Kusebut Ia Tanah 1001 Keluarga
Zakiatul Dina Fajriah 20 Januari 2025
“Selamat datang di Bumi Borneo Tanah Betuah” kalimat pertama yang aku baca ketika menginjaki kaki di Kayong Utara, “Tanah Betuah” selalu menjadi kalimat ajaib yang terus terngiang-ngiang dikepala, sebetuah apa tanah ini sampai menjadi slogan kabupaten ini, betuah dalam kata lain penuh berkat begitulah simbolnya.
Hari demi hari kulewati dengan penuh makna disetiap waktunya dengan masyarakat desaku. Ya! Desa Padu Banjar namanya, sesuai namanya desa ini adalah sebuah desa yang mayoritasnya Melayu Banjar yang mana nenek monyang mereka dahulu merantau dan akhirnya mereka memustuskan membuka perkampungan disana. Budaya gotong royong dan kepercayaan mistis masih sangat kuat didesa ini. Masyarakat yang ramah dan welcome terhadap para pendatang menambah kesan baik bagi para pendatang kedesa ini. Tak hanya Desa Padu Banjar, beberapa desa yang aku kunjungi juga seperti itu mungkin karna begitu adanya karakter orang Melayu.
Didesa ini aku punya keluarga asuh yang lengkap mulai dari bapak, ibuk, adek, kakak, nenek, dan atok. Aku sangat disambut dengan hangat oleh keluarga asuhku bahkan keluarga besar orangtua asuhku ini juga menganggapku sebagai bahagian dari mereka, hal ini dapat kurasakan ketika setiap moment mereka memastikan aku ikut dalam kegiatan keluarga, bahkan beberapa acara keluarga mereka malah menyesuaikan dengan jadwal kegiatanku agar aku tetap bisa hadir disetiap acara.
Bukan hanya dikeluarga asuhku saja, rasa kekeluargaan ini juga dapat aku rasakan dari masyarakat lainnya yang sudah sangat akrab denganku, bahkan aku mempunyai lebih dari 5 keluarga angkat di desa Padu Banjar. Tak hanya di Padu Banjar akupun sangat mudah akrab dengan masyarakat lainnya sehingga selama di Kayong Utara kemanapun aku pergi aku pasti punya ibu & bapak angkat baru disana. Jika yang lainnya menyebut Steak Holder Kehidupan aku menyebutnya keluarga baru. Dikarnakan hal ini bapak ibuk asuhku tak pernah risau kemanpun aku pergi karna mereka percaya “kia pasti punya keluarga disana”. Tak heran jika aku membuat story tentang kebaikan-kebaikan mereka aku selalu menyebutnya “bapak ibuk kesekianku” hal ini karna aku tak sanggup menghitung sudah berapa banyak bapak ibuk yang kupunya di Kayong Utara.
“dimanapun kalian berada ku kirimkan terimakasih untuk warna dalam hidupku dan banyak kenangan indah.. kau melukis aku” lirik ini special kupersembahkan untuk orang-orang baik (keluarga baru) yang kutemui selama pengabdian. Sudah empat bulan dari kepulanganku dari penugasan tetapi dering telfon dari orang-orang disana masih saja mewarnai hari-hariku di Aceh, bahkan beberapa mereka masih mengirimkanku paket makanan. Bayangkan mereka mengirimkan paket dari Kayong ke Aceh yang mana hitungan perkilonya 70.000, apakah aku masih bisa menyebut mereka bukan keluarga???
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda