Belajar dari Ia (Renungan di Minggu ke-6)
Laili Khusna 2 November 2010
“Kenapa kamu ikut Indonesia Mengajar?”
Pertanyaan itu muncul tiba-tiba usai praktek mengajar, dilontarkan oleh seorang sahabat pengajar muda, mitraku selama praktek mengajar di SD Cikereteg 1.
“Sebab aku sudah ditolong terlebih dahulu,” jawabku. Jawaban yang sama seperti yang pernah kutuliskan dalam formulir.
“Maksudnya?”
Aku terdiam sejenak. Aku sadar pertanyaan ini membawaku kembali ke tahapan pertama: niat. Niat bergabung dalam gerakan yang dielu-elukan ini. Lalu, mengalirlah jawabanku.
“Orangtuaku sangat mendukung pendidikan, meski ayahku hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat)- setaraf SD dan ibuku lulus SMP. Ayahku tukang jam di pinggir jalan. Bagi kebanyakan orang, mustahil seorang tukang jam mampu menyekolahkan empat anaknya hingga jenjang sarjana. Namun matematika Tuhan tidaklah pantas diukur dengan matematika manusia. Berbekal semangat, dorongan, kerja keras serta do’a, apa yang tadinya mustahil menjadi nyata. Selama menempuh pendidikan, aku dan kakak-kakakku banyak ditolong oleh para pemberi beasiswa, guru kami yang memberi rekomendasi, dan tentu saja orangtua kami yang tak pernah lelah mendorong kami dan tak pernah menampakkan kesusahan mereka di hadapan kami. Kami percaya pendidikan adalah jalan terang untuk bangkit menuju kondisi lebih baik, bukan sebatas untuk keluarga kami, tapi lebih dari itu- untuk bangsa ini, sebab ketika kami bisa menjadi orang-orang yang berguna, kami dapat berkontribusi untuk bangsa ini. Karena kami sudah ditolong lebih dulu untuk menempuh pendidikan kami dengan baik, maka saat ini dengan kapasitas yang aku miliki, aku harus berbuat sesuatu untuk mereka yang membutuhkan pendidikan lebih baik. Indonesia Mengajar mewadahiku untuk itu. Bahkan, ayahku ingin bergabung dengan program ini sebelum mengetahui bahwa salah satu syaratnya adalah fresh graduate minimal S1. Keinginan ayahku untuk mengajar di daerah terpencil tumbuh kala menyaksikan siaran Kick Andy yang mengangkat isu kekurangan guru di daerah dan kondisi sekolah yang reyot di mana hanya ada satu dua guru yang memelihara keberlangsungan pendidikan di sekolah-sekolah itu. Ayahku ingin mengajar di sana, namun beliau merasa tak bisa apa-apa, hanya lulusan SR, tak punya bekal mengajar. Aku dorong beliau untuk mengajar agama sebab beliau pernah nyantri dan cukup aktif berbagi ilmu agama dengan masyarakat. Lalu, ayahku berkata, “Suk nek kowe wis lulus, bapak takdadi guru ning daerah kaya ngono yo.” (terj: “Besok kalau kamu sudah lulus, Bapak jadi guru di daerah seperti itu ya.”) Dan saat ini, insya Allah aku yang akan memenuhi janji ayahku.”
Hening sesaat.
Sahabat itu pun menuturkan kisahnya. “Aku anak ke-9 dari sepuluh bersaudara. Ayahku guru SMP. Orangtuaku juga memperhatikan pendidikan putra-putrinya hingga kami bisa meraih gelar sarjana. Ibuku rela tidak memakai gelang kalung emas asalkan anaknya bisa sekolah. Bahkan ibuku rela mencari kayu bakar dan menggunakannya untuk memasak demi menghemat biaya minyak atau gas. Ya Allah Ibu... aku kagum sama beliau. Ayahku pun orang yang kuat dan gemar menantang anaknya. Pernah ketika aku masuk UI, aku hanya diberi uang saku 1 juta untuk hidup 1 tahun di Jakarta. Ayahku bertanya apakah uang itu cukup dan aku pun mengangguk dengan mantap, “Insya Allah cukup Yah.” Dalam hati berkali-kali kuucap bismillah, berharap kata-kata mantapku barusan benar adanya. Saat perjalanan di kereta, tiba-tiba aku dihubungi pihak rektorat UI yang menyatakan aku memperoleh beasiswa. Subhanallah... Meski ayah pernah menyatakan hanya memberiku 1 juta untuk 1 tahun, tapi nyatanya setiap kali aku pulang aku selalu diberi uang saku. Hehe. Tapi berhubung aku sudah dapat membiayai hidup di Jakarta dengan beasiswa dan hasil mengajar di beberapa tempat, aku pikir ayahku tak perlu lagi memberiku uang saku. Namun jawab beliau di luar dugaanku, “Le, ayah nggak peduli berapa pun beasiswa yang kamu peroleh, berapa pun uang yang kamu punya dari hasil jerih payahmu, memberimu uang saku adalah kewajiban ayah sebagai seorang ayah.” Lagi-lagi subhanallah... Aku bangga pada ayahku. Ayah yang selalu mendorong sepuluh prajuritnya untuk maju.”
... (Sejenak sama-sama merenung)... Lalu, sahabatku itu melanjutkan.
“Sayangnya, saat di mana semestinya ayahku menikmati hasil kerja kerasnya, saat seharusnya beliau tinggal duduk santai di rumah, biaya hidup sudah dikirimi putra-putrinya, beliau tiada.”
Innalillahi... Kulihat binar matanya yang sedang mengenang sosok ayahnya yang luar biasa.
“Percayalah, beliau sedang merasakan kenikmatan yang jauh lebih besar daripada apa yang bisa kita berikan di dunia. Percayalah.” Begitu kataku. Kulihat sahabatku tersenyum.
Ya, masing-masing dari kami memiliki liku hidupnya sendiri. Namun, ada banyak titik temu antara kami. Salah satunya: figur ayah.
Ayah. Sosok yang dituntut untuk kuat, tangguh sebagai pahlawan keluarga. Ibarat pohon, beliau adalah akar yang menahan pohon (keluarga) agar tetap berdiri kokok. Sebagai akar, ayahlah yang berkewajiban mencari nafkah, nutrisi untuk keluarganya. Ayah yang sebenar-benarnya ayah, yang memenuhi kewajibannya sebagai penopang keluarga, takkan tergantikan siapa pun. Ayah, darinya kita belajar untuk tangguh, untuk tak mudah menyerah dan mengeluh, meski beban bertumpuk. Maka, di minggu ke-6 ini kala kita belajar mengajar dan mendidik anak-anak bangsa, saatnya kita belajar dari ayah kita- bagaimana beliau bersikap lembut juga tegas pada anak-anaknya, bagaimana beliau mendidik kita dengan kesabaran luar biasa di tengah tumpukan beban keluarga, bagaimana beliau menahan amarah ketika kita melakukan kesalahan, bagaimana cara beliau menghukum dan membuat kita sadar, bagaimana beliau membuat kita mematuhi petuahnya. Belajar mengajar dan mendidik, yang pertama sesungguhnya dari ibu ayah kita. Dari beliaulah sikap kita terbentuk.
Minggu ke-6, tinggal menghitung jari menuju penempatan, sudah selayaknya kita semakin mengasah diri untuk belajar kegigihan dari ayah kita (aku bisa belajar dari ayahmu melalui kisahmu, Sahabat-sahabat semua bisa belajar dari ayahku melalui kisahku). Gigih menjalani amanah, gigih menghadapi tantangan, dan gigih menyempurnakan kewajiban kita meski orang lain bersedia menanggung kewajiban kita. Tetaplah kita yang musti memparipurnakan amanah kita sebagai pengajar muda, tetaplah kita yang harus menjalani kewajiban kita sebaik-baiknya untuk menjadi bagian dari pendidik generasi bangsa, sebagaimana ayah telah berjuang keras demi kita, demi anak-anak republik ini. Ayah juara satu seluruh dunia.
Ciawi, 1 November 2010
Untuk ayahku yang senantiasa tersenyum dan untuk ayah sahabat-sahabatku
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda