Apakah Demokratisasi Pendidikan Bisa Berangkat dari Potensi yang Berserakan?

31 Desember 2021

Seperti air sungai yang mengalir tanpa henti, belajar adalah suatu proses berkelanjutan yang telah kita lakukan sejak lahir, dan akan terus kita lanjutkan hingga akhir hayat. Beberapa pengalaman belajar ketika masih kanak-kanak mungkin masih ada yang membekas di memori kita. Misalnya, ketika belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah. Mungkin, beberapa dari kita tidak asing dengan percobaan menumbuhkan biji kedelai di atas kapas basah.  Setelah meletakkan biji tersebut ke dalam botol bekas dengan media tanam tertentu, kita akan mengamatinya tumbuh menjadi kecambah. Tak lupa, kita juga akan diminta untuk mengukur pertumbuhan tinggi tanaman ini setiap hari, lalu menceritakan apa yang kita pelajari darinya. Ketika itu, secara tak langsung kita telah belajar mengaplikasikan metode ilmiah dalam penelitian sederhana.

Percobaan ini kemudian seringkali dihubungkan dengan sifat makhluk hidup yang dapat tumbuh dari biji, atau bagaimana pertumbuhannya memberi respons tertentu pada rangsang yang kita beri. Misalnya, ketika ia diberikan cahaya yang cukup, apa yang terjadi? Apa yang membuatnya berbeda ketika diletakkan di tempat gelap? 

Bagi beberapa dari kita, proses pembelajaran ini akan melekat di ingatan dalam waktu yang lama, apalagi jika dibandingkan dengan teori yang hanya sebatas kita temui di buku. Pembelajaran ini, oleh matematikawan Hungaria George Pólya, disebut sebagai pendekatan heuristik (diambil dari bahasa Yunani heuriskein yang berarti “saya menemukan”), atau Heuristic Approach yang pada perkembangannya banyak diaplikasikan pada sistem pendidikan. Strategi ini tumbuh menjadi konsep pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa dalam memahami materi pembelajaran dengan mengacu pada momen heuriskein (saya menemukan). Melalui cara ini, siswa dirangsang untuk mengolah dan memproses informasi, memecahkan masalah, dan mempresentasikan simpulan yang dimiliki. 

Dalam percakapannya dengan Gita Wirjawan di Episode Endgame, Sabrang Mowo Damar Panuluh --biasa dikenal sebagai Noe (vokalis band) Letto-- menegaskan akan pentingnya pendekatan heuristik dalam revolusi pendidikan Indonesia di era disrupsi teknologi. Sebagai manusia, kita cenderung mengalami pembelajaran secara bertahap, dengan prioritas untuk mempelajari apa yang kita butuhkan saat itu. Inilah yang kemudian disebutnya sebagai heuristik, pembelajaran berbasis penemuan (discovery), yang sedikit demi sedikit akan mengantarkan seseorang pada kebenaran sesungguhnya (ultimate truth). 

Kepada Gita Wirjawan, Sabrang mengajak untuk mengingat kembali konsep belajar Ki Hajar Dewantara, di mana semua elemen berperan sebagai murid, sekaligus sebagai guru. Peran yang cair ini memungkinkan adanya transfer informasi yang lebih ringan sekaligus penuh empati. Kini, dengan kemudahan akses informasi, khususnya internet, tiap orang dapat menjadi murid di suatu bidang, lalu beralih peran menjadi guru di bidang lainnya. Proses menjadi pembelajar sekaligus pengajar ini akan mengantarkan kita pada tercapainya demokratisasi pendidikan. 

Demokrasi pendidikan, dalam Jurnal Ilmuna, dapat diartikan sebagai demokrasi yang memberikan  kesempatan  pendidikan  yang  sama  kepada  semua  orang,  tanpa membedakan ras (suku), kepercayaan, warna dan status sosial. Definisi ini memberi pengertian bahwa setiap individu mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Pendidikan yang terdemokratisasi ialah pendidikan yang merata, di mana masing-masing peserta didik memiliki hak otonom untuk mengekspresikan dan mengaktualkan potensi yang dimilikinya melalui pendidikan.

Pada artikel berjudul “Upaya Menuju Demokratisasi Pendidikan” yang ditulisnya dalam Jurnal Ekonomi dan Pendidikan, Teguh Sihono--Staf Pengajar Universitas Negeri Yogyakarta--menuliskan berbagai faktor pemenuh kualifikasi ideal pendidikan yang terdemokrasi. Pendidikan merata bagi semua siswa, penekanan pada kerja sama, dan pengembangan kecerdasan serta keterampilan yang beragam menjadi bagian dari faktor tersebut. Terwujudnya demokrasi pendidikan ini dapat dikatalis oleh adanya ruang dengan kebebasan dan keterbukaan, kesempatan yang luang, serta keberagaman informasi yang menjadi pondasi pemahaman secara luas mengenai dunia. Kondisi-kondisi ini tentunya dapat dengan mudah dicapai dengan peralatan teknologi yang mumpuni dan akses internet yang mencukupi, serta dukungan dari aneka sumber daya yang umumnya terpusat di kota-kota besar Indonesia. Namun, bagaimana dengan daerah-daerah terdepan dan terluar bangsa?

Terdiri atas belasan ribu pulau yang tersebar di hampir tiap penjuru negeri, Indonesia memiliki tugas besar dalam sisi pemerataan pembangunan. Bentang alam yang dimiliki Indonesia memang unik dan cantik, tetapi ia juga menumbuhkan hambatan geografis yang tak mudah untuk diatasi. Hal ini kemudian menumbuhkan keterbatasan akses dan kesempatan bagi anak-anak seluruh negeri untuk mengenyam pendidikan dengan kualitas yang setara.

Di beberapa negara maju, kualitas guru dapat dilihat melalui sertifikasi yang mereka miliki. Tak jauh berbeda, Indonesia juga menyediakan sertifikasi bagi guru-guru yang perlu diakui kualitasnya di atas kertas. Menanggapi ini, Sabrang menawarkan perspektif yang berbeda. Baginya, metodologi guru berkualitas yang bersandar pada struktur sertifikasi ini mengasumsikan bahwa masyarakat berada pada tataran pengetahuan yang kuanta. Padahal, pada era banjir informasi ini, range informasi sangat halus. Transfer ilmu dapat dilakukan oleh siapapun, misalnya anak SMP kepada anak SD. Semua dapat menjadi murid, semua dapat menjadi guru. Sistem pembelajaran ini, jika ditinjau dari Metode Feynman, dapat dikatakan sebagai metode yang paling efektif untuk belajar, yaitu dengan mengajari orang lain.

Pendidikan dengan konsep semua murid-semua guru inilah yang selalu diupayakan oleh Indonesia Mengajar, salah satunya melalui program Pengajar Muda. Selain mengajari anak-anak di desa, Pernawati Pandiangan--seorang Pengajar Muda angkatan 19 yang bertugas di Kabupaten Nunukan--juga memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada anak-anak yang sudah bisa membaca untuk membantu mengajari temannya. Baginya, guru yang paling pantas bagi mereka adalah teman sepermainannya. Kedekatan yang sudah terjalin akan semakin memudahkan untuk membantu teman dan mengingatkan jika ada bacaan yang kurang tepat. Ia juga percaya bahwa tidak ada tuntutan usia dalam menjadi seorang guru. Siapapun dapat menjadi guru, seperti siapapun dapat menjadi murid.

Proses pendidikan tak harus dilaksanakan dalam gedung besar atau sekolah mewah, tak perlu juga selalu dikelilingi fasilitas maupun teknologi yang lengkap nan canggih. Sejatinya, pengalaman heuristik dapat dialami oleh para peserta didik bahkan dalam kondisi yang “terbatas”. Misalnya saja aktivitas belajar-mengajar yang dilakukan di alam bebas, menjadikan semesta raya sebagai tempat terbaik untuk bereksperimen dan berinteraksi dengan dunia sekitar. Belajar dan bermain menjadi proses utuh yang tidak dibatasi oleh gedung sekolah. Cara ini menjadikan siswa dapat menepikan rasa jenuh mereka dengan menikmati setiap proses penyerapan informasi yang akhirnya akan memperkuat mental pembelajar yang dimilikinya.

Pengalaman ini dirasakan langsung oleh Ahlan Fahri, seorang Pengajar Muda Angkatan 20 yang bertugas di Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Bagi Ahlan dan anak-anak didiknya, pantai tak hanya menjadi destinasi untuk melepas penat dengan memandang deburan ombak dan indahnya matahari terbenam, melainkan juga tempat yang menyenangkan untuk melangsungkan proses belajar bersama. Menurutnya, para siswa menjadi semakin semangat dan antusias dalam menjalani pembelajaran. Langkah kecil ini, ia harap, akan membawa mereka menuju masa depan yang lebih cerah.

Dari Kepulauan Sula, mari kita bergeser ribuan kilometer ke arah barat Indonesia, yaitu Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Bersama bimbingan Sendy Diana Az Zahra, Pengajar Muda Angkatan 21, anak-anak SDN 13 Kemboja melangsungkan observasi alam untuk mengamati hewan vertebrata dan invertebrata beserta cirinya. Berawal dari keterbatasan fasilitas buku untuk bahan mengajar, Sendy mengajak peserta didiknya untuk langsung mengamati apa saja yang ada di alam. Cara ini akan memunculkan momen heuristik pada anak-anak ketika mereka menghubungkan apa yang dipelajarinya di sekolah yang ternyata dapat dibuktikan langsung di alam bebas. Semangat anak-anak untuk belajar ini menjadi bukti bahwa pendidikan dapat berlangsung di manapun dan kapanpun, termasuk dalam fasilitas yang terbatas.

Kembali pada gagasan Sabrang mengenai pendidikan Indonesia, tak lupa ia menekankan pentingnya menumbuhkan sekaligus merawat mental model seseorang untuk terus belajar tanpa henti, sehingga ia dapat tumbuh menjadi seseorang yang mampu belajar dari manapun dan kapanpun. Gagasan ini senada dengan misi dan pendekatan Gerakan Indonesia Mengajar untuk mendorong munculnya perubahan perilaku tiap elemen masyarakat, dengan para siswa sebagai penerima manfaat. Kendati fasilitas yang kita miliki belum tersebar merata, bukan berarti kita tidak dapat tumbuh melawan keterbatasan di dalamnya. Barang akan habis, fasilitas dapat rusak, tetapi mental pembelajar akan selalu ada dan menerangi sekitarnya. 

Bagaimanapun beragamnya pengalaman pribadi dalam proses belajar dan mengajar, kesetaraan dalam ruang, kesempatan, dan akses informasi tetap menjadi tujuan utama yang perlu kita upayakan bersama. Keterbatasan yang kita temui sejatinya tidak hadir untuk meredupkan semangat kita, melainkan untuk menguji seberapa besar tekad kita untuk tetap mau mengupayakan tujuan-tujuan baik tersebut. Buktinya, langkah-langkah kecil dari tiap penjuru Indonesia masih bergerak dan tumbuh melawan rintangan yang mereka temui. Kini, sudahkah kita berupaya juga untuk tetap tumbuh besar melawan keterbatasan?

 

***
Ditulis oleh:
Redaksi Pojok Refleksi Indonesia Mengajar
 


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua