Aku Tak Banyak Bicara Namun Aku Jenius Matematika!

Zakiatul Dina Fajriah 20 Januari 2025

Dady begitulah nama akrab anak itu dipanggil, anak yang paling diam dikelas empat bahkan aku tak pernah tau bagaimana suaranya Dady karna setiap kali aku mengajak dady berbicara dia hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala. Bukan hanya diam Dady juga merupakan salah dua siswa yang bukan beragama Islam dikelasnya.

Banyak temannya mengeluh dengan sikap Dady yang tak mau ditegur seperti membuka sepatu ketika masuk kelas, menulis buku catatan sebelum jam pelajaran habis dan lainnya. Namun uniknya Dady akan melakukan hal-hal itu ketika tidak ada paksaan dari temannya, tanpa disadari Dady diam-diam akan melepas sepatunya ketika duduk dimejanya, Dady juga akan menulis catatan materi ketika teman-teman yang lain sudah selesai menulis bahkan dia meminjamkan buku TEMA miliknya untuk teman sebangkunya agar temannya bisa menulis terlebih dahulu, dan setiap harinya Dady akan menjadi siswa yang paling terakhir meninggalkan kelas lalu mengunci kelasnya agar tidak dimasuki ayam, menarik bukan? Sosok pendiam dikelas ini semakin aku amati semakin banyak keunikan dari seorang Dady dimana guru kelasnya menjulukinya “sipemegang kunci”.

Saya setuju dengan orangtuanya yang selalu membantah ketika orang lain bilang Dady adalah anak yang berkebutuhan khusus, namun aku lebih memilih kata “Dady anak special” karna nyatanya Dady memang anak special yang diciptakan sang pencipta dan hadir ditengah anak-anak special lainnya.

Etss jangan kaget ketika ada PR Dady adalah anak yang paling lengkap mengerjakan tugas sekolahnya bahkan tugas yang belum disuruh buat oleh gurupun kerap ia selesaikan dahulu dirumah. Beberapa orang akan suuzon atas prilaku ini karna yaa bias jadi PR itu dikerjaakan oleh kakak ataupun orangtuanya, uniknya Dady semua pekerjaan rumah itu ia selesaikan sendiri hanya saja dia butuh bimbingan dalam mengerjakannya, pun catatan materi kalau diperiksa catatan Dady lebih lengkap dan rapi daripada teman lainnya.

Pada suatu waktu guru kelasnya berhalangan hadir dan aku yang menggantikan mengajar dikelas empat kebetulan hari itu mapelnya Matematika, agar anak-anak tidak bosan akhirnya aku membuat game menghitung cepat, namun siapa sangka ketika pertanyaan pertama kali aku lontarkan “7x7 berape hasilnye?” Dady adalah anak yang pertama dan satu-satunya anak yang angkat tangan, seketika darah bergemuruh dibadanku, awalnya tak percaya ku yakinkan kembali “7x7 berape?” tapi masih Dady yang hanya angkat tangan, anak yang tak pernah bersuara dikelas ini mengangkat tangannya tak hanya aku teman sekelasnyapun seakan tak percaya, kudekati mejanya sembari bertanya “berape 7x7 Dady?” “49 buk” tanpa sadar aku memberinya tepuk tangan yang gemuruh spontan diikuti anak-anak dikelas empat juga, suara-suara bisikan takjub teman-teman kelasnya mulai mengisi heningnya kelas pada saat itu. Soalnya kedua kembali ku lontarkan “3x4 berap?e? Siape tang tau?” kali ini Tasya anak rangkingan dikelas angkat tangan “15 buk” begitu jawabnya ketika aku mau bilang salah Dady menjawab “3x4 kan 12 buk bukan 15 ak ye kan buk? Atau Dady ke yang salah buk?” “benar Dady 3x4 hasilnye 12” “coba maju kedepan tulis dipapan Dady” pinta ku, tapi Dady hanya diam dimejanya, ada seorang anak berbisik padaku “buk Dady adak suah mau kedepan ak” ku dekati mejanya sambil meyakinkan dia bahwa jawabannya benar, akhirnya Dady memberanikan diri untuk maju menulis dipapan tulis namun yang Dady tulis adalah “3x4 = 21” kemudian aku betulkan cara penulisannya, dan sekarang aku faham bahwa Dady lemah dalam menulis namun tidak dengan hitungan.

Jauh dari sebelum kejadian kelas matematika, aku memang rutin menyapa Dady disekolah bahkan hamper setiap hari mengecek apakah Dady mau membuka sepatunya atau tidak dan mengajak dia membiasakan kutip sampah sebelum masuk kelas seperti anak lainnya, dengan kedekatan ini Dady mulai mau bicara denganku dibeberapa moment. Menyapa Dady tak hanay kulakukan disekolah bahkan setiap lewat depan rumahnya aku selalu menyapa “Dady…” sambil melambaikan tanganku dari atas motor

Hal yang membuatku haru terjadi 3 bulan sebelum penarikanku dari Desa Padu Banjar, sepulangku dari Kabupaten setelah seminggu meninggalkan desa karna ada kegiatan, sekitar berjarak 100 Meter dari rumah Dady seperti biasa aku mengendarai motor Revo merahku, Dady yang sedang bermain didepan rumahnya dengan senyuman manisnya menunjukkan tangannya kearahku sambil berkata dengan agak lantang (karna aku bisa mendengarnya) “Itu motor buk Kia warna merah” dan dengan semangat dia melambaikan tangannya “buk Kiaaa” teriaknya, dengan senangnya kubalas lambaian anak itu tanpa terasa air mataku membasahi pipi, sejak hari itu Dady selalu menyapaku ketika melewati depan rumahnya.

Anak special itu mengenalku dari jarak jauh dan bahkan mulai berani menyapaku dengan lantang tak lupa dengan senyuman manis dan lambaian tangannya ketika ku melewati rumahnya. Tak bisa kupungkiri masuk ke persimpangan Desa Padu Banjar gigiku harus siap kering untuk menebarkan senyuman manis serta sapaan ramah untuk warga-warga yang kujumpai sepanjang jalan desa menuju rumah orangtua asuhku.  


Cerita Lainnya

Lihat Semua