidik untuk dapat menghasilkan karya-karya unggul dengan mutu bersaing sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Di sinilah letak peranan pendidikan dalam menggerakkan pendapatan masyarakat dan negara dalam memacu pertumbuhan ekonomi.

Indonesia sendiri telah cukup berkomitmen untuk memajukan sektor pendidikannya. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan (selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) harus berjumlah minimal 20 persen dari total APBN atau Belanja Negara. Menginjak tahun 2022, pemerintah mengalokasikan Rp542,8 Triliun untuk anggaran pendidikan negara. Utamanya, dana ini akan disalurkan melalui Kemendikbud, Kemenag, BRIN, dan Transfer Keuangan ke Daerah.

Selain dukungan dalam bentuk material, investasi pendidikan juga perlu diwujudkan melalui lingkungan masyarakat yang suportif. Tak hanya pengajar dan peserta didik saja, kolaborasi antar pemangku kepentingan seperti orang tua dan pemerintah daerah juga memegang peranan penting untuk adanya intervensi dan inisiasi tingkat akar rumput. Inilah yang ingin didorong oleh Gerakan Indonesia Mengajar, yaitu tumbuhnya gerakan sosial pendidikan yang melibatkan aktor-aktor daerah yang peduli dan bersedia untuk turut serta membangun pendidikan Indonesia. Salah satu gerakan sosial ini ialah Lentera Aceh Singkil.

Ber-tagline “Bergerak demi Pendidikan Aceh Singkil”, Lentera Aceh Singkil merupakan suatu komunitas pendidikan yang bertujuan sebagai wadah kolaborasi dan pusat informasi di Aceh Singkil. Komunitas yang terdiri atas berbagai aktor penggerak pendidikan--baik pribadi maupun komunitas--ini diinisiasi oleh Pengajar Muda angkatan 20 melalui kegiatan bernama Malam Akrab Penggerak (Makaprak) yang dilaksanakan pada bulan November 2021 lalu.

Rahmad Hidayat, Ketua Komunitas Lentera Aceh Singkil, menggambarkan bahwa adanya komunitas ini diharapkan dapat merangkul semua elemen masyarakat yang tergerak hatinya untuk berkontribusi dalam memajukan pendidikan di Aceh Singkil. Baginya, pendidikan adalah tanggung jawab kita semua. Dan seperti halnya tanggung jawab, kita perlu berusaha untuk mengerjakannya bersama-sama.

Jika semesta sering diibaratkan sebagai laboratorium raksasa, maka tak salah apabila lingkungan masyarakat dapat menjadi “alat konversi” yang mampu mengubah potensi anak bangsa menjadi aktualisasi perbuatan hingga prestasi yang membanggakan. Dukungan dari masyarakat terhadap para siswa dan siswi dalam mengejar mimpi mereka menjadi cerita-cerita penuh inspirasi yang layak dikenang.

Salah satu cerita hangat ini dituturkan oleh Assabti N Hudan M--akrab disapa Sati, Pengajar Muda angkatan 20 yang ditempatkan di Dusun Wainanas, Kepulauan Sula, Maluku Utara. Untuk pertama kalinya, tujuh anak berbakat dari dusun ini tampil di panggung lomba tari tingkat Kabupaten Kepulauan Sula. Bagi mereka, sampai di kabupaten bukanlah hal yang mudah, terdapat berbagai tantangan dan kesulitan yang perlu mereka lewati bersama-sama.

Berbagai dukungan dari orang tua, aparat desa, penggerak pendidikan, dan seluruh masyarakat dusun mengantarkan anak-anak Kadai untuk meraih juara satu, sekaligus diundang untuk menjadi penampil di Festival Tanjung Waka 2021. Kabar baik ini kemudian menjadi percikan semangat yang terus menyebar dan semakin terang, memacu anak-anak yang putus sekolah untuk mendapatkan kembali semangat melanjutkan sekolah, hingga mendorong Kepala Desa untuk semakin mantap memperbaiki akses jalan dan menyediakan rumah singgah bagi siswa-siswi yang melanjutkan belajar hingga SMP di kota. Tak berhenti di situ, Kepala Dinas juga turut terpacu untuk mendorong fasilitas dan potensi siswa-siswi Wainanas.

Seperti kendaraan yang membutuhkan bahan bakar, “laboratorium konversi” juga membutuhkan investasi sebagai pemacu untuk tetap bertahan di esok hari. Dukungan dari Pemerintah semata tidaklah cukup untuk menggerakkan roda ini sendirian, diperlukan gotong royong semua elemen masyarakat untuk bahu-membahu memastikan “konversi” ini tetap berjalan, memastikan seluruh siswa-siswi, khususnya di pelosok Indonesia, untuk dapat tumbuh dari potensi dan berprestasi.

Pendidikan adalah tanggung jawab kita semua, dan kita masih memiliki waktu untuk membawa peradaban manusia ke tempat yang lebih baik melalui konversi potensi yang efektif. Untuk mewujudkan ekosistem ini, peran sekecil apa pun yang kita ambil sekarang akan membawa dampak besar di masa depan. Saat ini, berbagai pintu telah terbuka lebar untuk menyambut kontribusi kita bagi pendidikan Indonesia. Kita dapat turun langsung untuk memajukan pendidikan dari sudut terdepan dan terluar Indonesia sebagai Pengajar Muda. Atau, kita juga dapat memulai hal baik lewat lingkungan terdekat, misalnya melalui kegiatan Kelas Inspirasi dan Ruang Berbagi Ilmu. Kabar baiknya, kini dukungan tak selalu harus kita tunjukkan dengan datang ke lokasi. Semangat bahu-membahu dari jauh juga dapat kita percikkan dengan menyisihkan uang melalui Iuran Publik Indonesia Mengajar. Dengan ini, hambatan jarak dan waktu tak lagi berarti untuk menghalangi semangat kita dalam membangun negeri.

Sebagai salah satu ruang bagi publik untuk ikut terlibat dalam pendanaan program pengiriman Pengajar Muda ke berbagai titik di Indonesia, Iuran Publik dapat menjadi sarana yang tepat bagi kita untuk bergotong royong memperkokoh pilar pendanaan yang lebih variatif, demi kemajuan pendidikan di pelosok negeri. Dengan menyalurkan iuran secara perorangan maupun kolektif melalui perusahaan ataupun komunitas, langkah kecil ini dapat menjadi pendorong yang sangat berarti bagi anak-anak di segala penjuru Indonesia--demikian juga masyarakat di sekitarnya-- untuk terus meraih potensi dan aktualisasi tertinggi.

Ketika masih kanak-kanak, mungkin beberapa dari kita telah terbiasa untuk membayar kas kelas, sekadar 500 hingga 1000 rupiah yang nantinya digunakan untuk membeli keperluan kelas, seperti sapu dan hiasan majalah dinding. Kini, bagaimana jika kita melakukannya kembali untuk tujuan yang lebih besar, yaitu sebagai investasi untuk memajukan pendidikan di pelosok Indonesia?

 

***
Ditulis oleh:
Redaksi Pojok Refleksi Indonesia Mengajar
 


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua