Sudahkah Kita Meluangkan Ruang untuk Berkembang?

18 Februari 2022

“Ibu, sa mau coba pimpin teman-teman bikin tong pu kesepakatan kelas (boleh), kah?”

Saat itu adalah hari ke sekian di semester baru setelah libur sekolah ketika Elvira mengangkat tangan untuk mengajukan diri memimpin teman-temannya dalam membuat kesepakatan kelas.

Di sekolah, hanya ada Hasniar Anwar--akrab disapa Bu Niar, Pengajar Muda angkatan 21 penempatan Maybrat, dan satu guru lagi yang masuk dan bertugas. Beberapa guru yang lain masih mengurus administrasi perpanjangan kontrak mengajar.

Pagi itu, Niar mengajak murid-murid kelas empat untuk membuat kesepakatan kelas. Bagi mereka, ini bukanlah hal baru, sebab mereka pernah melakukannya bersama-sama di semester sebelumnya. Namun, karena keterbatasan pengajar dan Niar perlu menangani tiga kelas sekaligus, ia meminta anak-anak untuk menyusun kesepakatannya sendiri, termasuk kelas empat--kelas yang diduduki Elvira.

"Tentu saja boleh,” Niar merespon tawaran Elvira sambil menyerahkan spidol.

Dalam pengamatan Niar, Elvira dapat memimpin teman-temannya dengan baik. Satu-persatu, anak yang juga akrab disapa Vira itu meminta teman-temannya untuk maju dan menuliskan tawaran mereka masing-masing. Hasilnya, terdapat 25 poin kesepakatan kelas yang tertulis di papan. Setelahnya, Vira mengajak teman-temannya untuk memeriksa seluruh poin secara bergantian untuk kemudian disepakati bersama. Tak lupa, ia juga menambahkan tanda ceklis pada poin-poin yang telah disetujui semua anggota kelas.

Tentunya, sempat terjadi beberapa kali perdebatan karena semua anak ingin pendapatnya didengar. Hebatnya, Vira dapat menangani situasi ini dengan memberikan pengertian dan pemahaman kepada teman-temannya dengan kalimat sederhana khas anak-anak. Niar juga mengamati bahwa beberapa kali, Vira menggunakan kalimat yang biasa ia gunakan di kelas, menunjukkan bagaimana anak-anak merupakan peniru yang baik.

Akhirnya, 18 poin kesepakatan kelas berhasil disepakati secara bersama-sama, suatu hal yang sangat membanggakan bagi Niar.

Kegiatan seperti membuat peraturan kelas bersama-sama bukanlah kegiatan yang asing bagi kita. Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah, kita pasti telah mengenal dan mengalami beberapa darinya. Tidak selalu tertulis, sekadar larangan makan di kelas, atau larangan berisik ketika jam pelajaran juga termasuk peraturan yang pernah kita sepakati demi berjalannya kegiatan belajar-mengajar yang lebih kondusif. 

Peraturan kelas yang ditetapkan oleh guru tentu akan terasa berbeda dengan kesepakatan yang dibuat bersama peserta didik. Ketika kita dilibatkan dalam membuat peraturan, akan muncul perasaan tanggung jawab yang membuat kita menaruh perhatian lebih pada peraturan-peraturan tersebut. Hal ini juga membuat kita merasa segan jika melanggar peraturan yang telah kita sepakati sendiri.

Adanya partisipasi dalam kegiatan belajar-mengajar menjadi faktor penting dalam berjalannya pendidikan. Hal ini diwakilkan oleh salah satu tujuan pendidikan di mana siswa dapat aktif mengembangkan potensi diri melalui suasana belajar yang mendukung. Ketika kita dilibatkan secara langsung dalam proses belajar dan pengambilan keputusan, maka akan tumbuh rasa memiliki yang melatih rasa bertanggung jawab kita akan keputusan yang telah kita ambil sebelumnya.

 

Proyek bunga dari botol plastik: inisiatif kreatif melalui pendidikan partisipatif

Inisiatif kreatif ini lahir dari aplikasi pembelajaran yang memberikan ruang bagi peserta didik untuk berpartisipasi secara aktif dalam mengemukakan pendapat dan keinginan mereka.Kesempatan bebas untuk berpartisipasi dan bertumbuh juga penting untuk melahirkan ide-ide dan inovasi baru. Bagi Khintan, Pengajar Muda angkatan 21 penempatan Nias Barat,  anak-anak hanya perlu ruang dan “orang dewasa” yang mempercayai kemampuan mereka untuk dapat melakukan hal-hal keren dan kreatif. Salah satu buktinya datang dari inisiatif peserta didik SDN 077307 Fadoro Bahili dalam membuat hiasan kelas berupa bunga yang terbuat dari botol plastik. Cerita ini bermula oleh celetukan salah satu siswa Khintan.

"Ibu, ayo kita buat bunga dari botol plastik terus kita hias kelas ini.”

"Ya, tapi ibu gak tau buat bunga dari botol plastik,"

"Gak papa bale, Ibu. Bisa kami buat sendiri, loh. Biar cantik kelas kita,"

Seisi kelas bersorak ketika Khintan menyetujui usulan anak tersebut. Hal ini menjadi awal dari keberadaan hiasan bunga plastik yang kini mengelilingi dinding kelas mereka. Ide untuk menghias kelas ini tidak datang dari guru, melainkan justru dari anak-anak yang berkeinginan untuk membuat karya berdasarkan pengetahuan dan kemampuan yang mereka miliki.

Pembelajaran partisipatif (participative teaching and learning) adalah model pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belajar mengajar. Konsep ini memastikan partisipasi peserta didik ada dalam setiap langkah pendidikan, mulai dari perencanaan, hingga evaluasi. Menurut Sudjana (2005), pembelajaran partisipatif juga dapat diartikan sebagai usaha pendidik untuk mengikutsertakan peserta didik sebagai pemain utama dalam setiap proses belajar mengajar. Sehingga, siswa diberi peluang yang luas dalam mencari informasi sendiri, menemukan fakta atau data sendiri, serta memecahkan permasalahan dalam suatu topik pembelajaran.

Melalui pembelajaran partisipatif, adanya kebebasan yang diberikan diharapkan dapat memacu siswa untuk berani melibatkan dirinya dalam kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan potensi masing-masing. Di sini, guru memegang peran sebagai mitra belajar bagi para siswa dan bertanggungjawab untuk menciptakan situasi belajar yang menyenangkan sehingga dapat mendorong siswa untuk termotivasi sekaligus bertanggungjawab dalam kegiatan pembelajaran.

Dalam pembelajaran partisipatif, strategi yang digunakan terletak pada susunan aktivitas pembelajaran di dalam kelas yang ditandai dengan terlibatnya peserta didik dalam merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, serta menilai pembelajaran. Cara ini diharapkan mampu mewujudkan aktivitas belajar yang berpusat pada siswa. Tiga tahapan yang melibatkan siswa dalam pembelajaran partisipatif ialah perencanaan program (program planning), pelaksanaan program (program implementation), dan penilaian program (program evaluation) pembelajaran.

Melalui artikel berjudul Model Pengembangan Strategi Partisipatif, Yeti Mulyati menegaskan bahwa konsep pendidikan partisipatif bertumpu pada upaya pendidik untuk mengikutsertakan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. 

Dalam tahap perencanaan program, partisipasi peserta didik dapat berupa keterlibatan dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, merumuskan permasalahan dan menentukan prioritas masalah, mengidentifikasi sumber-sumber atau potensi yang tersedia, dan memprediksi kemungkinan-kemungkinan hambatan dalam pembelajaran. Selanjutnya, hasil identifikasi kebutuhan belajar akan dijadikan dasar bagi penyusunan jenis-jenis kebutuhan belajar, yang kemudian akan ditata secara cermat dan berurutan sesuai dengan pemetaan prioritas kebutuhan. Jika tahap ini dilaksanakan dengan baik, maka implementasi dari kebutuhan pembelajaran akan tetap sasaran dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Bentuk partisipasi berikutnya berupa keterlibatan peserta didik dalam merumuskan tujuan belajar sesuai dengan kebutuhannya, serta penetapan program kegiatan pembelajaran yang akan ia jalani setelahnya. Partisipasi ini dapat memberikan hasil yang maksimal dan tepat sasaran jika dilakukan secara optimal.

Pada tahap pelaksanaan program, partisipasi peserta didik dapat diamati melalui pelaksanaan kegiatan pembelajaran dalam bentuk keterlibatan peserta didik dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar.

Tahap evaluasi sebagai tahap akhir melibatkan peserta didik dalam penilaian terhadap pelaksanaan dan penilaian terhadap pengelolaan program pembelajaran. Evaluasi ini penting untuk melihat proses pembelajaran melalui perspektif peserta didik, untuk kemudian direfleksikan dan digunakan untuk memperbaiki pelaksanaan kegiatan selanjutnya.

Karakteristik utama dari strategi pembelajaran partisipatif, menurut Sudjana, adalah berdasarkan kebutuhan belajar (learning need based), berorientasikan pada tujuan pembelajaran (learning goals and objectives oriented), berpusat pada peserta didik (participant centered), dan berangkat dari pengalaman belajar (experiential learning).

Pembelajaran partisipatif menjadikan tiap pengalaman yang dimiliki peserta didik menjadi penting dan valid. Selain itu, tiap anak memiliki sisi istimewa masing-masing. Apa yang kita rasa benar, belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan mereka. Di sini, konsep pendidikan partisipatif dapat membantu kita untuk lebih mengerti bahwa bagaimanapun juga, siswa adalah pusat dari kegiatan pembelajaran, sehingga mereka perlu untuk selalu dilibatkan dalam tiap prosesnya.

Sedikit cerita dari Niar dan Khintan di penempatan dapat menjadi pengingat kecil agar selalu memberikan ruang bagi orang lain untuk tumbuh, khususnya peserta didik kita. Tak muluk-muluk, terkadang yang anak-anak butuhkan hanyalah ruang dan pengawasan untuk memberikan rasa aman bagi mereka dalam berkreasi dan berkarya. Kemajuan pendidikan di Indonesia adalah usaha kolektif yang dilakukan bersama. Sehingga, sebelum melangkah lebih jauh lagi, jangan lupa memastikan ke diri sendiri: dengan keterbatasan yang kita punya, sudahkah kita memberikan ruang bagi orang lain untuk ikut maju dan berkembang bersama?



***
Ditulis oleh:
Redaksi Pojok Refleksi Indonesia Mengajar


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua