Rantai yang Tak Putus: Tentang Pengajar Muda, dari Kacamata Ayah dan Ibu Mereka

1 April 2022

Kedatangan Pengajar Muda di daerah-daerah penempatan melibatkan banyak pihak yang bekerja bersama-sama, mulai dari para stakeholders terkait, masyarakat di penempatan, hingga orang tua Pengajar Muda yang berperan sebagai support system utama.

Memilih jalan hidup untuk mengajar di pelosok Indonesia selama satu tahun lamanya, artinya bukan hanya meninggalkan kota serta pekerjaan yang sebelumnya dimiliki, melainkan juga teman-teman, keluarga, dan orang-orang terkasih lainnya. Hal ini tidaklah mudah, baik bagi Pengajar Muda, maupun mereka yang “ditinggalkan” untuk sementara.

Beberapa orang tua tidak langsung mengizinkan anak-anaknya untuk merantau di tempat jauh, dengan nama-nama daerah yang mungkin belum pernah mereka dengar sebelumnya. Berbagai pertanyaan, kekhawatiran, dan rasa ragu turut muncul dalam benak mereka. Bagaimanapun juga, tiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Mereka ingin buah hatinya terus tumbuh dalam rasa aman, dan tetap dapat memberikan apa yang mereka miliki, kemudian menyebarkannya sebagai kebaikan bagi sekitar.

Tidak hanya satu kali Pengajar Muda perlu berusaha meyakinkan orang tua untuk percaya pada pilihan yang ingin mereka ambil. Butuh dua, tiga, hingga sekian kali percobaan dalam memberikan pengertian bahwa mereka akan baik-baik saja, dan terpenting, juga akan mengusahakan yang mereka bisa untuk memajukan pendidikan di wilayah-wilayah terpelosok di Indonesia.

 

“Saya hanya serba khawatir.”

“Awalnya, sebagai orang tua, saya tidak mengizinkannya. Ia anak terakhir dan satu-satunya anak perempuan (di keluarga). Saya ingin dia di rumah saja, cari kerja, dan tiap hari bisa pulang dan bisa diajak ngobrol,” kata Ibu Kusnah, orang tua dari Reffi Dewi, Pengajar Muda Angkatan 17 Indonesia Mengajar.

Ibu Kusnah juga mengakui bahwa salah satu alasannya untuk tidak mengizinkan Reffi menjadi Pengajar Muda adalah bahwa ia belum sepenuhnya percaya pada Indonesia Mengajar. Ibu Kusnah baru mendengar nama IM, bagaimana jika ini adalah penipuan? Apakah keselamatan anaknya akan terjamin? Nanti, Reffi tinggal bersama siapa? Bagaimana jika ia jatuh sakit? Dan berbagai pertanyaan yang kian berkecamuk dalam dirinya.

“Saya minta Reffi untuk mencari kerja di Jakarta saja, tetapi, dia menjelaskan tentang apa itu IM. Mulai dari pendirinya yaitu Pak Anies, lalu alumni-alumninya yang luar biasa, juga tujuan dari IM. Reffi juga menjawab satu-persatu kekhawatiran saya secara detail. ‘Kalau di sana, InsyaAllah nggak papa. Mama do’a saja, yang penting kan niatnya baik’”.

Seiring berjalannya waktu, dibersamai semangat Reffi untuk tak henti memberikan pengertian, Ibu Kusnah mulai paham dan turut merasa senang melihat anak perempuannya melalui satu demi satu seleksi rekrutmen, hingga dinyatakan lolos sebagai Pengajar Muda. 

“Kalau itu memang mau Reffi, ya nggak usah dilarang. Kita harus mendukung dan merasa bangga dengan niatnya.” Kata Ibu Kusnah, mengutip ucapan Kakak Reffi yang turut meyakinkannya untuk memberi izin Reffi menjadi Pengajar Muda.
 

Hal yang serupa juga dirasakan oleh Lydia Sihombing, ibu dari Josephine Mendota Manurung--akrab disapa Josephine, salah satu Pengajar Muda Angkatan 20. Sebagai orang tua, tidaklah mudah baginya untuk memberi izin anak perempuannya untuk mengajar di daerah terpencil Indonesia. 

“Waktu pertama kali anak kami mengutarakan keinginannya untuk mengikuti program IM, sudah pasti kami kurang setuju dengan alasan keamanan dan keselamatan. Bagaimana dengan keselamatan dia? Apalagi, anak kami ‘kan masih belia, bagaimana jika ada yang menjahati dia?” Kata Ibu Lydia.

“Tapi dengan berjalannya waktu, banyak hal yang jadi pertimbangan. Setelah dibawa dalam do’a, akhirnya kami mengizinkan. Saya bilang, Tuhan, kalau memang Tuhan tidak izinkan, maka (Josephine) tidak perlu lolos seleksi.” Lanjutnya.

Bagi Ibu Lydia, menjadi orang tua harus rela melepaskan anaknya, “kami mengizinkan, dan kami berdoa semoga Josephine menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarnya, terutama bagi anak-anak Indonesia yang pasti sangat rindu untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.” Pungkasnya.

 

Tetap saling berkabar, walau jarak kian membentang

Komunikasi yang serba terbatas menjadi salah satu kekhawatiran para orang tua ketika melepaskan anak-anaknya menjadi Pengajar Muda. Hal ini tentunya dapat dipahami, mengingat belum meratanya jaringan internet di sudut-sudut Indonesia dan kesibukan yang dimiliki Pengajar Muda di penempatan.

Setidaknya, demikianlah yang dirasakan oleh Bapak Agus Budi dan Ibu Rohima, selaku orang tua Abdurrahman Saleh, Pengajar Muda Angkatan 21 di Kayong Utara.

“Awalnya, saya pikir Abdur akan berada di daerah yang tidak ada sinyal. Ternyata, Alhamdulillah, selama ini, kita selalu saling kontak sepanjang ada sinyal telepon atau internet. Kalau di Ketapang ada internet, maka kita video call. Sampai saat ini, (komunikasi) lancar-lancar saja.” Ungkap Pak Agus.

 

Kekhawatiran yang sama juga dialami oleh Nurhayani, ibu dari Muhammad Syahrudin Nawir--dipanggil Ucha, Pengajar Muda Angkatan 14 di Musi Rawas. Karena jaringan telepon dan internet di penempatan Ucha cukup sulit, komunikasi hanya dilakukan jika Ucha menelepon terlebih dahulu, atau ketika putranya sedang berada di kota.

Terkadang, Ibu Nurhayani masih merasa sunyi selama Ucha menjadi Pengajar Muda. Namun, ketika Ucha mengirim berbagai foto dan video kegiatan di penempatan, perasaannya berubah menjadi bangga dan haru melihat putranya mengabdi di tempat yang sangat jauh, dengan segala hal yang serba terbatas.

 

Kepada Pojok Refleksi Indonesia Mengajar, Ibu Kusnah bercerita tentang bagaimana komunikasinya dan Reffi tetap berjalan selama Reffi mengabdi menjadi Pengajar Muda. Sebelum berangkat ke penempatan, Reffi membelikan gawai, dan mengajari Ibu Kusnah bagaimana menggunakan WhatsApp dan video call.

“Kata Reffi, kalau kangen bisa video call, jadi saya bisa melihatnya, juga kondisi yang ditempatinya di penempatan. Dia juga bilang, nggak usah sedih dan khawatir.” Kata Ibu Kusnah.
 

“Kami senang dia berubah.”

Satu tahun menjadi Pengajar Muda bukanlah waktu yang singkat untuk mencerna tiap keping pembelajaran dan pengalaman baru yang didapatkan tiap harinya di penempatan. Bersama berjalannya waktu, tumbuh pola pikir dan perspektif baru, dibersamai dengan pengetahuan yang semakin matang tentang Indonesia dan segala problematika pendidikan di dalamnya.

Mengenang masa-masa ketika Abdur belum menjadi PM, Pak Agus mulanya merasa khawatir karena putranya belum pernah pergi ke tempat jauh. Ketika kegiatan ini berlangsung, ia melihat bagaimana Abdur sudah dapat beradaptasi. Pak Agus dapat merasakan berbagai dampak positif yang menurutnya dapat diraih Abdur ketika ia menjadi PM. 

“Tadinya dia kuper--kurang pergaulan, di kamar terus. Ternyata, sekarang dia sudah bisa berkomunikasi dengan orang lain. Semoga hal ini terus berkembang, dan menjadi hal positif sepanjang hidupnya,” ungkap Pak Agus sambil tertawa.

Bagi Ibu Kusnah, seusai menjadi Pengajar Muda, putrinya menjadi jauh lebih mandiri, percaya diri, dan berani untuk mengambil resiko. Ia juga melihat bagaimana Reffi banyak mendapat teman dan pengalaman baru--suatu hal yang mungkin tidak akan didapatkan jika ia tidak menjadi PM.

“Ada banyak hal baik yang terjadi, juga banyak perubahan pada sikapnya yang saya juga senang.”  Pungkas Ibu Kusnah, mengakhiri ceritanya dengan penuh rasa bangga.
 

Rantai yang tak putus

Perjalanan para Pengajar Muda tidak dapat lepas dari peran-peran di sekitarnya, terutama orang tua. Bagai rantai yang tak putus, peran orang tua dalam mendukung anak mereka menjadi Pengajar Muda adalah peran tak terlihat dalam memastikan roda pendidikan tetap berputar. 

Perjalanan jauh dan terjal untuk memutar roda pendidikan tidak hanya tentang bagaimana kita berjalan, berlari, maupun berlayar dengan rakit dan kendaraan lain yang kita miliki. Melainkan juga untaian do’a dan harapan-harapan baik dari orang-orang di sekeliling kita. 

Tiap orang memiliki peran masing-masing, dan ketika belum giliran kita untuk berlayar, apa yang dapat kita berikan untuk ikut merajut rantai pendidikan Indonesia agar tetap berjalan dan tak terputus, hingga entah kapan? 
 


***

Ditulis oleh

Redaksi Pojok Refleksi Indonesia Mengajar


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua