Sekolah di Ujung Negeri

ZainulFadilah 31 Januari 2016

“dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau….”. Itulah petikan sebuah lagu nasional yang pastinya sering terdengar. Desa Kungulding Distrik Okaom merupakan daerah di perut Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Hidup disini serba terbatas, mulai dari akses listrik, jaringan telepon, hingga terbatas hangatnya Matahari. Sayup-sayup gelombang RRI 90.3 terkadang masih bisa menjadi penghibur sekaligus pembuka kebutaan dari informasi dunia luar. Seperti desa pada masa Orde Baru pada umumnya,  desa ini juga memiliki satu sekolah dasar dengan nama “SD Inpres Aboding”. Terbuat dari kayu semi permanen dengan berjajar lima kelas dan satu kantor, SD ini berdiri angkuh menantang jurang dan angin lembah. Setiap kelas mempunyai meja dengan bangku panjang yang seringkali jumlahnya melebihi dari jumlah siswanya. Jika melempar mata sekilas maka SD ini cukup layak untuk tempat terjadinya proses belajar-mengajar formal. Semua kelas kecuali kelas 1&2 menggunakan white board. Kelas enam juga merangkap fungsional menjadi perpustakaan.

Setiap orang yang bermukim di Pulau Jawa jika melihat sekolah ini mayoritas akan klaim “tertinggal”. Namun jika benar-benar disini, maka yang terlontar adalah kata “ditinggalkan”. Sekitar satu tahun lebih sekolah ini diacuhkan oleh kepala sekolah beserta guru-gurunya. Hampir tidak ada kegiatan belajar-mengajar setiap harinya sebelum Indonesia Mengajar datang. Namun berdasarkan info warga setempat, puluhan anak selalu berangkat ke sekolah walau mereka hanya akan menjumpai ruang-ruang kosong tanpa guru. Mereka semangat untuk berangkat kesekolah walau hanya beralas kaki, bernoken (task khas papua), dan menggunakan seragam yang lusuh bahkan sebagian hanya baju seadanya.

Setiap anak dijamin haknya oleh Negara memperoleh pendidikan yang layak. Senyum tulus mereka yang menghiasi bangku-bangku sekolah dasar setiap pagi di SD Inpres Aboding kelak menjadi tulang punggung bangsa. Jika pun kita tunjuk satu titik di hamparan bumi pertiwi, pastilah kita masih temukan sejumlah anak dengan asa luar biasa. Petuah mereka suatu kala bisa menjadi setajam diplomat ulung Sutan Syarir, orator sejati Soekarno, otak mereka bisa segenius Habbie, dan suara mereka mungkin kelak semerdu Bang Rhoma. Namun tentunya semua tak akan terjadi selama janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa belum terlunasi. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah, ini ada disemua pundak orang terdidik di penjuru Negeri Pancasila. Jika kamu peduli, janganlah sekedar memaki kegelapan itu sendiri, mulailah berpikir dan buat penerang. Semoga dengan semakin banyak tangan yang bekerja dalam memajukan pendidikan Indonesia, angka buta aksara dan huruf seratus persen tidak akan terdengar lagi. Aaamiiin.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua