Hari pertama mengajar kelas kecil dan si Komang
Yuriza Primantara 22 Januari 2011
Yak penghujung minggu kedua saya mendapat kesempatan untuk menggurui (kesannya songong ya) kelas kecil. Kelas 3B asuhan Ibu Hesti akan dibajak oleh saya setiap hari sabtu untuk mengajar Bahasa Indonesia. Saya sudah melengkapi persenjataan saya sebelum masuk kelas menghadapi anak-anak kelas kecil yang lucunya bisa minta ampun dan bisa juga jengkelinnya minta ampun, dengan seperangkat buku cetak, spidol dan penghapus, dan kumpulan doa-doa rukiyah...oke yang terakhir ngga. Tubuh saya telah masuk kelas, jiwa saya kemudian menyusul ikut, seketika saya melihat manusia-manusia mini tersebut tersenyum ke saya...hehe wow i love them. Saya mulai memperkenalkan diri saya dan juga coba berkenalan dengan mereka. Saya mengabsen seperti biasa dengan memanggil nama dan mereka mengacungkan tangan sambil menyuarakan suara binatang kesukaan, tentu diantara mereka ada yang malu-malu dan ada yang semangat juga tetapi semua anak itu terlihat bahagia. Ada yang selalu menarik dari pengalaman saya mengabsen dengan cara seperti ini, hampir sebagian besar dari anak-anak di kelas yang saya ajar memfavoritkan binatang kucing. “Meong” begitu mereka membunyikannya, terutama anak-anak berkromosom XX yang memang sebagian besar pemalu. Sedangkan inovasi untuk membunyikan suara binatang yang lain jarang sekali dan lebih sering dilakukan oleh anak laki-laki dan itu pun tidak banyak hanya seputar suara kambing dan sapi, mungkin yang paling berbeda adalah suara serigala.
Di kelas ini pun kembali terulang, gerombolan suara kucing dominan terdengar, jarang ada variasi suara yang lain. Baiklah semoga saja mereka bisa berinovasi menemukan suara yang lain dan berani membunyikannya, hehe mungkin keberanian mereka ini bisa menjadi SALAH SATU indikator derajat rasa malu mereka berkurang dan rasa percaya diri mereka bertambah, oke saya bisa gunakan indikator ini sebagai progress untuk mengubah mereka menjadi lebih percaya diri dan kreatif.
Saya menanyakan pada mereka, “pelajaran apa ya sekarang, nak?” pertanyaan yang sebenarnya bisa dijawab ketus oleh mereka jikalau mereka mau, seperti “Masa yang mau ngajar malah yang nanya sih” atau yang lebih kejam “Liat bapak bawa buku apa itu, susah amat...” . Untungnya mereka selalu menjawab dengan antusias “Bahasa Indonesia, Paaak”. Kelas 3 ini dapat dikatakan lumayan aktif, mereka selalu merespon pertanyaan saya dengan kecepatan dewa. Sebelumnya saya sudah diwanti-wanti oleh guru kelas 3 ini nominasi troublemakernya siapa saja, tapi menurutnya ada yang paling menonjol. Ternyata di kelas 3 ini bersemayam seorang anak yang sudah seharusnya kelas 6 tetapi tampaknya ia “betah” dan ingin memperdalam pelajaran “calistung” hingga ia merelakan untuk tidak naik kelas (saya tidak bisa menyebut anak ini kurang mampu... nah itu bisa). Anak itu bernama Agung, perawakannya memang terlihat menonjol dibandingkan anak-anak lainnya, besar dan tinggi.
Pelajaran di kelas 3 ini saya mencoba untuk menjelaskan cerita, dan untuk melatih visual, auditori, dan kinestetik saya mendiktekan cerita kemudian mereka menulisnya, itu untuk melatih pendengaran. Setelah mendikte kemudian saya mengganti metode untuk melatih visual mereka dengan menuliskannya di papan tulis. Jadi jika cerita itu terdiri dari 4 paragraf, dua paragraf pertama akan saya diktekan dan dua paragraf akhir saya tulis di papan tulis. Ketika saya coba untuk mendiktekan banyak anak-anak yang protes dan bilang kalau saya berbicaranya terlalu cepat, akhirnya saya coba untuk lebih pelan dan mengucapkan 3 kata terlebih dahulu lalu mereka menulis kemudian saya tingkatkan dari 3 kata menjadi satu kalimat tanpa terputus agar mereka terbiasa. Namun, untuk mencapai satu kalimat tanpa terputus tampaknya sulit untuk dicapai hari ini, semoga mungkin di hari-hari berikutnya bisa.
Untuk menghemat waktu dan menghindari mereka menganggur pada saat nanti bagian melihat di papan tulis, saya mendiktekan bagian awal cerita dan sekaligus menuliskan bagian selanjutnya di papan tulis. Jadi mereka tidak perlu menunggu setelah saya selesai membaca kemudian baru menulis di papan tulis, tetapi setelah saya selesai diktekan paragraf- paragraf awal , saya pun sudah selesai menulis untuk paragraf-paragraf akhir. Tidak ada waktu untuk mereka jeda menulis, walhasil saya harus bisa multitasking membacakan cerita pada paragraf awal dan bersamaan dengan itu tangan bergerak menuliskan bagian-bagian paragraf akhir. Kadang-kadang saya suka terbalik, yang seharusnya saya bacakan malah jadinya saya tulis.
Akhirnya saya selesai menulis di papan tulis sebelum saya beres mendiktekkan. Jadi saya bisa gunakan waktu untuk mengontrol mereka selagi mereka melihat tulisan di depan. Sungguh menarik dan lucu sekali, jika melihat anak-anak ini membaca tulisan di depan sambil menulisnya. Mereka membacakan ulang tulisan-tulisan itu dengan suara mereka yang imut, maklum mereka baru tahap memperlancar membaca. Cara mereka membaca itu membuat kelas seperti memiliki panduan suara. Setelah mereka selesai menuliskan semuanya, kemudian saya memberikan pertanyaan yang mengharuskan mereka membaca keseluruhan cerita yang mereka tulis untuk bisa menjawabnya.
Sambil patroli di kelas, saya melihat ada gelagat aneh dari seorang anak yang duduk di belakang pojok, sendirian. Anak ini sangat pendiam bahkan terlihat saat absen suara binatang, dia tidak membunyikan suara apapun, saya memakluminya dan menganggap dia membunyikan suara semut atau singa bisu. Tiba-tiba anak-anak yang duduk di belakang ribut dan berteriak “Uhh Bauu!! Bauu!!” sambil menunjuk anak itu. “Pak, Komang ngising di kelas pak!” ujar seorang anak, saya pun menanggapi dengan menanyakan langsung padanya dan memang setelah saya mendekatinya tercium aroma tidak sedap. “Kamu kalau ingin buang air silakan izin saja ke WC, tidak apa-apa kok” kata saya dan dia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Beberapa menit kemudian kelas kembali heboh, kali ini baunya kian menyengat, saya pun mulai tegas pada Komang untuk mempersilakan buang air terlebih dahulu di WC. Ia pun mau dan keluar dari kelas, saya mengamati dari pintu kelas memastikan ia berjalan menuju WC. Komang tidak berjalan menuju WC tapi malah ke belakang gedung sekolah, ya sudahlah saya biarkan saja (jahat ya saya, bingung deh beneran). Kemudian saya menenangkan anak-anak di dalem kelas yang penasaran ingin melihat tempat duduk Komang, mereka antusias sekali untuk melihat apakah ada sesuatu di TKP itu, sebelum gelombang antusias ini makin membesar saya berupaya untuk menahannya dan tiba-tiba....Komang muncul lagi ke kelas.
Dan saat ia berjalan menuju ke saya, tiba-tiba aroma itu makin menyengat dan anak-anak pun pada ramai ribut. Saya pun bingung melihat keadaan chaos begini, di satu sisi saya kasian ingin mengajar mereka di sisi lain masalah perut Komang ga bisa dikompromikan. Saya pun langsung berlari ke kantor minta usul dan minta bantuan, apa yang harus saya lakukan menghadapi seperti ini, apa pun saya lakukan kecuali nyebokin. Akhirnya Ibu Ambar guru kelas 3 bilang pada saya untuk istirahat dulu saja kelasnya walaupun belum lonceng istirahat. Dia menyuruh anak-anak kelas 3 untuk mengepel dan membersihkan TKP, sementara Komang?Komang dipulangkan karena ia di sekolah pun akan menyiksa dirinya sendiri dan menyiksa hidung temannya.
Saya hanya terdiam seribu kata melihat ini semua, anak-anak membersihkan kelas dan Komang pulang. Benar-benar pengalaman pertama mengajar kelas kecil yang tidak terlupakan...sajian pembuka yang tidak terlupakan. Ibu Ambar tertawa lepas melihat nasib saya “Wah Pak Riza baru mengajar kelas 3 sudah disajikan seperti itu, ha ha ha” katanya. Usut punya usut ternyata si Komang anak bali itu memang mempunyai hobi seperti itu tetapi terakhir ia keluarkan saat ia kelas 2, betapa beruntungnya saya mendapat kesempatan seperti ini.
Selama jam istirahat saya termenung walaupun rekan-rekan guru menghibur saya tetapi ga ngaruh, masih ada bayang-bayang kejadian itu. Seharusnya setelah saya mengajar kelas 3 tadi saya sudah tidak ada jam mengajar lagi hari itu tetapi karena adanya guru-guru yang ga masuk dan ditambah permintaan dari anak-anak, maka sayalah yang mengisinya. Dan celakanya 3 kelas mengalami vakum of teaching dan saya menjadi bahan rebutan anak-anak yang haus belajar ini. Di tengah kebingungan dan bayangan kejadian tadi pagi, saya terharu dengan semangat belajar mereka “pak ngajar kelas ini paak” ada lagi yang menyahut “kelas ini saja paak”. Sungguh saya sangat senang sekali, maka saya pun berinisiatif mengajar 3 kelas sekaligus. Kelas 3 dan kelas 4 saya gabung karena kebetulan pelajarannya sama yaitu bahasa Indonesia, saya pun kemudian menjelaskan dan memberikan tugas kepada mereka untuk menceritakan silsilah diri dan cita-cita mereka. saya harus beradu suara dengan gabungan kelas 3 yang kelasnya sedang dibersihkan paska kasus Komang dan kelas 4 yang aktifnya minta ampun. Untuk melawan suara kencang mereka, saya tidak lekas langsung berteriak melawan suara mereka tetapi saya gunakan suara yang kecil untuk mendiamkan mereka and...it work!!
Kelas 5 saya masuk menjelaskan sebentar dan memberikan soal pelajaran IPS. Mengajar 3 kelas membuat saya harus meningkatkan mobilisasi. Udara panas dan jalan bolak-balik sukses membuat saya berkeringat sebesar-besar jagung.
Tapi sungguh menyenangkan mengajar anak-anak ini karena bisa memenuhi semangat belajar mereka yang tinggi. Kejadian pagi yang membuat saya depresi kini sudah mulai terlupakan, saya senang memiliki passion ini dan sungguh enjoy mengajar. Tugas saya adalah menjaga semangat anak-anak ini untuk tetap semangat belajar dan kalau bisa menyadarkan para guru-guru untuk semangat juga belajar, agar supply bisa sama dengan demand, kalau dalam istilah ekonomi mah gitu... kalo ga salah...
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda