Setahun Berlayar, Selamanya Menjadi Pembelajar

25 Maret 2022

Terhitung sejak 2009, Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) telah menemani, mengupayakan, dan mengajak semua pihak untuk turun tangan memajukan pendidikan di Indonesia. Seiring semakin jauhnya jalan yang ditempuh bersama Indonesia Mengajar (IM), semakin bertambah pula cerita yang lahir, baik dari refleksi pribadi, maupun interaksi Pengajar Muda (PM) dengan masyarakat, anak-anak, dan penggerak pendidikan di pelosok bangsa. 

Mungkin, beberapa pertanyaan akan muncul di kepalamu begitu mendengar tentang Pengajar Muda. Misalnya, bagaimana, ya, rasanya menjadi Pengajar Muda? Bagaimana rasanya menjalani kehidupan yang jauh dari keramaian kota, serta melihat dunia dari lensa pendidik di pelosok bangsa? Atau, beberapa pertanyaan serupa yang muncul atas rasa ingin tahu dan kepedulian kamu terhadap pendidikan di negeri.

Ribuan Pengajar Muda telah dikirimkan Indonesia Mengajar untuk membantu menggerakkan roda pendidikan Indonesia dari hilir, dan bersama dengan itu, tumbuh berbagai cerita penuh pembelajaran yang dapat dibagi, menjadi inspirasi bagi kita agar turut mengupayakan apa yang kita mampu untuk memajukan pendidikan bangsa.

 

Menjadi Pengajar Muda, mengapa?

Ada beragam titik awal yang dapat menjawab pertanyaan “mengapa”, dan Pengajar Muda memiliki cerita unik masing-masing yang mengantarkan mereka pada jalan yang sama, yakni setahun mengajar di pelosok Indonesia. 

Beberapa dari mereka menjadi Pengajar Muda karena merasa bertanggung jawab untuk ikut berperan menuntaskan janji mencerdaskan kehidupan bangsa, beberapa ingin berkontribusi sekaligus mengenal Indonesia seutuhnya, beberapa lainnya ingin “rehat” dari rutinitas dan hiruk-pikuk kota, serta banyak lagi cerita yang membawa mereka menjadi pengajar di sudut-sudut bangsa.

Salah satu cerita datang dari Atikah Daniarti, seorang Pengajar Muda Angkatan 10 di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Dinar mendaftar menjadi Pengajar Muda begitu ia menyelesaikan studi di jurusan Akuntansi, Universitas Negeri Sebelas Maret.

Semasa berkuliah, Dinar gemar mengikuti berbagai macam organisasi kampus, mulai dari Dewan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa, hingga komunitas-komunitas sosial seperti Komunitas Tangan di Atas dan Solo Mengajar. “Gejolak anak muda,” demikian ia menyebutnya.

Merunut lebih jauh, ketertarikan Dinar pada Indonesia Mengajar bermula ketika ia menulis tentang Anies Baswedan untuk salah satu kompetisi yang kemudian berhasil dimenangkannya sebagai juara dua. Mempelajari kehidupan Anies Baswedan mendekatkan Dinar untuk mengenal Indonesia Mengajar secara lebih dalam.

Selama berkuliah di Solo, Dinar bergabung dengan Solo Mengajar, suatu gerakan mirip IM, di mana ia mengajar dua kali seminggu di suatu Taman Belajar. Tak hanya itu, gerakan ini juga memungkinkan Dinar untuk berkegiatan dan bertemu dengan komunitas-komunitas pendidikan serupa. Peran yang ia ambil dalam Solo Mengajar juga memperkuat tekatnya dalam mendaftar menjadi Pengajar Muda.
 

“Suatu hari, pas aku lagi stres ngerjain skripsi, malamnya aku ngajar anak-anak di Taman Belajar. Waktu  aku  datang,  seperti  biasa, mereka  udah  ngerubungin  aku  meminta  salaman,  dan berebut agar aku mengajar di kelas mereka,” kenangnya.

“Entah kenapa, malam itu aku terenyuh banget, rasanya, segala masalah aku hilang. Aku bahagia banget bisa bertemu mereka dan seneng-seneng bareng mereka. Akhirnya, aku bertekad [bahwa] setelah lulus nanti, aku mau ikutan Indonesia Mengajar. Aku ingin ngerasain lebih jauh kedekatan batin ini sama anak-anak di daerah. Pengen mencoba berbuat lebih buat anak-anak dan pendidikan di Indonesia.”


 

Menuai pemahaman dari akar-akar rumput

Tidak sedikit dari Pengajar Muda yang telah memiliki pengalaman mengajar sebelum terjun menjadi pendidik bagi anak-anak di desa, misalnya sebagai guru dalam lembaga pendidikan formal dan non formal, hingga sebagai instruktur, trainer, maupun mentor dalam bidang ilmu tertentu. 

Meskipun demikian, akan selalu ada hal baru yang Pengajar Muda temui di penempatan. Setidaknya, demikianlah bagi Khaerul Umur, Pengajar Muda Angkatan 2, penempatan Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Empat tahun bersinggungan dengan lembaga kependidikan, Umur banyak berinteraksi pula dengan aktor-aktor pendidikan di daerahnya. Bagi Umur, sekolah-sekolah di Jawa Barat--tempat asalnya, bukan membutuhkan guru. Justru lulusan keguruan yang membutuhkan ruang sekolah untuk mengajar. Karena itulah, ketika ia mendengar informasi tentang Indonesia Mengajar yang berangkat dari kisah ketimpangan jumlah pengajar di pelosok, Umur tertarik untuk menjadi Pengajar Muda.

Sebagai lulusan kependidikan sekolah dasar (PGSD), mengajar di kelas sudah menjadi hal biasa baginya. Tetapi, kesempatan untuk berkolaborasi bersama berbagai aktor pendidikan daerah, seperti guru, kepala sekolah, bahkan dinas pendidikan adalah “panggung” yang tidak didapatkan olehnya di perguruan tinggi. Menjadi Pengajar Muda memberikannya ruang untuk berkreasi dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan di desa tempatnya mengajar.

Kesempatan tersebut menjadi awal ketertarikan Umur untuk mengembangkan kualitas pembelajaran dari skala manajemen, sekaligus memberikannya peluang berkarya di institusi pendidikan dan pengembangan masyarakat. Kini, Umur berprofesi sebagai Program Manager di INSPIRASI Foundation, sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada pengembangan kompetensi kepala sekolah, melalui pengembangan kurikulum, monitoring progress, hingga evaluasi. Di  level dinas pendidikan, ia mendampingi dinas pendidikan untuk mengadaptasi program Pengembangkan Komptensi Berkelanjutan untuk kepala sekolah. Targetnya adalah pemerintah daerah dapat mengoptimalkan anggaran pengembangan guru dan kependidikan melalui kegiatan pelatihan yang efektif dan berdampak.
 

Yang paling berharga adalah cerita

“Aku ‘tuh selalu bingung kalau ditanya tentang pengalaman yang paling berharga. Soalnya, semua pengalaman selama setahun (di penempatan) ‘tuh berharga banget.” Tulis Dinar (PM 5 Kabupaten Kapuas Hulu) ketika diminta menyebutkan pengalaman paling berharga selama menjadi Pengajar Muda.

Salah satu yang paling melekat di memori Dinar ialah ketika ia membuka sesi refleksi satu-persatu bersama seluruh muridnya selepas sekolah. Melalui sesi privat ini, ia ingin menggali tentang kehidupan anak-anak didiknya, bagaimana hubungan mereka dengan  keluarga, cita-cita mereka, hingga hal-hal kecil seperti kegiatan seru yang dilakukan muridnya sehari-hari, juga beberapa “rahasia” yang disimpan mereka.

Cerita-cerita yang dituturkan murid-muridnya secara terbuka membuat hati Dinar terenyuh, dan membantunya memahami karakter dan latar belakang peserta didiknya. Kenapa karakter mereka bisa menjadi seperti ini? Kenapa mereka kurang mahir di  pelajaran?  Kenapa  mereka  menjadi  pendiam? Kenapa  mereka  suka  berkelahi? Rentetan pertanyaan ini mulai ia coba rangkai jawabannya sembari berusaha mengerti kondisi anak-anak. Momen-momen kepolosan mereka inilah, yang bagi Dinar tidak ternilai harganya. 

 

Berteman dengan ketidakpastian, menggenggam ketidaknyamanan

Bagi Annisa Dwi Astuti--akrab disapa Tuti, pengalamannya menjadi Pengajar Muda angkatan 12 di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, banyak mengajarkannya untuk berteman dengan ketidakpastian. Ia belajar untuk melatih fleksibilitas fisik dan mentalnya dalam menghadapi situasi di luar prediksi, juga berempati pada masyarakat yang memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda darinya.

