info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mentari di Sudut Kal-Tim

Laili Khusna 14 November 2010
Tak pernah terbayangkan olehku akan menginjakkan kaki di pulau-pulau kecil di perut ibu pertiwi yang ketika belajar peta tak pernah kuperhatikan kehadiran mereka sebagai bagian dari negeri ini. 12 November 2010, kami, Tim Pengajar Muda wilayah Paser, KalTim serta ibu kami- Bu Yundri mengantarkan empat jawara ke tiga titik di sudut KalTim: Tanjung Aru, Selengot, dan Labuangkalo. Tiga tempat ini menjadi satu kecamatan, yakni Tanjung Harapan meski terpisah dalam pulau tersendiri. Selengot dan Labuangkalo sebenarnya masih satu daratan (kalau tempat itu boleh dibilang daratan- nanti kuceritakan), namun dipisahkan oleh hutan bakau, sehingga dari Selengot ke Labuangkalo tetap harus melalui jalur laut. Jika kita membayangkan bahwa pulau adalah sebuah wilayah daratan dengan tepinya adalah hamparan pasir yang indah atau semacam itu, maka tinggalkan gambaran itu jika hendak berkunjung ke tiga tempat tersebut. Akan kuceritakan kisah perjalanan kami menuju sudut tenggara KalTim. Pagi, kami naik mobil menuju Lori- sebuah pelabuhan kecil. Perjalanan sekitar 2-3 jam, melewati daerah transmigrasi berupa perkebunan sawit dengan kondisi jalan berbatuan kasar sekali (offroad dan siap rock `n roll). Kiri kanan kulihat saja pohon-pohon sawit berdiri tegak seolah mengernyitkan dahi dan berkata pada kami, ”Mau ngapain Lu ke Labuangkalo?” Personifikasi ini sebagai gambaran reaksi orang ketika mengetahui kami akan ke sana. Ketika acara penyambutan oleh Pemkab setempat, saat diperkenalkan bahwa Pengajar Muda yang bernama Gilang dan Ridwan akan ditempatkan di Tanjung Aru, orang-orang di gedung itu langsung riuh. Berikutnya, saat dipaparkan ada seorang Mansyur Ridho’ yang akan mengajar di Selengot, riuh lagi. Terakhir, seorang Pengajar Muda yang wajahnya masih lucu bernama Patrya Pratama akan menjadi guru SD di Labuangkalo... Bertambah riuh. Bukan riuh gembira, namun ungkapan keterkejutan dan keheranan (barangkali bahasa positifnya: kagum). Why? Sedikit terjawablah ketika kami mulai datang ke sana satu demi satu. Kami menyewa perahu motor menuju Tanjung Aru, ibukota kecamatan Tanjung Harapan. Oya, maaf sebelumnya, lupa mengatakan bahwa Pak Camat yang baru terpilih turut serta mengantar kami ke ibukota kecamatan yang belum pernah ia kunjungi selama jadi camat. Lebih tepatnya, selama menjadi camat yang memang baru sebentar-lah, beliau belum pernah ke kecamatannya itu, baik Tanjung Aru, Selengot, apalagi Labuangkalo. Setelah sekitar satu jam perjalanan kami tiba di Tanjung Aru. Kami disambut papan-papan dermaga sederhana dan pandangan bertanya-tanya dari penduduk setempat. Bagaimana tidak? Pakai rompi hitam bertuliskan Indonesia Mengajar di punggung sembari mengangkat kardus-kardus, serasa relawan mau bakti sosial saja. Rumah-rumah berbentuk panggung, cukup bagus, sebagian terbuat dari beton, sebagian papan-papan sebagaimana rumah di Kalimantan pada umumnya. Kami disambut calon ibu baru Gilang dan Ridwan, seorang ibu haji yang buaiiiiikkkk buanget, ruamah. Belum duduk saja hidangan sepiring udang, sepiring kakap, bakwan jagung, tempe mendoan mengalir ke meja makan. Ibu haji pemilik sebuah warung makan di tempat itu. Tak kalap, para Pengajat Muda ditambah Ibu kami yang memang sudah lelah dan kepanasan minta ampun, tanpa segan-segan menyantap segelas es teh dan ngemil udang (hoi udang buat cemilan?? Memang