info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Nyawaaaah.....

Yuriza Primantara 22 Januari 2011
Sebelumnya saya sudah menceritakan kegiatan bapak angkat saya selain ngajar yaitu nyawah dan meladang. Saya penasaran dengan kegiatan itu, oleh karena itu saya merekues  ke Pak Marno untuk ikut membantu dia di sawah. “alaaah, ngapain toh Mas Riza ke sawah...nanti keling loh” begitu kata Pak Marno ketika saya mengajukan permintaan. Saya tidak mau mendebat dan saya juga tidak menceritakan bahwa selama training IM pun pigmen saya sudah menghitam. Pak Marno pun meluncur dengan sepeda onthel yang dibelinya dari tahun 70an. Saya hanya melihatnya di balik jendela, sambil tersenyum manis dan melambai (oh salah, maaf ini adegan sinetron yang saya tonton). Wah, ini sayang sekali jika dilewatkan, saya kan di sini untuk mempelajari keunikan masyarakat yang tidak ada di kota. Pembelajaran masyarakat  saya di sini harus dimulai dari entitas masyarakat yang terdekat dari saya yaitu Pak Marno. Akhirnya ember pun bersambut (bukan gayung lagi) Bu Marno menawarkan saya untuk pergi menyusul ke sawah. Yessss akhirnya saya jadi pergi ke sawah, naik motor bareng Bu Marno menyusuri jalan dan kebon singkong untuk menemui Pak Marno di peraduan. Sawah itu terletak tidak begitu jauh (untuk ukuran jarak orang sini) dari istana Pak Marno. Pak Marno sedang duduk istirahat di pinggiran sawah saat saya dan ibu baru sampai. “sudah beres , Pak?” tanya saya “ya belum, wong nanti nyangkul lagi kok” begitu jawab Pak Marno dengan khasnya dia. Saya pun meminta jobdesk pada pasangan The Marno. Tanpa perlu menyusun proposal, saya akhirnya diberi tugas untuk membantu Bu Marno menanam benih.  “Nanam benih?wah gampang itu mah” jawab saya sok jago “nih, benihnya” Bu Marno memberikan sejumput benih padaku. Ternyata dia membawa banyak benih padi, “kira-kira sampai berapa banyak benih  yang ditanam hari ini, Bu?”tanya saya “ Ya semuanya, sampai penuh” kata Bu Marno sambil menunjuk areal sawah yang cukup luas. Wooow tugas yang berat tapi harus dicoba demi kehormatan saya sebagai laki-laki  tulen (jangan pernah diragukan ya). Bu Marno memberikan kuliah singkat cara menanam benih padi dan setelah itu saya langsung coba untuk menanam, tanah yang liat dan hitam tidak masalah. Setelah beberapa jam berlalu (iya, oke jujur baru beberapa menit) ampun dah...baru 5 baris dan 3 kolom saya menanam benih padi, saya langsung merasakan kecapekan karena kepanasan. Sementara saya melihat hamparan sawah masih luas untuk ditanam dan Bu Marno masih dengan gagahnya menanam padi dengan tangkas. Oh no!! Predikat saya sebagai pemuda tulen hancur berkeping-keping. Kepalang sudah hancur kehormatan saya, saya pun bilang ke pak dan bu Marno untuk istirahat. “Saya istirahat dulu ya , Pak, Bu” kata saya “iya Mas Riza istirahat saja kalo capek, daripada nanti pingsan di sawah” kata Pak Marno. Jlebb..perkataan itu menyinggung sisi kejantanan saya, saya coba mengelak dengan elegan “ Sebenarnya ga cape, cuma kepanasan aja, belum terbiasa” hehe bisa aja saya ngelesnya (dengan jantan saya mengakui saya ngeles). Saya kemudian istirahat di pinggir sawah, duduk dan berteduh di bawah pohon sambil melihat pasangan suami istri yang usia keduanya sudah melewati setengah abad. Saya termenung dan kagum melihat semangat dan kerja keras mereka di sawah. Pak Marno menyangkul sawah dan Ibu Marno menanam benih padi. Bagi saya ini merupakan momen romantis khas desa, ketimbang potret romantis yang selalu digambarkan pasangan muda, laki-laki dan perempuan yang gombal-gombalan dengan penerangan temaram ala candle light. Tenaga mereka tidak menunjukkan usia mereka, seolah-olah tidak ada habisnya tenaga mereka untuk mencangkul dan menanam. Saya sungguh kagum dengan perjuangan mereka, masing-masing memiliki kehebatan yang harus saya ceritakan, ya..harus saya ceritakan. Perjuangan Pak dan Bu Marno akan saya ulas di kesempatan berikutnya. Tiba-tiba saya tersadar dari lamunan saya ketika Pak Marno memanggil saya. Ia mengajak saya untuk berkeliling sawah dan kebon yang ia miliki. Saya lalu dengan lincah menghampirinya. Dengan telanjang kaki Pak Marno dan saya berjalan berkeliling.  Ia memulai dari kebon sawit yang dimilikinya, wow dalam hati saya kagum, walau tak seberapa luas tapi hebat juga ia mampu mengelolanya sekaligus dengan sawah yang ia miliki. Kaki telanjang ini membuat saya kesakitan karena di sekitar kebon sawit banyak duri yang bercecaran tetapi melihat Pak Marno biasa saja dan terus berjalan membuat rasa sakit itu saya biarkan. Dia membawa saya ke sawah yang berikutnya, lagi-lagi saya kagum, kali ini saya melihat areal sawah yang sudah ditanami padi dan tinggal menunggu panen terhampar luas. Sulit masuk di akal saya, ini dikerjakan hanya berdua oleh The Marno’s. Pak Marno terus menuntun saya jalan ke areal tanah yang dimilikinya “ayo Mas Riza” ajak Pak Marno “oh, siap pak” kata saya dengan percaya diri, padahal dalam hati saya sudah berteriak-teriak “oooyy paak, udah ya paak, capek paak, tega bener dah ah” Pak Marno mengajak saya mencari keong di sawah untuk dibuang karena keong ternyata digolongkan hama padi dan sungguh saya baru tahu itu. Sudah tiga ribu lima ratus satu keong ( oke..Cuma 50 keong) yang saya ambil dan buang dari sawah, tenaga pun sudah menurun plus udara panas yang menyengat. Pak Marno kemudian kembali mengajak saya jalan lagi menyusuri sawahnya yang lain “oh, ada lagi pak?siap pak” kata saya, “jalan lagi?bunuh aja sekalian” kalau kata hati saya. Akhirnya saya sampai ke tempat semula dan selama saya dan Pak Marno berkeliling, Bu Marno berhasil menanam benih seluruhnya, Ya Allah hebat sekali perempuan ini, ternyata hal yang saya kira mustahil untuk selesai sehari ternyata selesai juga. Pak Marno masih meneruskan mencangkul, kali ini saya sedikiit memaksa untuk merasakan mencangkul di sawah. Pak Marno sepertinya tidak ingin melihat saya merengek-rengek di tengah sawah, ia pun memberikan senjatanya itu pada saya. Serah terima cangkul sudah dilaksanakan, dengan lihai saya mulai mencangkul. Saya sebelumnya berkata dengan jumawa ke Pak Marno bahwa kalau mencangkul saya lebih bisa karena ini sangat laki-laki sekali dibanding menanam. Ternyata setali tiga uang dengan menanam, saya mencangkul hanya kuat beberapa kali cangkul saja. Kembali, harkat dan martabat saya sebagai laki-laki tulen diragukan. Udara panas (ini beneran, bukan ngeles)membuat keringat saya keluar sebesar jagung. Pasangan itu pun akhirnya menyusul saya untuk istirahat. Kami bercanda tawa di pinggir sawah membicarakan keahlian saya di sawah, setelah itu kami pun pulang ke rumah. Hasil sawah Pak Marno digunakan untuk keperluan pribadi, Pak Marno mengaku selama 21 tahun hidup di sini ia belum pernah beli beras, semua beras yang dimakannya itu dari sawahnya yang dijatuhi oleh keringatnya sendiri. “gimana Mas Riza?Kapok?” tanya Pak Marno sambil tertawa “nggak pak, masih ada setahun, masih ada waktu buat belajar di sawah” kata saya tertawa.  Pelajaran yang saya ambil di sawah itu cukup banyak, betapa mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dan menghemat pengeluaran, dan kekompakkan serta semangat yang tidak kendur oleh usia. Padahal mereka bisa saja menyuruh orang upahan untuk mengurus sawah tapi selama masih bisa mereka berprinsip untuk mereka sendiri yang melakukannya. Pembicaraan saya dan Pak Marno terhenti ketika Bu Marno membawa piring berisikan mie rebus telor sebagai hidangan istimewa setelah kami nyawah. Wah sungguh penutup yang nikmat! Nyam nyam!

Cerita Lainnya

Lihat Semua