Perempuan Penggerak dalam Gelap dan Terang Pendidikan Indonesia

23 April 2022

Sekitar 143 tahun yang lalu, ketika Indonesia masih berada dalam masa kolonial Belanda, Kartini lahir pada 21 April di Kecamatan Jepara, Jawa Tengah. Sebagai bagian dari keluarga aristokrat di Jawa, Kartini mendapatkan kesempatan untuk mencicipi sekolah dasar berbahasa Belanda--suatu hal yang tidak dialami oleh kebanyakan anak-anak seusianya. Namun, tuntutan peran dan posisinya sebagai perempuan kemudian membenturkan Kartini pada dilema. Meski jiwanya masih ingin bebas untuk belajar dan mendapatkan pendidikan, ia harus dipingit dan berhenti sekolah di usianya yang masih belia: dua belas tahun.

Kartini menulis surat kepada sahabat penanya di Belanda tentang bagaimana ia ingin memiliki kebebasan untuk belajar dan menerima pendidikan, dan tidak hanya dibesarkan dan dipersiapkan untuk perjodohan. Surat-surat yang dipandang sebagai awal dari gerakan emansipasi perempuan di Indonesia ini juga mendapatkan perhatian akan pentingnya pendidikan bagi semua kalangan. Bahwa mendidik perempuan, artinya juga mendidik bangsa. 

Kini, para perempuan tidak lagi dihalangi untuk melanjutkan pendidikan mereka, tidak lagi dipingit pada usia belasan tahun, dan tidak lagi dilarang untuk mendapat akses pendidikan yang setara dengan laki-laki. Bahkan, banyak pula perempuan yang meneruskan perjuangan dengan menjadi penggerak di bidang pendidikan, membukakan pintu bagi perempuan lainnya untuk meraih akses ilmu pengetahuan yang jauh lebih setara. Namun, apakah pekerjaan rumah kita telah selesai?
 

Perempuan-perempuan penuh asa

“Perempuan penuh asa”, ialah bagaimana Arif --Pengajar Muda angkatan XXI Kabupaten Maybrat-- memperkenalkan Yosina Howay, seorang kepala sekolah SD YPK Arus tempatnya mengajar, sekaligus juga mama piara Arif di desa. 

Dengan tangan terbuka, Mama menerima Arif sebagai bagian dari anggota keluarganya. Bahkan, masih meninggalkan kesan hangat bagi Arif ketika Mama menyelipkan namanya di antara semua nama keluarga dalam doa tutup dan buka tahun.

Kini, tujuh bulan telah terlewati sejak pertama kali Arif menjadi bagian dari keluarga Mama, masyarakat sekolah, juga masyarakat Kampung Arus. Baginya, waktu ini telah cukup untuk menjadi saksi bagaimana Mama telah mengupayakan segala hal untuk kemajuan anak-anak dan sekolah. 

Mulai dari masa persiapan pelaksanaan asesmen nasional, Arif melihat semangat dan kegigihan Mama untuk terus memperjuangkan agar anak muridnya bisa ikut serta dalam kegiatan tersebut. Mama menginstruksikan Arif bersama ibu guru kelas 5 dan kelas 3 untuk memberi les cara mengoperasikan komputer kepada anak-anak. Tak lupa, Mama juga berusaha terus mengikuti perkembangan informasi di pusat. Ia menghubungi beberapa pihak untuk dimintai informasi. Ketika Mama kehabisan pulsa, Arif tak jarang juga dimintainya bantuan agar tak ada informasi penting yang terlewat.


 

Ketika itu adalah tahun 1998 saat Dewi Isrofiah --kini Kepala Sekolah SMP S Al Anshar Desa Lae Balno-- pertama kali menginjakkan kakinya di Aceh Singkil untuk ikut bersama suaminya. Seperti umumnya seseorang yang lahir dan tumbuh di Pulau Jawa, Ibu Dewi segera mengenali ketimpangan dalam fasilitas dan kesempatan yang didapatkan oleh masyarakat Aceh Singkil, yang jauh berbeda dibandingkan mereka yang tinggal di Pulau Jawa.

Ibu Dewi kemudian menjadi guru di tahun berikutnya. Lalu bersama suaminya, ia menyusun program yayasan Al Anshor setelah berkaca akan banyaknya rintisan pondok pesantren di Pulau Jawa yang berhasil. Yayasan ini menjadi buah dari niat baik Ibu Dewi bersama suami untuk dapat bergerak di semua bidang, yakni sosial, ekonomi, dakwah, dan pendidikan.

“Dulu, susah sekali bagi guru-guru di Kabupaten Aceh Singkil untuk mendapatkan fasilitas peningkatan kompetensi, seperti pelatihan, diklat, dan lain-lain. Ketika ada kesempatan untuk kembali mengaktifkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), saya memutuskan untuk mengambil kesempatan itu.” Kenang Ibu Dewi yang kini juga menjabat sebagai bendahara di PGRI Aceh Singkil. “Melalui PGRI, kami bisa membuat pelatihan, memfasilitasi guru, membuat kegiatan mandiri, atau [melakukan] kolaborasi seperti pada Ruang Berbagi Ilmu (RuBi).” Lanjutnya.


 

Perjalanan dalam menerbitkan terang

“Habis gelap, terbitlah terang” menjadi judul yang mewakili segala harapan --juga keresahan-- Kartini yang ditulisnya sebagai kumpulan surat untuk para sahabat penanya, yang kemudian diterbitkan pada tahun 1911. 

Mewujudkan terang bagi pendidikan Indonesia adalah usaha kolektif para penggerak dalam mendedikasikan waktu, tenaga, juga pikiran mereka untuk memberi nyala, terutama pada sudut-sudut terdepan dan terluar wilayah Indonesia yang saat ini masih redup dan belum banyak terjangkau oleh hingar-bingar kemajuan pendidikan di perkotaan.

Sejak SD YPK Arus mendaftar untuk ikut serta dalam program Sekolah Penggerak, Mama menjadi sosok yang paling gigih untuk mengusahakan yang terbaik bagi sekolah yang dipimpinnya. Sejak proses awal pendaftaran, dengan semangat ia mengikuti tahapan-tahapan pendaftaran. Mulai dari mengikuti kegiatan coaching clinic sekolah penggerak, hingga berkomunikasi dengan bapak pengawas, operator sekolah, dan ibu-ibu guru. Dalam proses pengisian esai, Mama juga meminta bantuan ibu-ibu guru untuk turut “iuran ide” sesuai kondisi sekolah terkini. 

Di bulan Maret, kabar baik akhirnya diterima oleh Mama, yakni SD YPK Arus dinyatakan lulus seleksi tahap pertama. Dengan semangatnya yang semakin berapi-api, Mama kemudian menyiapkan segala berkas pendukung dan melakukan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mendukung kesiapan diri dan materi untuk menyambut tahapan seleksi selanjutnya, yakni praktik simulasi mengajar dan wawancara.


 

“Kalau di Lentera Aceh Singkil, saya melihat ini bisa jadi peluang bagi anak-anak muda yang kurang tertarik di pendidikan. Anak-anak muda di sini, rata-rata kepingin jadi pengusaha yang langsung sukses, atau mereka masih minim informasi tentang beasiswa, tentang jurusan-jurusan selain yang mentereng, juga lapangan pekerjaan yang tidak itu-itu melulu. Karena ini saya tertarik untuk bergabung dengan lentera Aceh Singkil.” Kata Ibu Dewi yang kini juga berperan sebagai pembina dalam Komunitas Lentera Aceh Singkil.

Banyak kisah berkesan yang didapat Ibu Dewi semasa mendampingi perjalanan Lentera Aceh Singkil, salah satunya adalah ketika melihat anak-anak muda yang ia bina menjadi berkembang dan lebih percaya diri. 

“Contohnya [adalah] Jibly, dia punya potensi yang besar lewat bermusik. Namun saya melihat belum ada kepercayaan diri untuk tampil di depan forum dan berbicara tentang prestasinya. Namun setelah di Lentera, ketemu banyak orang, saya melihat kepercayaan dirinya mulai muncul. Saat berbicara di depan, dia jadi lebih percaya diri bahkan sekarang dia berani menularkan kemampuannya, juga terpilih menjadi ketua OSIS.” Kisahnya. Lingkungan yang kompetitif sekaligus suportif di Lentera Aceh Singkil membuat Ibu Dewi yakin bahwa anak-anak Aceh Singkil ini memiliki potensi, dan bisa dikembangkan.


 

Pendidikan dan perubahan

Ketika Arif berada di kamar, seringkali ia mendengar Mama tengah membaca materi dengan suara agak keras. Bahkan, Arif sampai dapat membedakan berbagai lokasi di mana Mama belajar. Di dalam kamar, di teras rumah sambil menjaga adek piara, dan di ruang tamu. Pernah juga ketika Arif pulang sekolah agak siang, ia mendapati Mama sedang memasak sambil belajar materi di dapur. 

Tahap seleksi kedua dilalui Mama dengan penuh perjuangan. Mulai dari berangkat pagi--3,5 jam sebelum seleksi dimulai, berlatih saat di lokasi tes, dan tak lupa mengawali setiap kegiatan dengan berdoa. Hingga di akhir seleksi, asesor yang hanya ketemu Mama secara virtual dalam waktu 1,5 jam juga turut menyampaikan apresiasi atas semangat Mama dalam mengikuti tiap prosesnya.

Di sekolah, Mama juga rajin hadir dan senantiasa memberi kabar dan alasan atas ketidakhadirannya. Seringkali, Mama juga melakukan absensi siswa yang jarang masuk sekolah dan memberi nasihat pada anak-anak untuk tidak ikut mama-bapak ketika berpergian agar tidak tertinggal sekolahnya. Dengan semangat yang dimiliki Mama dalam mengupayakan segala hal baik untuk pendidikan anak-anak di SD YPK Arus, Arif yakin sosok Mama Yosina akan mampu menumbuhkan hal baik yang lebih besar ke depannya untuk pendidikan di Kampung Arus, serta Kabupaten Maybrat.


 

Gelap-terang pendidikan Indonesia: sebuah pekerjaan rumah kita

Kini, pendidikan memang relatif lebih baik dari sebelumnya, dengan peluang dan kesempatan yang juga lebih luas bagi seluruh kalangan. Namun, bukan berarti pekerjaan telah selesai. Di akhir ceritanya, Ibu Dewi menuturkan bahwa pada akhirnya, pendidikan mampu menggabungkan semua kalangan, mulai anak muda, guru, kepala sekolah, pemerintah, hingga pengusaha, semua peran bisa saling mendukung dan saling berbagi pengetahuan. 

Seperti halnya kisah Mama Yosina dan Ibu Dewi, dalam momen ini, tidak ada salahnya untuk mengingat kembali perempuan-perempuan hebat yang membersamai kita hingga sampai di titik ini, termasuk juga mereka yang mendedikasikan diri untuk pendidikan negeri. Sudah sejauh mana kita berterima kasih akan kehadiran mereka? Sudahkah kita memberi peran dalam menuntaskan pekerjaan rumah kita, untuk bersama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa?


 

***

Ditulis oleh

Redaksi Pojok Refleksi Indonesia Mengajar


Konten Lainnya Lainnya

Lihat Semua