Arika dan Kartini

Tri Zaini Sarah 24 Januari 2015

Mereka berdua tinggal di depan rumahku, jadi selain sebagai murid aku juga sering berinteraksi dengan mereka sebagai tetangga. Kalau memang ada kontes murid yang paling dekat dengan Ibu Tri, mungkin mereka akan jadi pemenang. Bagaimana lagi, rumah kami berdekatan. Terkadang dibanding masuk lewat pintu, mereka lebih suka “menjengukku” lewat jendela kamarku, yang memang kebetulan menghadap ke rumah mereka.

Walau kakak adik, Arika dan Kartini sama-sama duduk di bangku kelas tiga. Ternyata, Kartini seharusnya duduk di kelas empat, namun dia harus tertahan karena kemampuan membacanya yang belum lancar. Menurutku ini aneh, karena selama aku disini, Kartini hobi sekali meminjam buku-buku di rumahku dan membacanya sampai habis. Masa sih dia tidak naik kelas karena belum lancar membaca?

Lain lagi dengan Arika. Arika memang berhasil melewati jenjang kelas sesuai standar, walaupun begitu, dia belum mampu untuk menulis tanpa didikte. Kemampuan membacanya juga masih tertinggal jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain.

Dulu, aku datang dengan ambisi yang sangat besar terhadap mereka berdua. “Pokoknya mereka harus sudah lancar membaca di semester satu,” begitu aku niatkan dalam hati. Empat bulan pertama aku menjalani misi itu sampai akhirnya aku mencapai titik terendah. Mereka memang senang bermain bersamaku, namun saat aku mengajak untuk belajar mereka enggan. Seluruh cara (setidaknya yang terpikirkan oleh aku) telah aku coba, dari yang paling lembut hingga paling tegas. Hingga akhirnya aku menyerah....

Pasca itu, aku tidak lagi terlalu berharap banyak akan ambisi yang sebelumnya. Aku lebih sering bermain dibandingkan belajar dengan mereka. Hari-hari seperti itu terus berlanjut hingga suatu hari Kartini datang kepadaku dan bertanya,

“Ibu, kok Ibu gak pernah ajak kami belajar lagi?”

“ Memang Tini mau belajar? Selama ini setiap Ibu ajak Tini sama Rika kan gak mau.”

(Sambil senyum-senyum) “Mau kok Bu, tapi jangan sering-sering. Dulu kan Ibu ajaknya sering sekali.”

Lalu Rika menambahkan, “Ibu ngajaknya kaya pas di sekolah. Kami kan mau main juga bu.” Dilanjutkan dengan tawa riangnya.

Akupun terdiam beberapa saat. Kalimat sederhana dari Kartini dan Arika menyadarkanku bahwa aku telah melewati satu hal penting. Selama ini aku terlalu sibuk dengan ambisiku tanpa pernah menanyakan apa yang sebenarnya mereka harapkan, mereka inginkan, dan mereka butuhkan. Aku terlalu asik dengan target pribadiku.

Setelah itu pelan-pelan mereka lebih sering bisa diajak belajar, bahkan terkadang mereka yang mengajakku duluan. Dalam pelajaran mengaji pun mereka semangat 45 untuk segera menyelesaikan Iqra. Akupun mulai bangkit untuk melanjutkan misi tersebut.

Kalau kebanyakan orang beranggapan bahwa kamilah yang menerangi jalan para murid, aku rasa aku lebih sering diterangi oleh mereka. Kami, para guru, terkadang lupa bahwa murid kami sama hidupnya dengan kami. Mereka memiliki kebutuhan, keinginan, perbedaan, dan keunikan masing-masing. Terkadang, kami terlalu fokus dengan target kami sehingga mengabaikan bahwa kami harus bekerjasama dengan mereka untuk mencapai tujuan bersama. Murid tidaklah selalu menjadi pihak yang harus dibimbing. Ada kalanya mereka menjadi mitra yang mampu membimbing kita dengan cara mereka sendiri.

 

Untuk Arika dan Kartini,

Terima kasih :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua