info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Tak Mesti Besar, Kita Bisa Belajar dari Pasar

6 Agustus 2020

Beberapa waktu yang lalu, saya dan Akbar--teman sekantor saya--pergi ke pasar selepas Isya, bahkan cenderung mendekati pukul 9 malam. Ketika itu kami ingin membeli sate untuk kudapan malam, meski terbilang cukup telat untuk jam makan malam, dan tentunya dengan memperhatikan protokol kesehatan. Kantor kami memang terletak di posisi yang cukup strategis. Di malam hari, banyak pedagang kaki lima yang berjualan, mulai dari nasi goreng, soto ambengan, siomay, batagor, hingga ayam gepuk NJS yang selalu kami gandrungi. Barisan pedagang kaki lima tersebut berdagang di jalan belakang kantor, tepatnya di sekitaran pasar yang beroperasi di pagi hari.

Di masa pandemi ini, sejujurnya saya sangat jarang keluar kantor. Hanya sesekali saja ketika kebutuhan yang mendesak. Hitung-hitung sekaligus memastikan roda ekonomi tetap berputar bagi orang-orang yang menggantungkan hidupnya dengan cara berdagang.

Usai membeli sate yang akan dimakan di kantor, kami segera kembali. Di tengah perjalanan, saya mengajak Akbar untuk singgah di pedagang sayur-mayur. Saya menawarkan Akbar membeli sayur untuk dimasak. Tempo hari, Akbar sempat nyeletuk ingin memasak sayur bening. Kebetulan, ada pedagang sayur-mayur yang masih berjualan malam hari di depan pasar. Akbar menerima ajakan saya.

Di warung tersebut, Akbar segera bertanya harga sayur bayam, tempe, bawang merah, dan bawang putih. Pertanyaan Akbar disambut oleh seseorang yang menarik perhatian kami, anak kecil perempuan yang berusia kisaran 8-10 tahun. Anak itu pula yang melayani pembelian kami.

Ketika Akbar memesan bawang merah dan bawang putih, anak itu dengan sigap mengambilnya dan mengoperasikan timbangan tradisional dengan tangan lentiknya. Ia pasti sudah hafal anak timbangan yang digunakan untuk mengukur jumlah bawang merah dan bawang putih yang dibeli. Sesudah itu, ia bertanya kepada neneknya berapa harga bawang merah dan bawang putih. Neneknya pun segera memberi tahu harga yang dipatok. Segera setelah Akbar menyerahkan uang untuk membayar seluruh barang yang dibeli, anak itu menerima uangnya dan memberikan kembalian dengan presisi. Saya pun membeli jahe setelah transaksi Akbar usai. Lagi-lagi anak itu melayani saya dengan proses yang sama. Mengambil jahe, menimbangnya, bertanya harga, menerima uang, dan memberikan kembalian.

Menyaksikan fenomena itu, saya takjub. Saya langsung mengingat pemikiran saya yang tak sepenuhnya setuju dengan dikotomi (pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan) antara belajar dan bermain. Malam itu juga, saya memperluas definisi saya. Saya masih tak sepakat dengan dikotomi antara belajar dan membantu orang tuanya mencari nafkah. Mudahnya, dikotomi antara belajar dan beraktivitas di luar rumah terasa asing bagi saya.

Ketika saya bertugas sebagai Pengajar Muda, saya banyak menemui anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain atau membantu orang tua, dibandingkan waktu untuk belajar. Anak-anak yang selalu mendapatkan teguran, "Main terus! Nggak pernah belajar!" akan berada di pihak saya.

Saya tak sepakat dengan anak-anak yang dianggap tak 'pandai' hanya karena selalu di depan komputer, membantu orang tua mencari nafkah atau berkeliaran di tengah hutan. Karena pada kenyataannya, tak banyak anak-anak sehebat anak kecil yang melayani transaksi saya.

Di Dusun Panglero--tempat saya bertugas sebagai Pengajar Muda di sudut Musi Rawas, Provinsi Sumatra Selatan--misalnya, saya bertemu dengan Deki, salah satu anak di sana. Di usia 11-12 tahun, Deki sudah mahir menembak burung menggunakan senapan angin, bahkan ketapel. Saya menyaksikannya di depan mata saya sendiri ketika pergi mencari burung ke tengah hutan. Padahal, kala itu, burung yang ia tembak sedang berada di dahan dengan ketinggian tak kurang dari 5 meter.

Apakah ia mempelajarinya di sekolah? Dari buku-buku pelajaran di perpustakaan?

Dikotomi antara belajar dan beraktivitas di luar rumah masih terus terjadi, meskipun riset-riset tentang bermacam kecerdasan manusia terus dikembangkan. Beberapa jenis kecerdasan yang lain masih dianggap sebagai anak tiri. Seolah-olah tak sehebat kecerdasan logika.

Jika boleh mengutip buku ‘Sekolah itu Candu’ karya Roem Topatimasang (1998), pendidikan yang ideal didefinisikan sebagai pendidikan yang dilaksanakan secara kontekstual. Pendidikan yang berjalan tetap pada hakikatnya, anak-anak bebas memilih dan menetapkan sendiri apa yang ingin mereka pelajari dan sesuai dengan konteks daerah masing-masing.

Lebih lanjut, Roem (1998) memaparkan bahwa pendidikan (pembelajaran) kontekstual sebaiknya erat dengan kondisi dan permasalahan lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar dapat dimulai dari unit terkecil, yaitu keluarga, tetangga, hingga masyarakat tempat anak tinggal. Roem mengambil contoh pada salah satu sekolah di kaki Pegunungan Latimojong, Rantemario, yang terletak di perbatasan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Sekolah tersebut memiliki bangunan yang sederhana dan tanpa dipungut biaya. Seluruh kebutuhan sekolah ditanggung oleh kantor kecamatan dan swadaya masyarakat. Setiap Hari Sabtu, anak-anak di sekolah belajar di halaman atau kebun sekolah dengan cara memperbaiki pagar yang rusak, menanam tanaman, membabat rumput atau memetik tanaman yang berbuah. 

Elaine B. Johnson melalui bukunya yang berjudul Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It's Here to Stay (2002) juga menguatkan bahwa pendidikan yang kontekstual berhasil karena didasarkan pada filosofi bahwa setiap orang mampu untuk belajar dan mampu belajar dengan baik jika mengetahui dan dapat menangkap makna dari setiap pelajaran yang diberikan dan sesuai dengan hati nurani manusia yang selalu memiliki dorongan untuk belajar.

Sekarang, saatnya kita kembali ke anak yang saya temui di pasar. Meskipun ia tak bergelut dengan buku dan lembaran-lembaran kertas, bagi saya, bukan berarti ia tak belajar. Bukankah ia tetap belajar proses transaksi dan mengoperasikan timbangan tradisional? Pembelajaran yang benar-benar kontekstual sesuai dengan kondisi yang ia alami sehari-hari. Saya percaya bahwa ia tetap ‘belajar’.

Kata 'belajar' di bagian akhir saya beri kutip, karena kiranya kita sudah sepakat bahwa belajar itu banyak caranya. Termasuk dengan cara membantu orang tuanya berjualan.

Tak mesti besar, kita bisa belajar dari pasar.


***
Alief Bagus Wicaksono
Officer Indonesia Mengajar


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua