Di Tengah Aroma Lumpur

16 Februari 2017

Berbekal semangat pasca FKPD Tanimbar Maluku di awal Desember 2016 (baca tentang FKPD), saya memastikan diri bergabung dalam wahana bebas kepentingan, bersama teman teman menyiapkan satu hari sederhana, bernama Kelas Inspirasi.

Bermula dari hati yang sama sama bergetar, merangkai cadangan nyawa agar tunas tidak layu. Kumpulan manusia itu bertemu, menenun impian menyiapkan waktu untuk mereka penyambung masa depan.

Bertemu orang orang nyeleneh tapi inspiratif, kurang kerjaan tapi peduli, pemuda pemuda nan kaya wawasan. Perbincangan ringan di Istana ASI Mbojo membawa kami menemukan ide yang sama, menyatukan semangat agar kompor menyala besar.

Harus diakui bahwa sepenjang persiapannya, banjir bandang Bima melumpuhkan segalanya, mendung tak ada sinar, kubangan lumpur yang masih meleleh, tentang Kelas Inspirasi hilang di masing - masing kepala, yang tersisa hanya pesimis. Tapi dua minggu pasca banjir ada upaya kembali melengkapi optimisme, dengan memaksimalkan koordinasi di tengah aroma lumpur yang masih juga kami bersihkan, hanya untuk satu hari pemantik masa depan bagi anak-anak di atas bukit yang kurang tersentuh dan juga bagi anak-anak yang terkena dampak banjir bandang.

Saya selalu terkesima ketika melihat bagaimana semangat gotong royong itu terjadi, hari kesebelas di bulan Februari, Kelas Inspirasi itu digelar. Tidak ada variabel pasti yang mempengaruhi semangat ini. Semua Mereka hadir penuh sadar dengan segala kondisi yang ada, tanpa paksaaan dan tuntutan hanya arahan fasilitator seperti perintah tanpa penolakan. Semua ini luar biasa.

Rizka dari Jakarta seorang staf ahli Badan Legislasi DPR RI, Nurjannah dari Jakarta alumnus doctor Jerman istri seorang ahli pengebor minyak di Prancis, Bang Joe dari Ransel Usang Surabaya, Arin Trisna dokter gigi Bali, Bang Fredi fotografer Sumbawa, Dokter Tuty Bekasi, Om Edward fotografer Dompu, begitupun para relawan lainnya. Mereka rela cuti sehari dari segala kesibukan untuk datang ke Bima mengikuti rangkaian kegiatan Kelas Inspirasi Bima 3, hadir membagi cerita membuka cakrawala anak - anak Bima tentang bermimpi dan bercita – cita.

Tak bolehkah kita percaya bahwa tak ada mimpi yang utopis ?

Sudah Ia tetapkan bahwa kita ini hanya rumput lemah, bukan pohon tinggi menjulang menantang langit, tapi tak bolehkah kita punya mimpi? Seperti mereka yang punya senyum tulus ketika kertas warna- warni itu tertempel, warna yang mengartikan bahwa itu adalah optimisme, tentang bibit sebuah pohon yang nantinya akan tegak berdiri meski ia tahu bahwa angin itu ada, tumbang itu pasti. Tak bolehkah kita percaya bahwa tangan-Nya selalu ada menjemput segala pinta seberapa pun banyaknya?

Salut untuk seluruh panitia yang tetap dan terus dalam satu semangat dan ide mulai persiapan hingga terselesaikannya agenda ini, masing masing bergerak sesuai bagiannya dan semua itu masih dalam ritme yang asyik. Angkat topi buat mereka yang sudah mampu mengumpulkan manusia sebanyak ini.

Untuk mereka yang sudah tergerak hatinya, kalian telah datang melengkapi optimisme kami pasca bencana. Hadirnya kalian mengubah pandangan kami, pandangan para bapak ibu guru di sekolah bahwa di luar sana masih banyak yang tergerak dan ingin berbuat demi pendidikan Indonesia. Terima kasih atas segala iurannya.

Terahir, terima kasih tulus untuk mereka yang percaya bahwa tidak semua hal harus diukur dengan materi. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya. Di cerita tentang cahaya berikutnya, bersama lensa- lensa fokus itu, bersama jiwa- jiwa itu, semoga makin baik. Aamiin.

 

*Tulisan dari Aba Min, Penggerak Pendidikan Kabupaten Bima.


Kabar Lainnya

Lihat Semua