Dua Hari Satu Pekan Satu Tahun

Arumdari Nurgianti 30 Januari 2016

“Selamat Pagi Nak...Ibu Datang”. Terbangun spontan terucap, yang kuingat hari ini adalah menemui penantian laskar dorolede. Menanti Bu Guru kembali di hari Kamis dan Jum’at. Ku kenakan jas hujan menanjak menyapa asa anak-anakku, “ Nak, Ibu jalan”. Selalu terucap dalam hati setiap langkah untuk menemui pujaan hati nan manis. Satu kilometer lagi menuju istana kita, laskarku bersiap menyambut, benar...Sinar mentari membersamai semangatmu Nak, mengiringmu memeluk Ibu. Rerumputan memang mengalahkan tinggi badanmu, tapi kau lewati hanya demi menghampiri Ibu Gurumu yang sangat rindu akanmu. “Nak, Ibu sampai”. Laskarku tak hanya manis menitis, laskarku membuatku tersipu dengan tingkahnya.

“Ibu Dataaaaang.....”

“Ibu, cuci foto kita kan ? Ibu, nginap kan ? Ibu bawa buku majalah itu Bu ? Ibu, les nanti kita ke kali ya !”....

Nak, sebegitu banyakkah pertanyaan kalian untuk Ibu, mirisku dalam hati. Betapa tidak dalam seminggu hanya punya dua hari untuk menemaninya, karena hari selebihnya aku mengajar di desa lain. Ku jawab satu persatu pertanyaan mereka.

“Iya Nak, ibu sudah cuci, nanti kita lihat sama-sama ya, Iya Nak Ibu nginap, Ibu temenin makan dan ngaji nanti, Iya Nak, Ibu bawakan majalah pesanan itu, Iya nanti kita jalan-jalan ke kali ya kalau sudah pulang sekolah”.

Tak berani menolak sedikitpun apa yang mereka pinta, karena sudah terlanjur jatuh hati dan rindu. Sebisa mungkin dua hari dalam sepekan selama setahun ini ku berikan yang terbaik. Aku jatuh hati dibuatnya...

“Ibu, kita bersih-bersih kelas dulu ya, pake rumput saja Bu sapunya, biar rumput yang tinggi-tinggi itu mati tidak menghalangi sekolah kita, biar sudah sapu simpan baik-baik, Kalau misal rumput itu kita cabut setiap hari, lama kelamaan akan kecabut semua rumputnya, tidak lagi ngalahin tinggi kita Ya Bu ?”

Nak, kalian bukan sekedar manis, kalian adalah anak-anak Ibu yang luar biasa, mandiri, bersahabat dengan alam, dan polos. Ayo kita bergandeng bersihkan istana kita, mencintainya dengan kesungguhan hati, ruang kenangan Si Pembelajar, Aku , kamu dan kita semua dalam satu atap bersama menitipkan jejak asa.

“Ibu,,,fotonya bagus, makasih Ibu, Satu aku tempel di dinding, satu aku tempel di kaca, satu aku kasih Ina”. Waaaaa, Ibu foto kita waktu kapan itu ? Mau lagi ya Bu, di foto kaya gini, Ya Bu...Ya Bu..?.”

Girang bahagia anak-anakku melihat potretnya dalam foto, tersenyum sipu malu melihat dirinya sendiri, Mereka sangat bahagia. Nak, menurut Ibu foto ini sederhana, tapi sangat bisa membuat kalian bahagia. Laskarku mengajari kebahagiaan juga hadir dari kesederhanaan.

“Ibu, saya carikan daun leko ya Bu, mata Ibu merah, tunggu dulu Ya Bu”.

Matakku iritasi berat hingga merah karena debu perjalanan. Aku tak mengerti apa yang dibawa anak-anakku, beberapa helai daun, mereka buat obat untukku. Mereka sodorkan padakku air tumbukan daun. Aku teteskan pada mata, pedih rasanya, tapi beberapa jam kemudian matakku memulih berkat tangan-tangan malaikat ini. Sungguh aku semakin jatuh hati...

“Ibu, tuliskan tugas buat Saya, biar dikerjakan di rumah Yah!” Pinta anak-anakku.

Nak, kemandirian memang sudah melekat erat dalam jiwa kalian, Kemarilah, Ibu tulis, Ibu bimbing. Kerjakanlah, belajarlah, bermimpilah.

Waktu terhitung memang dua hari satu pekan satu tahun, namun jatuh hatiku takkan terhitung. Jatuh hati ini selalu mengharap laskarku untuk memeluk mimpi-mimpinya. Hingga kelak kan ku terima pesan bahagia darinya. Kelak...kan kutunggu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua