info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Pesan yang Hampir Tenggelam dan Perjalanan yang (Masih) Panjang

22 Mei 2022

“Excellentie! Ordonnantie jang disadjikan amat tergesa-gesa dan didjalankan dengan tjara paksaan …” tulis Ki Hajar melalui telegram yang ia kirimkan kepada Gubernur Jenderal De Jonge, dalam usahanya menentang ordonansi (peraturan pemerintah) yang menekan laju sekolah-sekolah pribumi (sekolah liar).

“Bolehlah saja memperingatkan, bahwa walaoepoen machloek jang ta’berdaja mempoenjai rasa asali berwadjib menangkis bahaja oentoek mendjaga diri dan demikianlah djoega boleh djadi kami karena terpaksa akan mengadakan perlawanan sekoeat-koeatnja dan selama-lamanja…” Telegram ini kemudian dimuat majalah Timboel, 6 November 1932 (dan dipublikasikan kembali oleh  Historia). Melalui pesan ini, Ki Hajar, mewakili Taman Siswa secara tegas mengancam akan melakukan lijdelijk verzet (pembangkangan) apabila ordonansi tidak dicabut.

 

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ialah hari nasional yang ditetapkan pemerintah untuk memperingati kelahiran Ki Hajar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan Indonesia dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa, pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya. Perayaan digelar, upacara dilaksanakan, berbagai lomba dibuka, semuanya agar kita tidak lupa bahwa akses pendidikan yang kita miliki saat ini tidak mungkin hadir tanpa perjuangan panjang.

Terkadang, keriuhan di masa kini dan kecemasan akan masa depan membuat pesan-pesan terabaikan dan hampir tenggelam. Namun, pengingat akan perjalanan ada di mana-mana, hanya perlu kerendahan hati dan keberanian untuk memandang lebih dalam untuk menangkapnya. Salah satunya datang dari semangat anak-anak SDN 17 Wonosari untuk terus hadir di kelas di tengah keterbatasan yang dimiliki.

Cerita ini datang dari Zafira Zahrah, akrab disapa Zafi, seorang Pengajar Muda di Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Di penempatan Zafi, kelas 6 hanya terdiri dari enam siswa, di mana tiga berasal dari Dusun Pos Pasar tempat SD 17 Wonosari berada, dan tiga siswa lainnya dari dusun sebelah (Dusun Mutiara), yang berjarak sekitar 5 km dari sekolah dengan jalanan “tidak biasa” yang mereka lalui untuk ke sekolah tiap harinya.
 

Ikut ujian atau “batanam”?

Setiap hari Sabtu, hanya sedikit anak-anak Zafi yang masuk ke sekolah. Hari itu bertepatan dengan “hari pasar”, di mana anak-anak membantu orang tua mereka di pasar. Bahkan, di hari Sabtu kemarin, hanya satu orang yang masuk sekolah, tanpa satupun dari kelas 6. Padahal, mereka sudah harus melaksanakan ujian sekolah di minggu depannya. Menanggapi hal ini, Pak Made selaku Wali kelas 6 mengajak Zafi untuk datang ke rumah anak-anak kelas 6 dan menginformasikan adanya ujian yang dimulai hari Selasa. 

 

Hari pertama ujian pun tiba. Zafi menanti anak-anak, khususnya kelas 6, yang dapat hadir mengikuti ujian. Namun, terlihat hanya ada empat siswa yang masuk. Dua lainnya yang berasal dari Dusun Mutiara tidak datang. 

Kata temannya, mereka sedang ada “batanam”, sehingga tidak ikut ujian di hari itu. “Batanam” adalah kegiatan membantu di kebun, seperti memanem dan bertanam.

Kejadian ini membuat Zafi bertanya kepada Pak Made, "bagaimana ini pak?"

"Biar nanti kasih susulan saja. Ati olo dorang." Jawabnya.

Adanya kegiatan batanam yang memecah fokus anak-anak juga membuat Zafi merasa penasaran. Ia bertanya ke ibu, “kenapa anak-anak lebih memprioritaskan batanam daripada ujian?”

Kata ibu, karena anak-anak dikasih upah dari batanam, jumlahnya lumayan, bisa dapat minimal 50.000 rupiah dalam sehari.

Guru-guru lain turut memberikan saran ke Zifa untuk mengantarkan soal-soal ujian ke rumah dua orang yang tidak masuk itu. Namun akhirnya diurungkan, karena khawatir anak-anak lain ikut tidak masuk juga ketika ujian.

Akhirnya, Zafi berpesan ke satu orang dari Dusun Mutiara untuk memberi tahu temannya bahwa mereka harus datang ujian besok. “Sekalian bawa bekal, ya.” Tambahnya. Rencana Zafi, ia ingin memberikan pengayaan atau kelas tambahan ke anak-anak didiknya.

Esoknya, di hari ujian yang kedua, Zafi menjadi lega melihat anak-anak di kelas 6 hadir lengkap untuk mengerjakan ujian. 

Ujian juga berjalan lancar, walaupun banyak dari anak-anak yang tidak paham arti dari beberapa kata di soal. Khususnya di ujian Seni Budaya dan Prakarya (SBdP), yang bahkan bagi Zafi terdiri atas soal-soal yang susah di jawab. Baginya yang menempuh pendidikan di bidang Sains dan Teknologi (SAINTEK), ujian kesenian ini cukup menguras otak, dengan istilah-istilah asing yang tidak dipahami, baik olehnya, maupun para siswanya.

Untuk pertama kalinya, Zafi membeli voucher internet untuk memudahkan membantu para siswa. Biasanya, ia bisa bertahan tanpa internet di sekolah, karena tidak ada sinyal. Namun, hari itu sinyal WiFi bisa mencapai ke kelas 6, meskipun kadang hilang.

"Ibu, apa itu alat musik ritmis?" Seorang anak bertanya di tengah ujian,

"Sabantar, Ibu coba cari di google dulu." Jawab Zafi yang baru pertama kali mendengar istilah tersebut.

"Ibu, apa itu pola lantai?" Anak lainnya bertanya.

“Ha? Apa itu ya?” Ucap Zafi dalam hati.

"Ibu, not nada itu seperti apa?"

Padahal di soal hanya dituliskan angka not nada, tetapi anak-anak diminta untuk menggambarkan nadanya. Soal yang seperti ini juga sangat susah bagi Zafi.

Menurutnya, adalah tantangan besar mendapati bagaimana pendidikan kembali (dipaksa) normal lagi, setelah tahun lalu “pincang” karena pandemi. Tidak memungkinkannya belajar jarak jauh menjadikan banyak dari sekolah-sekolah di pelosok yang vakum setahun kemarin.
 

Dari mana perjalanan ini bermula?

Dilansir dari Historia, dalam masa penjajahannya, Belanda hanya membuka akses pendidikan bagi anak-anak priyayi pribumi. Pendidikan yang diskriminatif ini membuat Ki Hajar merasa gelisah dan memutuskan untuk mendirikan sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Ia ingin memperluas akses pendidikan bagi semua kalangan. Taman Siswa seolah memberi terang pada masa-masa gelap pasca Perang Dunia I dan depresi ekonomi yang membuat biaya pendidikan tinggi dan tidak terjangkau bagi mayoritas masyarakat Hindia.

Namun, ketika itu semua sekolah swasta (partikelir), termasuk Taman Siswa, tidak diakui keberadaannya oleh lembaga resmi pemerintah. Tak berhenti di situ, perjalanan  “sekolah liar”--demikian julukan umum yang diberikan pada lembaga pendidikan ini, liar masih harus menghadapi ordonansi, suatu peraturan pemerintah Belanda yang mengatur berjalannya pendidikan dan mengancam untuk mencabut izin apabila ada sekolah dan guru yang melanggar ketentuan-ketentuan di dalamnya. Dalam konflik ini, Taman Siswa membangkang dan terus berkembang pesat. Tercatat, sekolah liar menerima ratusan ribu pendaftaran murid baru di tiap tahunnya sejak 1936. Bagai jamur, mereka bergerak dan terus melakukan ekspansi, hingga berjumlah ribuan dan mencapai luar Pulau Jawa. Bagai jamur, mereka tidak butuh cahaya untuk bertumbuh.


Masih tentang Hardiknas: ke mana kita akan bermuara?

Kisah anak-anak di sekolah Zafi, mereka yang perlu usaha lebih untuk hadir di kelas tiap harinya, ialah pengingat kita bahwa perjuangan panjang itu belum selesai. Dalam peringatan Hardiknas tiap tahunnya, yang hampir tenggelam dalam riuhnya perayaan, ada pesan yang perlu kita dengar: bahwa pekerjaan rumah kita belum selesai. Ini adalah pekerjaan rumah kami, kamu, dan kita semua. Dan dalam perjalanan yang belum tampak ujungnya ini, maukah kamu membersamai kami? Dalam pekerjaan rumah yang mungkin tidak akan selesai ini, maukah kamu bekerja lebih lama lagi?
 

***

Ditulis oleh

Redaksi Pojok Refleksi Indonesia Mengajar



 


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua