info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

“Pulau Jawa itu di eng... di... mm... Nggak Tahu Bu...”

Laili Khusna 24 November 2010

Senin, 15 November 2010, 08.00 Waktu Indonesia Tengah. Anak-anak berseragam merah putih, sebagian lagi merah-agak putih, dengan beralaskan sandal atau tidak beralas sama sekali berlarian di lorong-lorong sekolah. Sebagian lagi mencuci kaki di genangan air di jalanan menuju gedung sekolah. Beginilah kondisinya sehabis turun hujan. Lebih baik tak bersepatu. Pada jam yang sama, di banyak titik di Indonesia barangkali baru saja usai melaksanakan upacara bendera. Siswa-siswa melepas topi mereka, berlarian menuju kelas, siap mengikuti pelajaran pertama hari pertama sekolah. Namun tidak di sini. Tidak pernah ada upacara bendera. Tidak pernah tangan-tangan kecil ini memberi penghormatan pada Sang Merah Putih di setiap hari Senin sebagaimana siswa di negeri ini pada umumnya. Halaman sekolah berupa tanah becek dengan rumput tumbuh tak karuan di sana sini. Jika bukan karena tiang bendera dengan merah putih berkibar di atasnya, tak tampaklah area itu sebagai halaman sebuah sekolah dasar. Meski demikian tak berarti anak-anak tidak menghormati republik ini. Sebagian dari mereka menyeberang sungai lalu menembus perkebunan demi mendapatkan pendidikan dasar di desa ini sebab di desa mereka tak ada sekolah. 08.10. Belum masuk kelas. Guru-guru mulai berdatangan. Kutanya pada siswa-siswa, “Jam berapa masuk kelas?” “Jam 7.30 atau jam 8,” jawab sebagian siswa. “O, lho kok belum masuk?” “Nggak tentu, tergantung gurunya,” jawab mereka. “Terus pulangnya jam berapa?” “Nggak tentu juga.” Dieng! Teringat pesan orang di sini padaku, “Kalau jadi guru di sini santai aja Mbak.” He? Enak sih santai, tapi untuk apa santai setelah melalui 7 minggu training dan dimotivasi macam-macam untuk jadi guru yang menginspirasi dan memotivasi? Ceileh. :P Akhirnya aku menuju kantor guru. Banyak guru sudah hadir. Namun kelas belum juga dimulai. Entahlah. Aku hanya senyum sana sini berkenalan dengan Pak ini Bu itu, lalu berdiskusi dengan kepala sekolah. Sebenarnya jumlah guru di sini sudah memenuhi. Jadi bingunglah saya. Memang kasus khusus, pada awalnya ada sekolah-sekolah di kabupaten ini yang memang kekurangan jumlah guru, namun pihak tertentu tidak mengizinkan kami berada di tempat tersebut karena beragam pertimbangan. Akhirnya masuklah ke sekolah yang secara kuantitatif mencukupi, terlepas dari hal lain. Aku berkeliling, berbincang dengan guru-guru muda yang masih menempuh kuliah di luar jam mengajar. “Nanti jangan heran Bu kalau kelas 3 atau 4 ada yang membacanya masih belepotan. Sekarang kelas 1 masih mending ada yang sudah bisa baca dari TK, tapi masih ada yang belum sama sekali. Jadi harus ABC dari 0,” demikian pesan seorang ibu guru. Terbayang anak-anak PAUD dan TK di kota-kota sudah kenal Bahasa Inggris. TK sudah lancar membaca dan menulis. Jangan terlalu berharap kalau di sini. Sekitar pukul 10.00 aku diminta masuk kelas VI, karena ibu gurunya sedang sakit. Perkenalan diri. "Bu Zaki dari Jogja. Jogja di sebelah mana ya? Di pulau apa?" tanyaku pada murid-murid kelas VI. Jawabannya: gelengan kepala. Kupancing-pancing agar keluar jawaban. Gelengan kepala. Tak tahu atau malu? Kutanya satu demi satu, tak tahu. Akhirnya: "Pulau Jawa," sebuah tebakan dari seorang siswa. Yup, betul. Beri Superman Wuzz... "Pulau Jawa di sebelah mana dari Kalimantan?" tanyaku lagi. Jawaban: menggeleng lagi. Kutanya satu demi satu: tak tahu. Kelas VI. Terpajang peta Asia di dinding kelas. Anak-anak berusaha mencari di mana letak Indonesia, di mana Kalimantan, dan di mana Pulau Jawa. Kelas VI. Membayangkan siswa-siswa kelas VI di lembaga-lembaga bimbingan belajar, menghafal nama-nama negara dan ibu kotanya. Di luar kepala sudah namanya Indonesia dengan minimal lima pulau besarnya. Tapi sekali lagi tidak di sini. Berlanjut, kuceritakan ke-50 sahabatku Pengajar Muda lainnya, di mana saja mereka berada. “Riau, di pulau apa?” tanyaku. Gelengan lagi. “Coba kita sebut bersama-sama lima pulau besar di Indonesia, apa aja?” Krik krik krik... pelan-pelan... Sumatra... Jawa... Kalimantan... Sulawesi... Papua... Bibir mereka bergerak-gerak pelan mengikuti kata-kataku. Ketika aku bercerita ada yang di Maluku dan kutanyakan lagi di mana Maluku, jawaban seorang anak, “Di Nusa Tenggara.” Baiklah. Jumlah guru mencukupi, namun rupanya sekolah tidak hanya memerlukan kehadiran fisik guru saja. Selain mengajar satu pelajaran nantinya, aku memutuskan mengajar informal pagi hari sebelum guru-guru lain hadir. Aku tak tahu pasti jam berapa masuk kelas nantinya, jam berapa pulang sekolah. Yang aku tahu saat pagi hari wajah-wajah polos itu sudah datang ke sekolah meski hanya dengan sandal atau tak beralaskan apapun, meski harus menyeberang, meski kaki harus terbenam lumpur sebelum masuk kelas dan mereka sedang menanti Ibu Bapak Guru. Maka, yang aku tahu saat ini: aku hadir untuk memberi sebaik yang aku bisa dan belajar dari mereka sebanyak yang bisa aku dapatkan. Rantau Panjang, 15 November 2010 15.10 WITA- siang hari yang amat sangat panas...


Cerita Lainnya

Lihat Semua