info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mengenai Pendidikan, Kita Tidak Sedang dalam Perlombaan

11 Februari 2022

Hari itu adalah hari pelaksanaan Penilaian Akhir Semester (PAS) di SDN Parubela, Desa Parudongka, Kecamatan Routa, yang merupakan sekolah penempatan salah satu Pengajar Muda angkatan 20, Muhamad Nur Siddiq. 

Saat itu, anak-anak sangat bersemangat dan telah berada di sekolah sejak pagi. Lembar soal pun dibagikan, anak-anak mulai fokus mengerjakan soal tes. Beberapa menit berlalu, hingga seorang anak berkata, “Pak Guru, susahnya soal.”

"Tidak apa-apa, kerjakan sebisanya saja, kalau tidak bisa kosongkan saja."

"Kalau dikosong(kan), nanti jelek nilainya, tidak bisa pi naik kelas." Sahut kembali sang anak.

Menanggapi hal tersebut, Siddiq kembali menjelaskan, "Kerjakan saja sebisanya, nilai naik kelas tidak hanya dilihat dari ulangan. Yang penting kalian mengerjakan soal dengan jujur untuk mengukur kemampuan kalian."

Bagi Shidiq, hal yang perlu ditanamkan dalam pendidikan kepada anak adalah agar mereka dapat berorientasi pada proses. Sebab, pendidikan sendiri juga merupakan suatu proses. Pencapaian siswa di sekolah tidak hanya dilihat dari nilai tes, karena tes hanyalah alat untuk mengukur kemampuan siswa. Masih terdapat banyak aspek dan proses yang perlu dilalui. Sehingga, penting untuk menegaskan pada peserta didik untuk terus mengedepankan kejujuran dalam hal apapun, khususnya ketika mengerjakan ujian.

Kejujuran, bagi kita, adalah salah satu hal yang paling sering disebut ketika mengerjakan ujian. Bahkan, beberapa lembar ujian memerintahkan kita untuk menulis ulang kalimat “Saya mengerjakan ujian dengan jujur” lalu membubuhkan tanda tangan kita di atasnya. Namun, apakah kita selalu jujur?

Pertanyaan ini menjadi hal yang jarang dibicarakan. Pada beberapa kasus, menyontek menjadi hal lumrah sekaligus paling mudah untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Ibarat shortcut, menyontek memberi kita kemudahan instan, suatu hal yang bisa jadi setara dengan perjuangan beberapa hari belajar.
 

Penelitian RISE: naik kelas tetapi tidak belajar, dan ketertinggalan yang perlu kita kejar

Dilansir dari The Conversation Indonesia, Indonesia kini menempati posisi 7 terbawah dari 79 negara dalam asesmen global Program for International Students Assessment (PISA) tahun 2018. Salah satu hasil asesmen ini menunjukkan bahwa hanya 1 dari 3 anak Indonesia yang memenuhi capaian level minimal untuk kemampuan membaca. 

Selain itu, laporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2015 juga menunjukkan bahwa 27% anak Indonesia di jenjang kelas 4 SD tidak memiliki pengetahuan matematika dasar yang memadai.

Sebagai salah satu upaya untuk memahami tren negatif pendidikan Indonesia, penelitian terbaru SMERU Research Institute untuk program Research on Improving Systems of Education (RISE) mempublikasikan analisis profil pembelajaran anak di Indonesia dalam artikel bertajuk “Schooling progress, learning reversal: Indonesia’s learning profiles between 2000 and 2014”. Penelitian ini menguji hubungan antara tingkat pendidikan dengan kemampuan matematika dari tahun 2000 hingga 2014 melalui pengembangan profil pembelajaran untuk Indonesia. 

Studi yang menggunakan data survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) selama periode 2000–2014 ini mengungkap kesenjangan besar antara kemampuan siswa dan standar yang ditetapkan oleh kurikulum nasional. Misalnya, rata-rata anak di kelas 7 pada tahun 2014 mencapai penguasaan berhitung yang sama dengan rata-rata anak di kelas 4 pada tahun 2000. Riset ini menyimpulkan bahwa hasil belajar anak Indonesia pada 2014 lebih rendah dari tahun 2000.

Terdapat tiga tren analisis yang dapat diambil. Pertama, bahwa masih banyak peserta didik yang tidak mampu menjawab soal berhitung yang seharusnya sudah mereka kuasai di jenjang kelas yang lebih rendah. Kedua, peningkatan kemampuan anak semakin mengecil seiring naik jenjang kelas yang ditempuh. Hal ini mengungkap bahwa anak tidak mengalami peningkatan kemampuan yang signifikan ketika dia beranjak remaja dan belajar di jenjang sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA). Ketiga, kemampuan berhitung anak pada tahun 2000 relatif lebih tinggi dibandingkan anak di jenjang yang sama 14 tahun kemudian. Artinya, dalam jangka waktu tersebut, capaian pendidikan anak di Indonesia justru mengalami penurunan.

 

Sinyal lampu kuning darurat capaian pendidikan bangsa

Meskipun belum diketahui secara pasti apa saja faktor yang memengaruhi hasil tren yang ditunjukkan oleh studi RISE, analisis ini tetap memerlukan perhatian khusus sebagai bahan evaluasi untuk pendidikan yang lebih baik di kemudian hari. 

Adanya berbagai perubahan terkait muatan kurikulum memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan intelektual peserta didik. Misalnya, perubahan mengenai muatan mata pelajaran berhitung sejak Kurikulum 2004. Pada kurikulum sebelumnya (Kurikulum 1994), jam belajar untuk berhitung berkisar antara 8-10 jam per minggu. Jumlah ini kemudian menurun menjadi 5 jam pada Kurikulum 2004. Tentunya, kebijakan ini mempengaruhi kemampuan murid dalam numerasi dan problem solving berbasis hitungan.

Selain itu, kebijakan Ujian Nasional (UN) juga turut berperan dalam menyita fokus serta perhatian peserta didik. Misalnya, sejak tahun 2003, bobot ujian sekolah terhadap kelulusan terus berkurang dengan posisi yang digantikan oleh UN yang dinilai lebih penting dan krusial bagi masa depan murid. Selain menentukan kelulusan, UN juga menentukan kualitas sekolah di jenjang atasnya, juga memengaruhi peringkat sekolah dan daerah. Hal ini menjadikan banyak pihak yang baik langsung maupun tak langsung turut mendorong murid untuk belajar hanya demi kelulusan dan bukan untuk mengasah pengetahuan dan kemampuan berpikir.

Di Indonesia, terdapat pula kecenderungan di mana murid tetap dapat naik kelas meskipun kemampuannya belum mencukupi. Masalah ini cukup kompleks sebab masyarakat belum sepenuhnya mampu melihat fenomena “tinggal kelas” sebagai suatu hal yang “wajar”. 

Murid terperangkap dalam dilema, antara tinggal kelas dan mendapatkan stigma yang akan memengaruhi kepercayaan dirinya, atau naik kelas tetapi belum memiliki pondasi cukup yang justru akan berbahaya di masa depannya nanti. Akibatnya, peserta didik dapat kehilangan kesempatan untuk memperkuat pemahaman atas materi yang belum dikuasai di jenjang mereka sebelumnya.

Hasil riset ini, oleh Luhur Bima --peneliti senior SMERU Institute--, diharapkan dapat menjadi sinyal lampu kuning bagi para pemangku kepentingan di sektor pendidikan untuk segera melakukan evaluasi dan perbaikan. Ia juga berpendapat bahwa tren ini kemungkinan besar juga terus terjadi hingga saat ini. Adanya pandemi COVID-19 juga berpotensi untuk memperparah ketertinggalan belajar murid di Indonesia.

 

Mengenai pendidikan, kita tidak sedang berada dalam perlombaan

Sejak kecil, kita telah mengenal sistem peringkat atau ranking sebagai suatu pencapaian yang layak dibanggakan. Tak hanya itu, tinggi rendahnya skor UN juga turut menjadi ukuran standar dalam masyarakat. Pada beberapa kasus, hal ini mengaburkan nilai-nilai kejujuran dan menjadikan peserta menggunakan segala cara agar dapat meraih tujuannya. Jika hal itu terjadi, lantas, berapa harga yang kita bayar atas perbuatan tidak jujur dalam ujian?

Pada dasarnya, berbagai faktor saling terkait dalam melanggengkan budaya ini. Butuh kerja sama antara pendidik, peserta didik, keluarga, hingga masyarakat umum untuk memberikan ruang yang aman bagi anak-anak untuk mengembangkan diri mereka tanpa dibayangi ketakutan.

Menurut Luhur Bima, orang tua dan pendidik perlu mengubah cara pandang lama bahwa anak-anak bersekolah dengan tujuan untuk mendapatkan nilai ujian yang tinggi. Sebab, seharusnya proses pembelajaran yang baik adalah untuk memahami konsep hingga tuntas tanpa harus berlomba-lomba menjadi yang pertama. Pembelajaran yang baik memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengeksplor pengetahuan tanpa rasa khawatir yang berlebihan terhadap masa depan.

Evaluasi belajar yang dilakukan sekolah, baik melalui asesmen dari guru maupun melalui ujian, harusnya tidak lagi hanya sebagai alat pemeringkatan. Melainkan perlu berfokus pada pemetaan capaian murid dan sebagai landasan bagi pendidik dalam menyusun strategi pembelajaran.

Rudolph Steiner (1861-1925), seorang polymath asal Austria, berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu perjalanan, bukan perlombaan. Ia juga mengatakan pentingnya membekali para siswa mengenai “education for the head, heart, and hand”, atau “pendidikan untuk kepala, hati, dan tangan”. Pendekatan Steiner banyak digunakan di beberapa negara dalam menyusun sistem pendidikan mereka.

Pada akhirnya, tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan pikiran, melembutkan hati, dan mempertajam perbuatan. Dibandingkan dengan berfokus pada kompetisi tak berkesudahan yang entah ke mana muaranya, alangkah baiknya kita kembali pada mengapa tujuan tersebut ada, dan bagaimana dampaknya dalam pembangunan bangsa. 

Tapi… yang hingga saat ini masih terngiang di kepala kita, masihkah kita bersedih jika kita atau kerabat terdekat kita ‘kalah’ dalam setiap perlombaan?

 

***
Ditulis oleh:
Redaksi Pojok Refleksi Indonesia Mengajar
 


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua