Sang Guru Besar (Untuk Para Guru)
Laili Khusna 27 November 2010
Jum’at siang di tengah hujan gerimis, di sebuah rumah yang terbuat dari papan-papan lapuk tapi masih tegak berdiri di atas laut, aku berkenalan dengan seorang guru. Ia masih muda, berbadan tinggi besar (seperti kawanku di Jogja yang bernama Endar), berkulit hitam (barangkali karena tempaan panas matahari di atas lautan), dan penuh semangat- semangatnya tak kalah dengan besar badannya. Pak Guru ini senang bercerita dan humoris, berjumpa sejenak saja sudah banyak kisah mengalir darinya. Pertama kali datang di depan rumah tua itu, sahabatku sesama pengajar muda membukakan pintu yang agak sulit dibuka. Suaranya berderit, dan dengan tenaga ekstra sahabatku berusaha membukakan untuk rombongan kami. Aku pun masuk dan menjumpai sebuah ruangan agak pengap dengan lantai papan yang sebagian berlubang sehingga perlu kayu untuk menutupinya. Namun aku kagum sejenak karena melihat sebuah TV layar lebar dan CD room atau DVD room (maaf lupa) bertengger di ruangan itu- media pengusir kejenuhan apabila gensetnya dinyalakan tentu saja. Pak Guru duduk di hadapanku, di atas papan tanpa alas apapun, menuturkan cerita demi cerita dengan berapi-api. Dahulu ia bekerja di suatu perusahaan, namun karena beberapa sebab, ia keluar. Ia ikut kakaknya yang tinggal di sudut Kal-Tim, di sebuah daerah pasang surut air laut dengan hutan bakau di sekitarnya yang nama pulaunya tak tertera di peta Propinsi Kalimantan Timur, apalagi di peta Indonesia. Sebuah sekolah dasar di daerah itu kekurangan guru dan ia bersedia menjadi guru honorer meski bukan lulusan pendidikan tinggi. Ia mendapat gaji dari sekolah yang besarnya sama dengan guru-guru honorer lain yang amat sangat jarang sekali banget (hampir tidak pernah) hadir di SD bersangkutan. Ia bersama seorang guru lain (yang berstatus PNS) berjuang mendidik putra-putri negeri di pulau itu. Dua guru untuk enam kelas. Bagaimana caranya? Usai menjelaskan bla bla bla di kelas 1, memberi tugas pada siswa, beralih ke kelas 2, lalu kelas 3, begitu seterusnya. Hanya berdua selama berbulan-bulan bahkan beberapa tahun dan entah sampai kapan. Sore hari, ia mengantar dan membantu sahabatku- seorang pengajar muda yang ditugaskan di tempat tersebut untuk pindahan. Sahabatku mendapat tempat tinggal bersama sebuah keluarga saudagar, kaya betul. Rumahnya paling bagus di pulau itu. Sahabatku yang selama satu pekan ini tinggal di rumah tua bersama sang “guru besar” (Pak Guru berbadan dan bersemangat besar yang tinggal di rumah tua) harus berpindah rumah karena prasyarat yayasan mengharuskannya tinggal bersama keluarga angkat. Ketika menginjakkan kaki di rumah luas milik saudagar itu- berlantai keramik, berdinding beton, kursin sofa, tempat tidur springbed, meja rias- miris rasanya hatiku melihat guru besar meletakkan travel bag sahabatku di sebuah ruangan yang entah kapan ia akan menghuni rumah seperti itu, minimal kamar tidur sebagaimana yang akan ditempati sahabatku. Sepulang dari rumah saudagar ini, ia akan kembali ke perumahan guru- rumah tua berdinding papan, berlantai papan yang sebagiannya berlubang, hanya ada sedikit alas untuk diduduki, pintu yang berderit, MCK langsung cemplung, bersama televisi layar lebar yang hanya bisa hidup bila genset dinyalakan. Genset akan menyala bila ada bahan bakar yang harus ia beli terlebih dahulu. Namun tak tampak gurat kekecewaan atau penyesalan di wajahnya, entah ada tetapi tak terlihat atau memang tak ada, aku tak tahu. Keceriaan dan semangatnya membuatku percaya bahwa ia memang mampu melewati tantangan yang menempa dirinya menjadi guru kehidupan. Menjelang kepulangan rombongan kami, aku berbincang dengan Pak Guru Besar di sebuah jembatan. Melihat sosoknya, dengan semangatnya, aku yakin ia mampu menjalani amanahnya, meski bukan SK Pemerintah yang menugaskannya, namun setiap orang tahu tugas Pak Guru Besar mengajar putra-putri pulau itu (dengan caranya tentu saja) adalah amanah Tuhan. Ya. Aku percaya bahwa mengajar adalah amanah dari Yang Maha Tinggi. Kita dapat menjalani hidup dengan beragam cara karena pengajaran orangtua atau siapapun yang mendidik kita. Begitu seterusnya. Bahkan Tuhan mengajarkan nama-nama kepada Adam. Semenjak awal manusia ada, pengajaran adalah syarat utama berlanjutnya peradaban. Dan belajar adalah jalan utama membuka gerbang peradaban baru, sebagaimana anak Nabi Adam belajar cara mengubur dari seekor burung dan dimulailah tradisi mengubur. Demikian seterusnya. Maka, aku salut pada setiap guru di dunia, guru yang benar-benar guru, bukan sekadar tempel nama di daftar Dinas Pendidikan, bukan sekadar datang dan bercengkrama saja di kantor, bukan yang hanya berseragam namun tak pernah menjumpai murid-muridnya, bukan guru yang sebatas nama. Guru yang benar-benar berusaha menjalankan amanah dari Yang Maha Tinggi, guru yang mengajar dan belajar lebih banyak lagi, guru kehidupan di universitas kehidupan sebagaimana beliau- sang guru besar di rumah tua di sebuah pulau bernama yang namanya tak tertera dalam peta Indonesia. Kamis, 25 November 2010 Selamat Hari Guru: hari para pahlawan kehidupan
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda