info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mereka yang Telah Memilih... (untuk Sahabat-sahabatku)

Laili Khusna 27 November 2010
Senja ini, saat bersantai aku membaca status unik di home FB yang ditulis sahabatku, seorang Pengajar Muda: “Aku hrs menyiapkan 1 sarung siap basah utk mnutup tubuh saat mandi. Saat plg tepat utk mandi adl jam 5.30 pagi, saat pagi masih gelap dan jam 6 petang, saat hari tlh cukup gelap smentara genset blm dinyalakan. Kmr mandiku berdinding papan, yg tingginya sebatas leher, ada 1 lubang ukuran 40x40 cm di dindingnya yg menghubungkan kmr mandi dgn kandang kambing yg aku hrs menutupnya stiap kali mandi :D “ dan “Rumah: rumahku rumah panggung dari bambu dan papan, yg setiap kali kita melakukan gerak pindah, lantainya berkeriut-keriut. Jika malam tiba, babi hutan berkeliaran di bawah rumah, terkadang menyeruduk tiang rumah.. Woww.... Whatta great adventure, haaa?” Memoriku melayang ke momen sepuluh hari lalu. Ketika sesi sharing terakhir dengan para pengurus Yayasan IM sebelum kami terjun ke daerah penempatan, ia menuturkan kisahnya. Sebenarnya beberapa bulan lagi ia mendapat jadwal untuk trip keliling beberapa negara sebagai bonus dari bank besar tempat ia bekerja. Free. Ia bisa menikmati perjalanan wisata ke tempat-tempat eksotis di luar negeri. Impian yang didambakan hampir setiap orang dan bukan hal mudah untuk didapatkan. Namun siapa sangka ia membatalkan itu semua demi menjadi guru SD di pelosok pertiwi. Dengan mudah ia memperoleh segala kenyamanan duniawi, mulai dari gaji yang cukup besar dan segala hal yang bisa ia nikmati. Apalagi ia masih gadis, hidup untuk dirinya, belum memiliki tanggungan. Ditambah, royalti atas novel karyanya yang tembus Best-Seller sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sekarang, ia harus hidup di sebuah desa terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota, tinggal di rumah papan berderit, “ditemani” babi hutan setiap malam, mandi dengan “strategi” tertentu, dan susah listrik. Ketika ditanya mengapa ia memilih jalan menjadi pengajar di daerah, ia hanya mengatakan, “untuk apa satu pekan keliling Eropa dibandingkan satu tahun mengabdikan diri di daerah?” Jawaban semacam itu juga terungkap dari pengajar lain yang bekerja di P & G Singapore dan memegang posisi penting untuk wilayah Asia dan Australia: “Aku merasa belum memberikan apa-apa untuk bangsa ini.” Pengabdian. Sebuah kehormatan (demikian kata Abah Iwan Abdurrahman). Sebagian orang bisa jadi menganggap sahabat-sahabatku itu sok idealis atau apapun istilahnya. Tapi peduli apa mereka dengan kata orang? Mereka hanya ingin berbuat, sekecil apapun yang mereka bisa, meski harus menanggalkan segala bentuk kenyamanan yang dapat mereka nikmati setiap saat. Mereka hanya sedikit contoh dari puluhan sahabat-sahabatku Pengajar Muda. Ada yang memilih resign dari Unilever, Astra, Tempo, ada pula yang menolak beasiswa S2 Jepang tahun ini karena ia memilih mengajar di pelosok negeri. Masih terekam baik di memoriku, empat bulan lalu saat mengetahui program ini. Sebagian rekanku di kampus bersemangat mengikuti, sebagian memilih mencari pekerjaan mapan dan hidup “lurus” sebagaimana sarjana pada umumnya atau seharusnya menurut ukuran tak tertulis dari masyarakat. Bahkan, tak jarang orang menganggap kami ini pegawai honorer yang jika rajin nanti bisa cepat diangkat menjadi pengawai negeri sipil dan dipindahkan ke daerah yang lebih bagus menurut pandangan mereka. Jadi, bagi beberapa orang lebih baik mencari pekerjaan yang “normal” saja. Itu pilihan, bukan kesalahan orang memilih apa untuk diri mereka. Sekali lagi, pilihan. Maka, ketika di IM aku bertemu sahabat-sahabat yang memiliki pilihan untuk keluar dari zona nyaman dan bersedia ditempatkan di pelosok dengan segala kesulitan, aku bergetar dan merasa malu. Malu, sebab aku merasa tidak berada di antara pilihan-pilihan yang sulit dibandingkan dengan sahabat-sahabatku itu ketika memutuskan bergabung dengan IM sebagai pengajar. Aku bersyukur dipertemukan dengan mereka, orang-orang yang telah memilih jalan ini. Orang-orang yang (barangkali) dulu pada hari Senin pagi memakai jas atau blazer serta dandanan yang molek dan menarik, bersepatu hitam mengkilap atau sepatu hak tinggi, duduk di ruangan ber-AC, menghadap komputer dan setia menggenggam BlackBerry yang berbunyi setiap saat- pertanda sayap networking melebar; tapi pada Senin pagi satu tahun ini mereka berdiri di lapangan upacara dengan pakaian sederhana, bahkan mungkin sepatu, celana panjang atau rok sebagian pengajar belepotan terkena tanah becek, tangan siap terangkat ke dahi- menghormat pada Sang Merah Putih. Bagi yang tidak ada upacara di sekolahnya, mereka sudah siap dengan bahan ajar di tas dan sedang berdoa banyak-banyak sebelum belajar bersama putra-putri pertiwi. Aku yakin mereka tak akan pernah menyesal dengan pilihan yang mereka jalani saat ini. Malam Jum’at, 18 November 2010 Diiringi bunyi nyaring genset di belakang rumah...

Cerita Lainnya

Lihat Semua