info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

H-1 Hari Guru

Yuriza Primantara 22 Januari 2011
Minggu ini adalah minggu dimana hari guru dirayakan. Tanggal 25 november, guru-guru di seluruh Indonesia diberi penghargaan menjadi raja dalam sehari. Tapi apakah dengan diberinya satu hari dari 365 hari dapat membuat para guru sejenak merasakan keistimewaan?well, mungkin jawabannya bisa ya dan tidak tetapi saya bisa menjawabnya dengan yakin: tidak. Saya begitu yakin dengan jawaban ini melihat kondisi yang saya alami pada guru-guru di Jayamurni, lebih spesifik lagi Pak Marno, bapak angkatku. Sehari sebelum hari guru saya kebagian mengajar ips kelas 4 yang membahas pelajaran sejarah. Malam sebelumnya saya sempat berguru pada Pak Marno tentang bagaimana tips-tips versi dia untuk pelajaran IPS cabang sejarah. Kalau menurut Mister Marno  cara mengajar sejarah adalah dengan menceritakan materi yang diajarkan. Saya agak takut dengan gaya mengajar macam ini... tapi  toh saya memang harus mencobanya sekalian melatih kemampuan storytelling saya. Kata Monsieur Marno (tadi mister sekarang monsieur, biarin aja ah suka-suka) pelajaran sebelumnya itu tentang candi borobudur jadi pilihan saya tinggal meneruskan atau mereviewnya. Saya kemudian membuka buku BSE saya untuk mengerjakan dokumen yang terdiri dari 3 huruf keramat: RPP alias Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP hidupku RPP matiku). Hehe membaca buku pelajaran SD membawa saya ke jaman saya masih ingusan (alhamdulillah sekarang sudah sembuh, kan ada obat flu) jaman permainan sega dengan kaset-kasetnya yang tebal masih berjaya, jaman bermain tanpa beban, benar-benar memutar memori saat saya SD dan membuat saya senyum-senyum sendiri. Selain dari buku BSE, saya juga coba membandingkan dari sumber bacaan yang dipakai oleh Pak Marno. Ternyata Pak Marno memakai buku cetak yang belum berformat kurikulum KTSP. Beliau masih konsisten memakai buku jaman kurikulum lama sebagai pegangan walaupun ia juga mempunyai buku cetak kurikulum KTSP. Belakangan saya baru tahu ternyata guru-guru JayaMurni juga seperti itu. Alasan Mister Marno keukeuh memakai buku itu karena ia menganggap buku itu mempunyai uraian cerita yang lebih lengkap, ya memang sangat cocok dengan gaya mengajar dia. Saya pun mengakui buku IPS KTSP (setidaknya yang punya saya) tidak selengkap kitabnya Mister M to the arno dalam hal cerita, semisal riwayat kerajaan-kerajaan dan penjelasan candi-candi. Dan untuk keperluan mengajar saya, saya coba kombinasikan dua kitab ini menjadi sumber terpadu ala Yuriza Primantara dengan metode cocomotan (comot sana comot sini). Esoknya saya dengan gagah memulai mengajar untuk yang pertama kalinya di kelas 4. Sebelum saya melangkahkan kaki semampai saya ke ruang kelas, dalam benak saya timbul pertanyaan liar yang mungkin akan selalu muncul ketika saya pertama kali mengajar suatu kelas, jenis monster kecil apa yang akan saya hadapi?itu bunyi pertanyaannya. Saya masuk, dan anak-anak itu tersenyum malu-malu, dan ada sebagian yang ketawa-ketawa mungkin mereka menyangka kepala sekolah sedang berbaik hati mendatangkan badut dari Jakarta. Namun...Oh.... setiap detik saya melihat mereka tersenyum malu-malu dan antusias, saya selalu menjadi semangat dan mengalihkan perasaan-perasaan yang mengganjal. Pelajaran saya buka seperti biasa dengan perkenalan diri  dan penyepakatan peraturan kelas. Sebelum saya memulai ke materi yang diajarkan saya coba untuk mengulas pelajaran sebelumnya, untuk itu saya bertanya kepada anak-anak. Mereka bilang Pak Marno sudah membahas sampai candi Borobudur. Saya sudah tahu jawabannya tetapi sengaja bertanya untuk sedikit awalan saja, supaya saya juga tahu mereka memperhatikan atau tidak. Saya kemudian memulai mengajar dengan RPP versi saya tanpa mengesampingkan materi yang sudah diajarkan Pak Marno. Saya memulai pelajaran sejarah ini dengan coba menyentuh kehidupan di rumah mereka masing-masing. Berhubung materinya mengenai peninggalan sejarah saya kemudian bertanya pada mereka, apakah di rumah mereka ada foto-foto keluarga dan foto kakek nenek. Tidak banyak dari mereka yang mengacungkan tangan, lalu saya bertanya kepada mereka mengapa foto itu perlu. Sedikit dari mereka menjawab “untuk mengenang, Paak” saya langsung senang dengan inisiatifnya dan jawabannya memang benar. Kemudian saya bertanya tentang apa itu peninggalan sejarah dan mengapa harus ada peninggalan sejarah dengan mengkaitkan jawaban tentang gunanya foto. Di bagian ini tampaknya saya perlu menjelaskan, mereka sepertinya terlihat sulit menghubungkan dengan masalah perfotoan tadi. Materi yang saya bahas mencakup peninggalan sejarah dengan macam-macam jenisnya. Saya agak kesulitan mengetahui sejarah setempat, setelah tanya-tanya ke guru pun sedikit yang mereka ketahui tentang Kerajaan Tulang Bawang. Jadi saya pun tidak begitu banyak membahas sejarah daerah Tulang Bawang di depan anak-anak. Proses mengajar pun saya nikmati dengan metode tanya jawab kemudian menjelaskan. Ada momen yang menggelitik saya, ketika saya menjelaskan mengenai prasasti, saya memberikan contoh-contoh prasasti di Indonesia salah satunya prasasti Ciaureuteun Jawa Barat. Jika anak-anak tidak tahu prasasti itu apa, itu masih wajar, tapi jika mereka tidak tahu Jawa Barat atau malah Jawa itu dimana, saya harus berkata apa?haha. Mereka dengan polosnya menjawab Jawa Barat itu di sebelah Mesuji –mesuji adalah kabupaten yang bertetangga dengan TBB- mereka menetralisir kekesalan saya dengan senyum polosnya. Memang enak sekali jadi bocah, ngelantur dikit tinggal cengar-cengir, nah kalau pejantan akil balig seperti saya ngelantur, bisa-bisa saya di... (isi sendiri). Kejadian ini membuat saya jadi mikir, ke depannya saya akan membawa peta untuk mengenalkan Indonesia pada mereka dan setelah itu kemudian mengenalkan dunia dan selanjutnya akhirat (loh?!). Secara umum anak-anak kelas 4 ini aktif dan hidup sehingga menjadi bensin saya untuk tetap bersemangat pada hari itu. Sebelumnya guru-guru diumumkan di kantor bahwa hari rabu sampai kamis sekolah diliburkan dan anak-anak belajar di rumah. Ketika saya mengumumkan ke anak-anak kelas 4 tentang hal itu mereka kemudian bertanya, “berangkatnya kapan, Pak?” saya kebingungan menjawabnya, kok pertanyaannya out of the box sekali, ibaratnya saya menceritakan tentang Angelina Jolie eh mereka bertanya tentang Yati Pesek. Saya menjawab, “setaun lagi bapak berangkatnya, anak-anak” saya menjawab sekenanya saja, saya pikir mereka belum tahu berapa lama saya di sini. Anak-anak tiba-tiba ribut dan bingung “lama sekali paak” kata mereka kompak, sial mereka ga seneng dengan kehadiran saya. Tidak Cuma murid-murid kelas 4, kelas-kelas lain pun begitu ketika saya masuk ke kelas-kelas yang kosong gurunya, mereka selalu bertanya “berangkatnya kapan, pak?” setelah saya berkata “besok belajar di rumah ya anak-anak”. Haha kebingungan itu pun akhirnya terpecahkan, setelah saya melihat keanehan yang tidak wajar ini, kemudian saya bertanya pada rekan guru dan mendengar saya bertanya eh mereka malah tertawa. Mereka bilang berangkat itu artinya masuk sekolah, hmmm pantesan. Dalam hati saya..... hmm ini dia local wisdom.

Cerita Lainnya

Lihat Semua