begitulah- kami, hehe). Hmm... lezatnya...... Saat sholat di ruang tengah, aku melihat laptop dan printer terpasang rapi di atas meja. Ehem. Wajah Gilang dan Sahabat Ridwan tampak mencerah. Sahabat Ridwan yang hobi tersenyum, tambah lebar senyumnya, tambah pula lesung pipitnya. Lihat binar mata mereka... dan lihat mimik Mansyur- yang bingung antara berharap mendapatkan seperti yang Gilang dan Ridwan dapatkan dengan realita yang mengatakan bahwa, “Kalau Tanjung Aru ibukota kecamatan, jadi wajarlah lebih maju. Kalau Selengot...”  Oow... Kami memutuskan tidak berlama-lama dengan keterlenaan ini dan segera ke Selengot. Selamat bertugas sahabat kami, Gilang dan Ridwan. Kami akan merindukan bundarnya kepala Gilang yang mirip bola itu dan lesung pipit Sahabat Ridwan. Berlanjutlah pelayaran kami menuju Selengot. Setelah menikmati goyangan ombak selama lebih kurang 20 menit, kami tiba di Selengot. Rumah-rumah panggung papan kayu bertaburan di hadapan kami. Kami berjalan di atas papan-papan dan kemudian saya baru sadar satu hal: lho ini di atas rawa ya? Lebih tepatnya ini di atas kawasan pasang surut air laut. Lebih tepatnya lagi, sebenarnya ini di atas laut. Saya belum menyadari hal ini ketika di Tanjung Aru, saking terpesonanya dengan udang dan kakap. Nice, actually, ini bukan daratan. Melihat ke bawah, tampak dasaran pasir dengan banyak lubang. Ada genangan air di beberapa cekungan dan ikan-ikan kecil berenang di genangan itu. Pasang air laut itu tidak kemudian hanya menutup bagian depan sebagaimana yang biasa terjadi di pantai-pantai, air laut menutupi penyangga-penyangga rumah itu. Bayangkan tinggal badan rumah dan atap yang nongol di atas air laut. Mansyur akan tinggal bersama kepala desa. Rumah beliau sudah dikeramik, dindingnya beton, ruangannya luas. Ibu kepala desa, khas wanita Bugis memyambut kedatangan kami. Kami berkesempatan mengunjungi SD tempat Mansyur akan mengajar. “Lapangan” upacara-nya berupa papan dengan tiang bendera di tengahnya. Bayangkan upacara bendera, tangan menghormat pada Merah Putih, kaki berdiri tegak di atas papan kayu, dan di bawah papan kayu adalah pasir laut (boleh dibilang dasar laut yang dangkal). Anak-anak SD mengikuti langkah kami, berlarian ke sana ke mari menyambut kehadiran guru baru untuk mereka. Mansyur berbinar... Turun ke kapal (bukan naik, karena kami dari atas panggung dermaga), lalu melajulah kami menuju Labuangkalo. Anak-anak bersahutan melambaikan tangan mereka dengan tawa lebar... Selamat bertugas sahabat kami, Mansyur. Semoga kekhasan warna kulitmu memudahkanmu menyatu dengan anak-anak didikmu yang memiliki persamaan warna denganmu. Hehe. Laut. Awal dipandang memang menakjubkan, tapi bayangkanlah tiga bulan ada di tempat seperti ini. Kejenuhan akan melanda. Di mana-mana hanya hamparan air, awan di atas, malam bertabur bintang di langit. Berputar-putar hanya itu saja. Cuaca panas, pemandangan tak berganti. Maka, jangan heran apabila orang pesisir terkenal dengan karakter yang berbeda dengan penduduk daratan, alam membentuk mereka. Usai bergelut dengan ombak dan angin laut, tibalah kami di Labuangkalo. Kami naik tangga kayu dan menginjakkan kaki di papan Labuangkalo. Barang-barang milik Patrya siap diangkat oleh para Pengajar Muda dengan rompi Indonesia Mengajar Angkatan 1. Mirip relawan kemanusiaan. Memasuki wilayah ini, pada awalnya tidak berbeda dengan Selengot, masih di atas laut juga. Namun semakin masuk, tampaklah perbedaannya. Rumah-rumahnya lebih sederhana, mayoritas hanya papan-papan kayu biasa, warna hampir semua sama: warna kayu asli. Masih jarang rumah dicat, berbeda dengan Tanjung Aru dan Selengot. Kami bertemu Kepala Desa, lalu diantarlah Patrya ke rumah dekat SD: rumah guru dan ia tidak tinggal bersama keluarga, namun bersama seorang guru lain. Kebingunganpun muncul. Bu Yundri menyatakan keberatannya dan meminta rumah yang ada keluarga. Akhirnya untuk sementara Patrya tinggal di rumah Pak Kades. Patrya harus tidur bersama Pak Kades sekeluarga dalam satu ruangan. Patrya harus sabar mendengar gemuruh musik ketika Pak Kades mereparasi alat-alat elektronik musik. Suara tape-nya bergaung di Labuangkalo. Belum lagi ada persoalan sosial politik masyarakat terkait Pak Kades dan keluarga. Masyarakat dengan karakter keras dan kebiasaan yang sangat berbeda (orang kota bilang kesopanan versi nasional kurang) membuat Patrya harus siap beradaptasi dengan kondisi cukup ekstrim seperti itu. Pat, bersabarlah... Innallaha ma’ashshobirin. Allah mencintai hamba-Nya yang sabar, pasti nanti ada jalan terbaik untuk tinggal di tempat yang terbaik bagi Patrya. Salah satu bukti kecintaan Allah pada Patrya, sebagian anak-anak SD yang sedang bermain menyambut sang guru baru dengan rona kebahagiaan. Mereka pun bertanya, “Berapa orang Bu yang di sini nanti?” “Satu orang, Pak Patrya,” jawabku. Mereka tampak kecewa, “Yah kok nggak 2, kita kan masih butuh.” Yang lain menambahkan, “Di sini kelas 3 sama 4 digabung.” “O kelas pagi sama siang?” tanyaku memastikan dugaan sebagaimana di SD-SD di Ciawi. “Nggak Bu, jadi satu.” “Terus caranya?” tanyaku heran. “Ya dibagi 2 di kelas, yang sini kelas 3, yang sana kelas 4, terus nanti kelas 3 MTK, kelas 4 Bahasa Indonesia, nanti gurunya jelasinnya gantian,” jelas mereka. “Tengok sana jelasin Bahasa indonesia, tengok sini jelasin MTK?” tanyaku dengan mimik polos. Mereka mengangguk. Aku terdiam. Ada yang menyesak di tenggorokan ini. Subhanallah.... Kupandang “lapangan” upacara mereka. Bayangkan saat Merah Putih dinaikkan, di atas papan-papan ini, anak-anak bangsa menghormat pada bendera negeri ini, sementara pasang laut mengancam mengusir mereka. Jika laut pasang, air bisa menggenangi “lapangan” upacara sebagaimana pula di Selengot. Namun di balik itu semua, lihat binar mata mereka, canda tawa mereka saat mengetahui ada guru baru hadir di tengah-tengah mereka. Ketika mereka berlarian di antara kami, seorang anak mengabarkan pada temannya yang dilalui, “Ada guru baru, ada guru baru” dengan rona bahagia di wajah putra bangsa itu, putra pertiwi, putra Labuangkalo, putra Indonesia. Patrya, Pakpat, selamat bertugas di tempat barumu. Ingat selalu kata-kata ayah kita semua, Pak Anies: “tantangan seberat apapun bila dihadapi dengan kendaraan IKHLAS, semua akan dapat dilalui dengan mudah.” Bismillah, Allah always be with u and all of us. Sahabat-sahabatku di pulau-pulau rawa, rumah-rumah di atas laut, selamat menjalani “kehormatan” ini, pengabdian untuk negeri yang telah membesarkan kita semua. Semoga air mata kami saat melepas Patrya di dermaga sederhana Labuangkalo, diiringi cahya mentari senja  menjadi awal kebahagiaan untuk mereka- anak-anak Tanjung Harapan karena kehadiran guru-guru hebat di tengah mereka. Rantau Panjang, 13 November 2010 Saat menuturkan tiga paragraf akhir, air mataku kembali menggenangi pelupuk mata yang ingin melihat senyum sahabat-sahabatku semua....

Cerita Lainnya

Lihat Semua