info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sinetron dan Gayus Tambunan

Yuriza Primantara 22 Januari 2011
Saya termasuk salah seorang yang sangat membenci tayangan sinetron Indonesia yang sudah lama ini menjamur dan mengerak. Ketika saya masih kuliah dan melihat sekilas (sekilas loh, bukan sampai habis) tayangan sinetron dan reality-reality show-an di tv, saya berpikir apakah ada orang yang menonton acara seperti ini, jika pun ada saya penasaran seperti apakah orang itu. Dalam waktu menonton yang singkat itu, cukup bisa memberikan gangguan di otak dan perut mual-mual, dan cukup bisa memberikan gambaran pada saya untuk membuat critical review. Saya memang tidak begitu mengerti istilah-istilah perfilman, tapi rasanya tak perlulah saya mengetahui istilah-istilah rumit itu, tayangan yang bagus bagi saya cukup bisa dinilai dari cerita, scoring dan sinematografinya. Cerita yang hanya seputar dendam, benci, selingkuh dan pengambilan gambar yang nyaris monoton, hanya mengambil gambar dengan pola shoot wajah secara zoom, setting tempat yang itu-itu saja, bahkan selalu disertai kebetulan-kebetulan yang tidak masuk akal, pemain protagonis dan antagonis dapat bertemu dimana saja. Latar belakang musik dan scoring yang tidak pas dan monoton, bisa membuat kuping pegal dan kemudian turun ke hati, hati pun menjadi dongkol. Hal-hal itulah yang menjadikan saya sebagai pembenci tayangan sinetron nomor satu, saya melihat lebih pada sisi kualitas tayangan itu. Selama berada di Jaya Murni, dan melewati hari-hari yang berganti, siang berganti malam dan seterusnya,  telah memberikan jawaban yang telah lama mengusik saya. Pertanyaan dalam benak saya saat kuliah mengenai orang seperti apakah yang sering menonton tayangan gak mutu ini akhirnya terjawab sudah, jawabannya ada di hadapan saya, yaitu orang-orang yang akan menemani saya setahun di Jaya murni. Setelah listrik menyala, tv kemudian dinyalakan dan terpampanglah tayangan sinetron yang berdurasi cukup panjang, dan sesekali jika iklan, channel kemudian dipindahkan ke tayangan berita dan setelah itu dipindahkan lagi ke tayangan sinetron. Begitulah kenyataan setelah magrib di rumah The Marnos. Dalam hati saya berteriak “tidaaaak, shooting ala zoom di wajah, scoring yang itu-itu ajaa, teriak-teriakan karena selingkuhh, saya harus ketemu beginian sepanjang malam???!!!! You kidding mee!!!”. Saya miris melihat pemandangan bahwa keluarga angkat saya (the marnos) selama menonton tayangan itu seperti hanyut di dalamnya dan beberapa kali bereaksi seperti mengumpat jika ada adegan yang membuat mereka sebal. Saya juga miris melihat hasil karya orang-orang yang berprofesi sebagai insan sinema ini, aktor dan artis yang tampangnya elok ini mau-mau saja berperan di cerita yang tidak mutu, sutradara dan penulis cerita yang tidak kreatif, hanya becerita seputar tema yang sama (anak yang tertukar, anak yang hilang, selingkuh dan semacamnya). Fenomena menonton tayangan tidak mutu juga bukan hanya di rumah keluarga angkat saya, selama saya di sini, saya juga pernah sesekali bermain ke rumah tetangga, dan melihat pemandangan yang sama dengan di rumah keluarga angkat saya. Kalau tidak menonton sinetron, mereka menonton  tayangan reality show yang sungguh tidak pantas disebut reality. Tayangan yang penuh dengan pembualan ini disukai oleh mereka, sampai-sampai mereka geregetan, ketakutan, dan ceria karenanya. Saya hanya pura-pura menyukai acaranya dengan mengikuti ekspresi mereka. pengennya sih saya berdiri kemudian menunjuk mereka yang menonton sambil berkata dengan tegas “Woi kalian sadar! Kalian lagi dibodohin oleh mereka yang buat tayangan ini !!”  tapi tentunya niat itu mesti saya urungkan karena saya sedang menikmati minum kopi sajian dari mereka, bisa-bisa ditarik bayaran nanti atau malah disiram ke muka. Desa Jayamurni dan mungkin desa-desa lainnya di Indonesia, adalah target market yang besar dari tayangan-tayangan yang miskin mutu ini. Sungguh ironi melihat mereka tidak punya banyak pilihan tayangan media yang baik, ketika tayangan berita pun membawakan informasi-informasi yang pesimistis dan buruk, ataukah memang kondisi negara ini begitu buruknya, tidak ada berita yang menggembirakan. Saya juga coba untuk menyelidiki efek tayangan-tayangan ini di sekolah, saat saya tanya kepada anak-anak sd yang saya ajar apakah mereka suka menonton tayangan sinetron dan acara sejenisnya atau tidak, tidak semuanya menjawab suka. Bisa saja mereka yang suka menonton sebenarnya karena televisinya dimonopoli oleh orang tuanya yang merupakan penggemar sinetron dan sejenisnya, seperti yang terjadi di rumah saya, bu marno yang lembut dan baik berubah menjadi sosok yang suka memonopoli acara televisi di rumah. Buku tulis anak-anak SD Jayamurni pun mayoritas didominasi oleh cover yang bergambarkan aktor dan artis Indonesia. Saya kira itu bukan karena mereka ikut mendukung produk dalam negeri, tetapi karena mereka tidak punya pilihan lain ketika toko buku di dekat mereka menyediakan barang yang seragam. Masih mending jika aktor dan artis Indonesia itu adalah insan sinema yang menghasilkan karya-karya yang baik, seperti laskar pelangi misalnya, tetapi yang menjadi menjadi cover di buku anak-anak itu adalah aktor dan artis sinetron yang berdandan necis dan sexy dan ditambah gambar cuplikan sinetron yang mereka perankan, misalkan saat adegan pelukan dan pernikahan. Saya menganjurkan kepada anak-anak SD yang masih menonton acara sinetron dan sebagainya agar tidak lagi melakukannya dan sebaiknya mereka mengerjakan hal yang lebih berguna seperti mengerjakan PR atau membaca buku. Opsi yang kedua mungkin agak sulit dilakukan mengingat buku sumber ajar saja mereka tidak punya. Mau tidak mau memang peran orang tua adalah filter dari derasnya arus sampah dari media elektronik, tapi apa jadinya kalau filter itu tidak berfungsi, alih-alih menjadi filter, orang tua malah yang membuka arus tayangan tidak bermutu bagi anak-anaknya. Dan ini akhirnya menjadi PR buat saya dan teman-teman di sini, untuk memahamkan pentingnya pengawasan orang tua dalam keluarga pada khususnya dan memahamkan pentingnya pendidikan di keluarga pada umumnya. Lain sinetron lain lagi dengan berita, persamaannya adalah sama-sama membuat kepala pusing dan ingin bangun dari mimpi kalau ini mimpi. Menonton berita sekarang seperti menonton dagelan, sikap pemerintah yang lemah, terlalu banyak pencitraan dan tidak tepat sasaran, bertemu dengan media yang sedang giat menjatuhkan image pemerintah dan mencari-cari kesalahan pemerintah, menjadi simbiosis mutualisme yang sanggup menurunkan semangat cinta tanah air secara perlahan. Seperti kasus Gayus yang tengah ramai saat ini, koruptor sekaligus pelancong ulung ini membuat keluarga angkat saya bernafas megap-megap ketika mendengar banyaknya uang yang ia selewengkan. Sungguh gila menurut pak marno, sudah mendapat gaji besar di tempat ia bekerja, masih belum puas kemudian makan uang rakyat. Saya dan pak marno pun berdiskusi ringan, dan sepakat bahwa bukan dengan diberikan gaji besar maka seseorang itu lantas berhenti korupsi, tetapi karena pola pikir mereka bahwa parameter sukses itu adalah dengan menggemukan jumlah uang di rekening mereka. Pak Marno mengatakan bahwa dirinya sudah bersyukur hidup dalam keadaan seperti ini, walaupun menurutnya pas-pasan, setidaknya dia sudah menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat universitas dan melihat mereka bahagia dengan keluarganya. Mengenai pola pikir itu saya dan Pak Marno sepakat bahwa seharusnya para pegawai pajak ataupun pegawai lainnya baik negeri atau swasta dikirim ke desa-desa pelosok di Indonesia seperti yang dilakukan Indonesia Mengajar. Kalau mungkin Indonesia Mengajar khusus di bidang pendidikan, mereka bisa disesuaikan dengan bidang masing-masing tetapi dilakukan di daerah terpencil. Agar mereka lebih merasakan bagaimana realita kehidupan rakyat yang uangnya akan mereka urus nantinya. Tidak cukup tampaknya slogan “mensejahterakan rakyat” tanpa kita tahu seperti apa bentuk dan rasa dari “rakyat” itu sendiri. Tinggal di pelosok daerah atau saya lebih nyaman menyebutnya daerah yang cukup jauh dari pusat perekonomian, akan menjadi pelajaran berharga bagi para calon pegawai yang berstatus wni untuk memiliki pola pikir yang baik. Melihat keadaan masyarakat yang kurang mampu dan hidup bersamanya dalam waktu tertentu akan menjernihkan kembali apa yang dimaksud dengan mensejahterakan rakyat. Melihat para laki-laki dan perempuan dari yang muda sampai yang renta membanting tulang dari sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam hanya untuk mendapatkan uang sepuluh ribu Rupiah.  Dan dari apa yang mereka lihat, pola pikir mereka akan kesuksesan pun akan beralih dari awalnya mungkin adalah ingin memperkaya diri sendiri menjadi ingin mensejahterakan orang lain. Well.. saya tidak tahu ini akan ampuh atau tidak, tapi lebih baik dicoba terlebih dahulu, walaupun mungkin masih saja terdapat hati yang sudah tidak peka sekalipun mereka sudah tinggal bersama dengan masyarakat kurang mampu. Selagi masih ada daerah yang jauh dari pusat perkembangan ekonomi dan selagi masih ada masyarakat yang hidup di bawah atau pas di garis kemiskinan, itu bisa dijadikan laboratorium yang pas untuk menciptakan pelayan-pelayan negara yang baik. Kelak mereka akan berutang budi kepada masyarakat  yang telah mengajarinya nilai dari kehidupan.

Cerita Lainnya

Lihat Semua