Selepas menjadi Pengajar Muda, Tuti melanjutkan studinya di Universitas Indonesia untuk mendapatkan gelar S2 profesi dan menjadi psikolog. Ketika itu, ia dihadapkan dengan situasi pandemi, perubahan kurikulum, dan banyak hal lain yang tidak bisa ia kontrol selama masa studi. Tuti merasa dapat melewati rentetan kejadian tidak terduga ini karena telah belajar untuk berdamai dengan hal-hal tidak pasti yang dihadapinya semasa menjadi Pengajar Muda.

Indonesia begitu luas, begitu kaya, tidak hanya tentang Jakarta atau sekitarnya, dan kesenjangan yang ada di masyarakat memang nyata adanya. Hal ini dirasakan Tuti ketika ia membandingkan pengalamannya semasa memperjuangkan pendidikan di “hilir” untuk Indonesia Mengajar, dan ketika ia bekerja di Kementrian Pendidikan, yang diibaratkannya sebagai “hulu”. 

“Semasa menjadi Pengajar Muda, aku berinteraksi dengan anak-anak di daerah dan hidup bersama masyarakat di sana, yang secara sosio-ekonomi cukup terbatas. Aku jadi sadar bahwa Indonesia begitu luas, dan kesenjangan memang nyata adanya. Sudut pandang ini mendorongku untuk rutin donasi di KitaBisa sebagai pengingat bagiku agar ‘tetap membumi’. Aku nggak mau kemudahan akses yang aku miliki di posisi ini membuat lupa. Aku juga nggak ingin melupakan apa yang aku alami selama menjadi Pengajar Muda. Secara sengaja, aku memelihara ‘rasa ketidaknyamanan itu’.” Ujar Tuti yang kini berprofesi sebagai psikolog klinis.

 

Menjadi Pengajar Muda: perjalanan menjadi Indonesia, dan menjadi utuh sebagai manusia

Ada banyak cara dalam menuai makna pendidikan bagi diri kita masing-masing. Bagi Dinar, pendidikan juga tentang bagaimana kita tidak memaksakan pola pikir pendidikan pusat untuk selalu diterapkan di daerah. 

Tiap wilayah, terutama di pelosok-pelosok negeri, memiliki tantangan dan kondisi yang berbeda, dengan keterbatasan yang berbeda pula. Menghadapi ini, para pendidik perlu memiliki fleksibilitas dan keleluasan untuk mengajar sesuai dengan kebutuhan murid, dan tidak terpaku pada standar ibu kota.

Menjadi Pengajar Muda, artinya meniti perjalanan dalam memahami Indonesia secara utuh, lewat pemahaman akar rumput, dan kemampuan kolaborasi bersama masyarakat untuk memecahkan masalah pendidikan bersama. Pengajar Muda bukan hanya sarjana-sarjana terbaik dari berbagai penjuru tanah air, melainkan juga penggerak yang mengajak masyarakat untuk turut berdaya dengan bersama-sama mendorong roda pendidikan bangsa agar terus berputar sepanjang masa.

Tentunya, jalan yang dihadapi oleh Pengajar Muda--juga oleh kita, masih cukup terjal dan penuh lubang. Dalam bayang-bayang ketidakpastian masa depan, pendidikan harus tetap berjalan. Juga dalam gelap, badai, dan situasi yang mungkin belum pernah terpikir sebelumnya, pendidikan tidak boleh berhenti. 

Makna dan inspirasi yang dipetik lalu dibagikan oleh Pengajar Muda melalui kisah-kisah yang mereka tuturkan tidak akan terhapus oleh waktu. Begitu juga dengan peran mereka, baik kecil maupun besar, dalam memungkinkan roda pendidikan tetap berputar. Kini, akankah kamu ikut mengabadikan kepedulian menjadi aksi nyata bersama kami, bahkan jika dibayangi oleh ketidakpastian, atau jalan yang jauh dan terjal? Maukah kamu menghadirkan cerita-cerita, juga pelajaran baru yang akan mengabadi dalam satu tahun mengabdi? 

 


***

Ditulis oleh

Redaksi Pojok Refleksi Indonesia Mengajar


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua