info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Wali Kelas Euy: Anak Susah Diajar ? Semuanya Selalu Ada Jalan !!!

Yuriza Primantara 8 Mei 2011
Seperti biasa, hari ini akan sama seperti hari sebelumnya, pergi sekolah, ketemu guru dan kepsek, mengajar, istirahat, pulang sekolah, lalu ekskul. Awalnya saya pikir begitu, tetapi tak disangka tak dinyana, Hari Selasa tanggal 1 Maret 2011 akan menjadi titik awal perubahan dari semuanya yang saya lakukan di sini, di Jayamurni. Saya pergi ke sekolah bersiap untuk mengajar dengan semangat baru dan pengetahuan baru. Brand new day, efek positif setelah menerima retraining. Berharap hari ini bisa menularkan lebih banyak energi positif untuk anak-anak. Saya melakukan aktivitas pagi di sekolah sebelum mengajar seperti mengobrol dengan rekan guru dan bercanda dengan anak-anak, tidak ada yang berubah. Setelah guru-guru lebih banyak yang datang , topik pembicaraan perlahan beralih dari awalnya santai menjadi agak serius, sementara saya sedang melihat buku-buku di gudang. Guru-guru kemudian mengobrol mengenai kebijakan baru kepala sekolah, saya pun ikut mendengarkan sambil melihat-lihat buku di rak yang sudah dimakan rayap. Selintas saya mendengar pembicaraan guru-guru karena gudang terletak di ruang guru maka aliran suara dari pembicaraan guru-guru pun terdengar jelas. Yang saya tangkap dari percakapan mereka adalah kebijakan kepala sekolah yang baru untuk membagi kelas menjadi dua rombongan belajar, sedangkan ruangan kelas tidak cukup untuk menampung sehingga konsekuensinya adalah akan ada kelas yang masuk siang. Dan imbasnya juga, akan ada guru yang masuk siang dan ada guru yang berubah bidang studinya.  Saya mendengar obrolan itu, cukup terkejut dan merenung sejenak, waduh kasian amat guru yang ngajar siang apalagi guru yang ganti pelajaran, harus menyesuaikan lagi padahal di tengah semester. Tiba-tiba Pak Marno memanggil saya, walaupun di rumah saya dipanggil “Mas” oleh Pak Marno tapi di sekolah saya dipanggil “Pak” , bukti dia profesional. “Pak Riza, lagi apa?” suara Pak marno mengagetkan saya,  “Lagi iseng lihat buku pak, ada apa pak?” tanya saya, kemudian terdengar jawaban Pak Marno dari ruangan sebelah  “Ini loh...kata Pak Kepala Sekolah , Pak Riza nanti jadi guru penjaskes saja.” Tiba-tiba saya terdiam, dan berusaha mencerna pelan-pelan suara dari Pak Marno, masuk dari lubang telinga kemudian melewati saluran telinga, gendang telinga, tulang-tulang pendengaran lalu ke rumah siput dan diteruskan oleh syaraf-syaraf yang kemudian diproses oleh otak (mentang-mentang ngajar IPA). “ Pen..JAS...KES....Sa..Ja...” rangkaian kata itu terngiang-ngiang di pikiran saya.... . Menurut Pak Marno ketika saya izin mengajar untuk mengikuti retraining di minggu kemarin, Pak Kepsek memutuskan untuk menjadikan saya sebagai guru penjaskes untuk semua kelas. Seketika pagi ini menjadi berubah karena “karir” saya  terancam berubah. “Yak, AYO ANAK-ANAK IKUTI BAPAK!! SATU, DUA, TIGA!! Hei itu mana kakinya ga gerak!!!” begitulah sehari-hari saya jika menjadi guru penjaskes saja. Bukannya saya menyepelekan peran dari guru penjaskes, justru penjaskes itu sangat penting, terlebih saya juga memegang teguh falsafah “men sana in corpore sana” walaupun olahraga sehari-hari saya cuma senam jari. Yang tidak saya terima adalah kesepakatan dengan kepala sekolah di awal, bahwa saya akan mengajar pelajaran yang “nyerempet” bidang saya, yaitu IPA dan Matematika. Dan saya pun merasa transfer ilmu dan nilai saya akan berkurang jika hanya mengajar penjaskes saja, kasarnya saya jauh-jauh ke sini hanya untuk menjadi instruktur olahraga, jargon “setahun mengajar, seumur hidup memberi inspirasi” pun akan menjadi amanah yang sulit diwujudkan. Menghadapi pergolakan batin ini saya harus berbuat sesuatu, saya harus melakukan negosiasi lagi dengan kepala sekolah, berharap bisa mengubah keputusannya. Selama saya di desa ini memang sesuatu yang saya butuhkan tidak didapat dengan cuma-cuma, perlu melewati negosiasi dan pendekatan-pendekatan. Seperti misalkan saat awal saya datang ke sekolah ini, saya bahkan harus tarik-ulur dengan guru bidang studi yang ingin saya ambil sedikit jam pelajarannya demi memenuhi tugas saya. Menghadapi beberapa orang dalam negosiasi dan pembicaraan selama saya dikirim ke Tulang Bawang Barat, saya bisa mengambil pelajaran dari beragamnya karakter orang. Seringkali yang saya hadapi adalah orang-orang dengan pembawaan arogan, tetapi dari pengalaman saya orang-orang yang membawa “merek sosial” arogan itu hanyalah orang-orang yang tidak ingin terlihat inferior di hadapan kita atau bahkan tidak ingin terlihat bahwa dia sebenarnya inferior. Ada juga orang yang bersikap sebagai malaikat tetapi nyatanya dia main tusuk dari belakang. Pernah saya bersepakat dengan seseorang, akan tetapi saya malah digunakan orang itu untuk mendapatkan kepentingannya dan kesepakatan pun dilanggar. Walhasil berkat orang itu, saya pun dilabrak oleh warga, tidak tanggung-tanggung yang melabrak adalah tokoh masyarakat setempat. Saya pun harus menjelaskan duduk perkaranya agar semuanya kembali baik dan tidak menyudutkan semua pihak bahkan pihak yang menuduh saya sekalipun. Dibutuhkan strategi yang masak sebelum perkataan keluar dari mulut saya, kalimat saya harus efisien, tidak rumit tapi mengena dan tidak menimbulkan potensi konflik. Saya sudah mulai memaklumi ragamnya karakter manusia ini sebagai suatu fenomena, dalam ilmu filsafat ada cabang ilmu yang dinamakan fenomenologis (Edmund Husserl) yaitu suatu cara untuk memahami sesuatu sebagai fenomena. Semenjak kasus pemanfaatan saya hingga munculnya pelabrakan terhadap saya itu, saya menjadi tidak mudah percaya dengan orang apalagi hanya dengan sedikit pembicaraan dan minimnya pertemuan. Namun bukan berarti lantas saya menjadi orang yang anti sosial, justru saya senang mempelajari seni sosialisasi, setiap orang punya kekurangan dan kelebihan, yang saya perlukan adalah mengenal batas pergaulan dengan seseorang. Balik ke masalah tadi, saya sudah bertekad untuk menemui Pak Kepsek dan berharap saya batal menjadi guru penjaskes. Saat bertemu dengan kepala sekolah di kantor SMP yang letaknya sekitar 100 meter dari kantor guru SD, saya utarakan keinginan dan rasa protes saya, beliau pun memberikan pendapatnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada. Akhirnya hasil pembicaraan pun mengerucut pada dua pilihan: saya menjadi guru penjaskes atau wali kelas tapi....di siang hari. Menjadi wali kelas adalah impian saya, karena menjadi wali kelas kita bisa lebih bebas dan punya kewenangan lebih untuk mengatur kelas. Dan juga saya bisa kenal dan menyusun profil anak beserta perkembangannya. Namun, jika masuk siang, berarti saya tidak punya waktu lagi untuk menjalankan ekstra kurikuler yang biasanya dilakukan di siang hari. Wali kelas harus stand by di kelasnya setiap hari, beda dengan saat saya menjadi guru bidang studi, ada waktu kosong mengajar. Uhh benar-benar dua pilihan yang tidak membuat saya nyaman dengan sepenuhnya, tetapi kepala sekolah sudah memberikan pertimbangan-pertimbangannya, dan saya terima itu. Bismillah, saya pun memilih menjadi wali kelas walau saya mesti mengajar di siang hari. Lalu kelas apa yang saya walikan?Untuk hal ini Pak Kepsek memberikan kebebasan pada saya untuk memilih kelas. Tidak perlu berpikir keras untuk saya memilih kelas mana yang saya walikan, karena sudah tengah semester, saya akan memilih kelas yang ada hubungan emosionalnya dengan saya. Kelas itu adalah kelas favorit saya (baca blog saya sebelumnya) yaitu kelas 4 B.  Dengan beralihnya karir saya menjadi walikelas maka impian utopi saya memberikan perbedaan di kelas-kelas lain pun terancam gugur. Memang tidak mudah mengubah semua aspek  di sekolah dalam waktu setahun, jadi saya akan menggunakan kesempatan menjadi wali kelas untuk memberikan perbedaan pada anak kelas saya. Saya berharap pengetahuan dan sikap yang baik dari anak-anak ini akan menjadi peninggalan saya ketika saya sudah pergi dari sekolah ini. Tanpa hitam di atas putih, saya diputuskan menjadi wali kelas dan tanpa menunggu waktu lama, masa bakti saya dimulai esok hari. Saya kemudian menggandeng Pak Kepsek masuk ke “kelas saya” untuk memberikan pengumuman bahwa saya akan menjadi wali kelas mereka dan mulai besok mereka sudah masuk siang. Mendengar Pak Kepsek memberikan pengumuman, anak-anak itu diam, tidak berisik, tidak berkomentar, walau isi pengumuman sebenarnya mengecewakan mereka. Memang di kalangan murid SD, Pak Kepsek dikenal sebagai sosok yang menakutkan, berdasarkan hasil survey saya ke kelas-kelas, Pak Kepsek menduduki peringkat pertama sebagai guru yang mereka takuti. Barulah setelah Pak Kepsek keluar kelas dan berganti saya yang memberikan pengarahan, suara kekecewaan mereka terdengar. Mereka bertanya mengapa hanya mereka yang masuk siang?sedangkan yang lain tidak. Memang melalui banyak pertimbangan, yang masuk siang hanya 3 kelas, yaitu kelas 3 A, 3 B, dan 4 B. Saya memberi mereka pemahaman dan mereka menerima, dan mereka juga menyatakan kesenangannya bahwa saya menjadi wali kelas mereka, bukan guru yang lain. Ternyata menjadi wali kelas dalam kenyataanya tidak semulus yang saya bayangkan, beberapa hari menjadi wali kelas mulailah terlihat masalah-masalah yang harus saya hadapi. Anak-anak yang saya walikan ini menjadi sulit diatur dan cenderung melawan saya. Saya menangkap ini adalah konsekuensi dari dibukanya ruang demokrasi di kelas saya. Dengan saya mereka tak perlu memendam pendapat atau diam ketika saya mengajar dan memberikan tugas, mereka bisa memberikan pendapat dan seringkali terjadi tawar menawar antara saya dengan mereka. Lama-kelamaan ruang berpendapat itu mulai melebar dan tak terkendali. Saya pun coba mempersempit tawar menawar lagi tapi tidak bisa. Kelas favorit saya ini mulai menyulitkan saya. Setiap harinya mereka selalu meminta pelajaran Penjaskes, mereka ingin bermain bola padahal seharusnya penjaskes dalam seminggu hanya dua jam pelajaran saja alias cuma sehari. Kemarin penjaskes, sekarang penjaskes, besok mereka minta penjaskes lagi. Entah kenapa saya tidak bisa menolak permintaan mereka, saya selalu menuruti kemauan mereka. Saat di dalam kelas sikap mereka berbanding terbalik dengan yang dulu saya kenal, mereka berubah menjadi tak terkendali dan bahkan tidak respek dengan saya. Mereka sering protes mengapa istirahatnya sebentar dan mengapa masuknya lebih dulu dari kelas 3. Padahal lamanya istirahat tetap 30 menit dan mengapa mereka masuk lebih dulu dari kelas 3 karena guru kelas 3 datangnya memang selalu telat. Mereka jadi lebih sering membuat keributan di dalam kelas dan ukhhh saya kesal melihatnya. Lama-lama saya frustasi dengan keadaan seperti ini, saya dibuat stress oleh anak-anak ini. Tidak hanya stress tapi juga sakit hati, saya tidak menyangka hati saya turut sakit. Saya kemudian mencoba mengingkari diri saya dengan berpura-pura tidak sakit hati, tetapi ternyata mereka benar-benar mengambil hati saya. Karena yang saya berikan kepada mereka di dalam kelas dan di luar kelas adalah benar-benar menggunakan hati walaupun saya sudah mencoba untuk profesional juga.  Bisa saja saya bersikap acuh tak acuh dengan hanya masuk sekolah kemudian memberikan pelajaran dan selanjutnya terserah mereka mau mendengarkan atau tidak. Tetapi saya tidak bisa seperti itu, saya ingin melihat mereka cerdas dan bersikap baik setiap harinya. Akhirnya tindakan liar mereka yang paling tidak bisa saya terima terjadi ketika ada seorang anak yang mengatai saya dengan kata-kata yang tidak pantas . Saat itu saya menjadi wasit sepakbola, dan kata-kata itu muncul ketika saya meniupkan peluit pelanggaran , lalu anak itu tidak menerima keputusan saya.  Saya yang seharusnya menjadi orang tua mereka di sekolah malah dianggap tidak lebih seperti teman mereka yang bisa direndahkan. Peristiwa “pelecehan” itu membuat kesabaran saya habis, sehabis-habisnya!! Rasa kekecewaan saya akhirnya saya keluarkan ke mereka, saya katakan kepada mereka bahwa saya kecewa dengan kelas ini padahal sebelumnya saya sangat menyenangi kelas ini. Saya kemudian bertanya kepada mereka, “Bapak, salah apa kepada kalian?Sampai bapak direndahkan seperti ini oleh kalian?” mereka terdiam, dan kemudian menjawab dengan pelan, “Tidak ada salah apa-apa, Pak...” . “Lalu kalau begitu, mengapa kalian seperti ini ke Bapak?” mereka diam tidak menjawab, kemudian saya lanjutkan “Kalau Bapak mau, Bapak bisa saja menempeleng kalian satu-satu seperti guru yang lain, tapi Bapak tidak mau... karena Bapak sayang kalian.” Mereka hanya diam. Di rumah saya memutar otak, apakah saya harus menyerah dengan keadaan begini?atau memang mengubah sikap mereka saat ini adalah mustahil?batin saya benar-benar diuji. Namun kemudian saya berpikir lagi mengenai anak-anak ini. Sebelum saya masuk ke sekolah ini, anak-anak ini memang kehilangan sosok wali kelas, karena wali kelas sebelum saya memang sedang tertimpa masalah sehingga ia sering berhalangan hadir, Oleh karena itu pendidikan karakter dan sikap mereka kurang. Saat mereka kelas 3 pun mereka sudah tidak merasakan lagi baris-berbaris sebelum masuk kelas dan mencium tangan guru(salim) sebagai (salah satu) tanda menghormati guru. Terakhir mereka melakukan hal-hal itu adalah saat kelas 2.  Belum lagi faktor pendidikan di keluarga yang sebagian besar tidak menganggap penting pendidikan, akhirnya menjadi pelengkap mereka menjadi seperti itu( baca: tidak bisa diatur). Saya berpikir bahwa mereka tidak salah, mereka hanya tidak beruntung, jangan menambah ketidakberuntungannya. Selain tentang anak-anak, ini juga tentang saya. Saya ditempatkan di sini adalah untuk menjadi pencerah bukan menjadi pesakitan. Dan memang benar di sini , terutama momen ini, saya benar-benar merasakan ujian untuk meningkatkan leadership saya. Di sini kesempatan untuk menjadi pahlawan atau pecundang sama besarnya, yang membedakan itu adalah inisiatif kita. Saya bisa saja memilih untuk tidak mengajar kalau sedang kesal, toh tidak ada yang mengawasi saya, kepala sekolah pun segan dengan saya (ini dari pembicaraan guru-guru), dan bos saya pun tidak ada di sekolah saya. Namun jika saya tidak berinisiatif saya hanya akan membuang waktu saja, dan kapasitas saya sebagai seorang manusia tidak meningkat. Oke mungkin di sini saya tidak diawasi siapa-siapa, tapi di sini yang mengkontrol saya adalah my mind and my soul. Saya tidak sudi melihat mereka tidak berkembang. Setelah memutar otak cukup lama, saya berinisiatif untuk membuat program agar mereka bisa mengubah sikapnya menjadi lebih baik. Program yang pertama saya membuat peraturan kelas, yang berisi beberapa poin dan masih ada kemungkinan bertambah tergantung situasi di kelas nanti. Poin pertama peraturan itu berbunyi “kita adalah keluarga” itu adalah poin paling penting, terinspirasi dari sebuah film. Dari poin pertama ini harapannya adalah saya dan mereka saling menghargai dan menghormati, dan tidak ada lagi sikap yang tidak baik terhadap saya ataupun terhadap sesama mereka, dan juga tidak ada lagi murid laki-laki yang mengganggu murid perempuan karena kita adalah keluarga. Saya juga mewajibkan untuk baris terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kelas. Dan sebelum berbaris saya mewajibkan mereka untuk piket terlebih dahulu, saya sudah bentuk kelompok piketnya. Saya cantumkan poin-poin dalam peraturan yang saya rasakan perlu untuk menjaga kelancaran proses belajar-mengajar. Peraturan itu saya tempel di kelas. Selain peraturan kelas, saya juga me”launching” award kelas yang saya namakan “Ayo Menjadi Murid Teladan”.  Award ini saya buat agar mereka berlomba-lomba menjadi murid teladan. Murid teladan adalah mereka yang berhasil menjadi murid terbaik, murid terajin, dan murid tersopan dalam jumlah terbanyak. Adapun kriterianya untuk menjadi murid terbaik, seorang anak harus meraih nilai pelajaran yang tinggi (bisa latihan ataupun ulangan) . Untuk menjadi murid terajin, seorang anak harus rajin piket dan bersih-bersih. Dan untuk menjadi murid tersopan, caranya adalah mematuhi peraturan kelas dengan taat. Sedangkan jika seorang anak melanggar peraturan maka akan mendapatkan tanda silang, jika mendapatkan 3 kali tanda silang maka ia akan dihukum langsung oleh kepala sekolah. Awal-awal masa peluncuran program ini, memang anak-anak masih ada yang melanggar peraturan tetapi karena ada ancaman akan ada hukuman langsung dari kepala sekolah mereka langsung takut. Ya..saya mendapat restu dari kepala sekolah untuk menggunakan namanya. Ha ha ha memang menggunakan sosok galak kepala sekolah untuk mengubah sikap anak-anak sepertinya kurang bijak, seharusnya perubahan sikap itu harus timbul dari kesadaran mereka. Namun saya memiliki pertimbangan sendiri, saya hanya menggunakan ancaman itu sebagai tindakan awal saja, ibaratnya seperti mengerjakan shalat. Sewaktu masih kecil saya shalat karena takut disiksa di neraka kalau meninggalkannya, tetapi kesadaran akan kebutuhan shalat muncul sedikit demi sedikit seiring bertambahnya ilmu dan usia, sehingga  kemudian saya shalat karena saya butuh shalat bukan karena takut masuk neraka. Saya berusaha memberikan pemahaman kepada mereka untuk bersikap lebih baik itu penting bukan karena ancaman hukumannya tetapi karena sebagai manusia sudah sepantasnya berbuat baik. Hal itu yang terus saya sampaikan agar mereka berlomba-lomba ingin menjadi murid teladan karena pemahaman betapa mulianya seseorang jika dia berbuat baik, bukan karena takut dihukum Kepala Sekolah. Alhamdulillah dengan berjalannya waktu mereka secara umum menunjukkan perubahan yang signifikan, mereka bersikap lebih baik dibanding sebelumnya. Dan ini merupakan titik awal saya menjadi the great wali kelas!! Semakin lama suasana kelas semakin menyenangkan, saya mulai belajar dari mereka. Saya banyak menghabiskan waktu dengan mereka, belajar bahasa mereka, dan bercanda dengan mereka. Mereka ternyata murid-murid yang hebat-hebat! kehidupan mereka membuat saya semakin bersyukur dengan yang saya dapatkan. Murid per murid mempunyai perilaku unik dan berbeda, hahaha  benar-benar menarik. Ada Juhan yang memiliki bakat seperti Muhammad Ali, ada Yuda yang seperti rocker, ada Roni yang jago matematika, dan bahkan ada yang jago melawak, si Agus. Saya akan menceritakan beberapa murid-murid yang spesial, di cerita berikutnya, AMIIIIIIN. “Siapa yang mau jadi pahlawan hari ini, anak-anak?” “Saya Paaaak!!” PS: Kebanggaan seorang guru adalah melihat anak-anaknya cerdas, selalu tersenyum dan setiap harinya mereka bersikap baik. Dari sana terlihat bahwa usahanya telah berhasil I am the master of my fate I am the captain of my soul -Nelson Mandela-

Cerita Lainnya

Lihat Semua