info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Class Meeting: THIS IS JAYAMURNI !!!

Yuriza Primantara 8 Mei 2011
Masih ingat film 300? Ingat semangat heroik Leonidas membawa pasukannya melawan pasukan Xerxes? Masih ingat teriakan keras ala Leonidas “This is Spartaaaa!!!” yang menggelorakan api semangat pasukannya yang hanya berjumlah 300, melawan pasukan Xerxes yang berjumlah 10.000 orang ? Sudah ingat? Sekarang bayangkan jika pasukan berisi 300 lelaki berperut 6 kotak itu dengan semangat membara menggempur pasukan lawan yang jumlahnya lebih sedikit. Bisa dibayangkan pasukan lawan tersebut akan diberi kemudahan dalam usaha mereka untuk bunuh diri, ya... melawan pasukan 300 yang melegenda itu kalau dengan pasukan yang jumlahnya lebih sedikit , apalagi namanya kalau bukan bunuh diri. Dan bagaimana jika ada pertempuran yang benar-benar tidak imbang antara pasukan 300-nya Leonidas melawan 1 orang? Well, hanya mukjizat yang bisa menyelamatkan orang itu. Atau mungkin dia tidak perlu mukjizat, cukup pakai otak kancil (baca:cerdik) untuk mengalahkan makhluk-makhluk  yang berkadar testosteron tinggi itu. Misalnya orang itu bisa berpura-pura menjadi penjual jajanan SD Jayamurni (nama SD saya)yang pernah sukses membuat perut saya mules-mules. Jajanan bisa diberikan secara gratis sebagai pancingan untuk musuh. Dengan memakan jajanan itu maka pasukan 300 yang terkenal six pack itu akan mules-mules perutnya lalu kemudian takluk. Dan orang itu dengan memakai kedok sang penjual jajanan SD Jayamurni-lah yang menjadi pemenang! Menyoal pengantar tadi, selain menegaskan mengenai tidak ada hubungannya punya perut six pack dengan bebas mules (mau perut 6,5 pack pun, mules mah mules aja), juga tentang kondisi yang hampir mirip dengan gambaran pertempuran tak imbang itu (1 orang melawan 300 orang)yaitu ketika saya mengadakan Class-Meeting di SD Jayamurni dan SMP Satu Atap Jayamurni. Sesudah ujian semester selesai ada jeda waktu 5 hari sampai pembagian raport, waktu jeda itu saya gunakan untuk mengadakan Class-Meeting. Saya ingin mengadakan Class-Meeting untuk mendekatkan saya dengan anak-anak dan juga untuk membuat anak-anak ini menjadi anak-anak yang seharusnya, bermain dan berenergi. Sebelumnya saya mengadakan investigasi dahulu ke guru-guru mengenai bagaimana Class-Meeting yang biasanya diadakan di SD Jayamurni. Hasilnya adalah : Class-Meeting jarang dilakukan dan kalaupun dilakukan hanya pada hari kemerdekaan saja, dan Class-Meeting biasanya menggelar pertandingan olahraga antarkelas. Biasanya diadakan pertandingan sepakbola antara kelas 5 lawan kelas 6 lalu pemenangnya diadu dengan SMP. Namun dari metode itu hanya kelas-kelas tertentulah yang mengikuti pertandingan, hanya kelas 5,6 dan SMP, lalu bagaimana dengan kelas lainnya? Untuk itu beberapa hari sebelum ujian semester selesai saya mencoba menemukan bentuk Class-Meeting yang bisa melibatkan semua kelas. Akhirnya saya coba membuat pertandingan dengan melibatkan kelas 3 hingga kelas 6. Cabang olahraga yang diselenggarakan sejauh ini baru sepakbola dan bulu tangkis tapi tidak menutup kemungkinan ada cabang olahraga tambahan jika anak-anak mau. Saya mengumumkan pada anak-anak bahwa sekolah akan mengadakan Class-Meeting, dan siapa yang mau ikut boleh daftarkan nama dan kelasnya. Pertandingan saya upayakan untuk adil jadi tidak mungkin saya adu antar kelas, misalnya tidak akan digelar pertandingan kelas 4 lawan kelas 6, mengingat ada perbedaan postur tubuh yang signifikan bisa-bisa ada yang tergilas dan menggilas nanti, atau malah ada Gito Gilas (aktor tahun 90an). Oleh karena itu saya mencoba membuat tim yang beranggotakan 6-7 anak lelaki yang komposisinya diatur sedemikian rupa agar terdiri dari kelas 4 hingga kelas 6. Dan terbentuklah 9 tim untuk bermain bola, sedangkan untuk perempuan diadakan pertandingan bulu tangkis. Sementara untuk kelas 3 akan diadakan pertandingan antar sesama kelas 3, kebetulan ada dua kelas, kelas 3 a dan kelas 3 b. Kelas 1 dan kelas 2 sayangnya saya belum menyentuhnya, semoga Class-Meeting berikutnya akan saya sertakan. Saya kemudian menawarkan konsep ini ke guru yang lain dalam hal ini guru olahraga selaku kuncennya masalah olahraga dan wakil kepala sekolah selaku pemberi acc kegiatan. Awalnya saya mendekati terlebih dahulu guru olahraga SD Jayamurni, berharap bisa turut membantu menyukseskan acara ini. Sebelumnya saya menganalisis bahwa jika saya langsung mengusulkan ide ini ke wakil kepala sekolah maka akan berdampak tidak baik bagi psikologi guru olahraga itu. Saya menduga ia akan merasa terlangkahi jika ide ini datang dari saya, mengingat ialah yang punya tanggung jawab di bidang olahraga. Oleh karena itu saya coba berbicara dengan dia, saya jelaskan baik-baik konsep yang saya ajukan. Saya meminta dia untuk bersama-sama mengawasi jalannya pertandingan selama Class-Meeting dan sekaligus mengusulkan konsep acara ini ke wakil kepala sekolah agar terkesan dialah yang memiliki ide ini, biarlah saya di belakang layar saja. Namun tidak disangka-sangka ternyata tawaran saya ditolak...Sebagai calon Godfather ini adalah corengan di muka saya, seharusnya “I’m gonna make him an offer, he can’t refuse” tapi yang terjadi malah sebaliknya “He was refuse”. Ia menolak dengan alasan ingin mengecat mobil tetangganya untuk menambah penghasilan. Wess lah apa boleh buat, Godfather mengalah saja. Padahal saya ingin sekali ditemani oleh guru SD Jayamurni, selain karena saya akan kewalahan mengurus anak segini banyaknya, saya juga butuh guru yang akan meneruskan acara ini ketika saya meninggalkan Jayamurni kelak. Saya benar-benar bingung harus mengajak siapa, bagaimana kalau ternyata guru-guru di sini memanfaatkan hari-hari kosong ini untuk mencari penghasilan tambahan?positif saya akan sendirian di sekolah.  Berbagai opsi liar untuk masalah ini terbayang di pikiran saya dan kemudian diseleksi secara otomatis oleh nalar saya. Opsi untuk memberikan nomor ponsel saya secara spesial kepada guru yang mau menemani saya di Class-Meeting sepertinya percuma, karena selain saya bukan artis, saya juga sudah membagikan secara cuma-cuma kepada para guru kartu nama saya yang didalamnya ada nomor ponsel saya .  Lalu opsi untuk menaturalisasi guru dari SD desa tetangga tampaknya juga bukan opsi yang feasible karena proses pengurusan paspor desa yang bakalan ribet. Weeslah apa boleh buat, Godfather sendirian saja, pun saya sudah kadung mengumumkan ke anak-anak. Terbayang kalau nanti saya tidak akan mampu menangani anak-anak ini, bagaimana kalau ada keributan antar pemain?kerusuhan suporter?bacok-bacokan?sunatan massal(loh?)? pasti sayalah yang bertanggung jawab. I take the risk..alone.. karena saya seorang yang akan memulai. Tibalah hari dimana Clasmeeting itu dimulai, saya pergi ke sekolah dengan pakaian ala guru olahraga. Sampai di mulut gerbang sekolah, saya melihat sekerumunan mahluk berkaos merah meneriakkan kata-kata yang tidak terdengar jelas, semakin dekat saya dengan kerumunan tersebut, semakin jelaslah kata-kata itu terdengar, bunyinya adalah : “PAK, AYO MULAII!!” Teriakan itu berasal dari kelas 3, 4, 5, dan 6 yang sudah berkumpul di halaman sekolah. Saya kemudian mengajak mereka untuk berkumpul terlebih dahulu di dalam kelas guna membagi  mereka ke dalam tim-tim untuk cabang sepakbola. Sesuai dugaan saya, membagi mereka ke dalam tim-tim akan menemui kendala yang sulit. Belum saya membagikan mereka ke dalam tim, sudah muncul masalah saja, mungkin karena suasananya adalah suasana libur setelah ujian dan ditambah tidak ada guru selain saya seorang sehingga mereka bebas teriak dan memukul properti sekolah seperti meja dan kursi kelas. Saya coba untuk menenangkan mereka dengan mengeluarkan sinyal “Hai” dan “Halo” tetapi nampaknya tidak mempan. Banyak menit terbuang sudah untuk menenangkan gabungan kelas 3,4,5, dan 6 ini dan akhirnya..hufff mereka tenang juga. Saya kemudian membagikan tim sesuai dengan yang saya susun, tidak sampai beberapa lama suara gaduh itu muncul kemudian. Kali ini suara gaduh itu dengan nyata tertuju pada saya, mereka, terutama anak-anak kelas 6 menolak pembagian tim ini. Pasalnya menurut mereka teman setimnya kecil-kecil (kelas 4 dan 5). “Pak, kok teman saya kecil-kecil, gimana saya bisa menang?” kata salah seorang anak yang kemudian diikuti oleh teman-temannya, suara  mereka sungguh seperti gelombang unjuk rasa. Saya kemudian menenangi mereka dengan membujuk secara bijak walau hati kesalnya minta ampun. Saya             : “Ini supaya adil anak-anak, masa kalian kelas 6 mau melawan kelas 4?itu kan    tidak   ksatria, Dan lihat tim yang lain, semuanya sama, ada kelas 6 kemudian kelas 5 dan 4, bapak bagi secara adil” Anak kelas 6 : “Alah Paak Paak, enakan seperti dulu, adu antar kelas” Suara Hati Kesal Saya  : “EMANG GAMPANG APA BIKIN TIM...ENAK AJA” Tarik nafas.... Saya                : “Kalau seperti dulu gimana mau jago, kalian mau seperti Messi ga?Tau Messi   kan?” Anak Kelas 6 :  “Mau pak! Temannya Irfan Bahdim itu!” Suara Hati Kesal Saya : “GONZALES KALEEE...” Tarik nafas agak dalam... Saya                : ” Iya betul... teman akrab itu...” Akhirnya proses pembagian tim selesai juga, bak pertempuran yang sudah selesai, saya bersyukur dalam hati. Proses ini berakhir dengan sempat diwarnai oleh lika liku seperti misalnya ada tim yang anggotanya kurang karena tidak datang ke sekolah sehingga perlu ada perombakan beberapa tim . Dan juga ada anak-anak yang WO karena tidak suka dengan pembagian tim ini, katanya  terlalu lama membaginya (Salah sendiri, ribut!!). Namun secara umum anak-anak lainnya menerima dan siap untuk bertanding. Oke first battle beres, what next? Kemudian saya menggiring atlet-atlet bola itu ke medan pertempuran, lapangan bola SD Jayamurni, Kalau Real Madrid punya Santiago Bernabeu, Jayamurni punya Santiago Berdebu. Di lapangan ini saya adalah wasit, wasit adalah raja, raja itu peraturannya mutlak...ya itu sih seharusnya tetapi.. Saya memanggil tim yang akan bertanding, sebelumnya tim-tim sudah saya bagikan jadwal pertandingannya, dan saya memberikan mereka kebebasan untuk memberi nama tim. Mungkin karena kadar kreatif yang berlebih, nama-nama tim mereka pun unik dan aneh seperti Golok FC (kenapa ga pedang sekalian?), Persikopat FC (Ini ga ada kepanjangannya loh pas saya tanya), dan Sugih FC (ini diberi nama oleh kelas 6, dari nama dia sendiri). “PRIIIT !!” saya pun meniup peluit  tanda dimulainya pertandingan pertama. Pertandingan berlangsung imbang dalam artian tidak jomplang, begitupun juga dengan pertandingan-pertandingan lainnya. Saya sebagai raja di lapangan ternyata tidak bisa menerapkan kekuasaan mutlak, seringkali mereka memprotes keputusan saya, bahkan mereka berani menawar untuk melebihkan waktu bermain. Dan karena saya terlalu percaya mereka akan menjunjung tinggi sportivitas maka membuat saya tidak menyiapkan kartu kuning dan merah. Hal itu malah menjadikan saya bulan-bulanan, setiap ada pelanggaran mereka selalu protes mengapa sang pelanggar tidak diganjar kartu oleh saya. Perlu kesabaran ekstra dan kebijakan untuk menghadapi anak-anak itu, hmm..saya mengerti bagaimana menderitanya jadi wasit sepakbola apalagi di Indonesia. Setiap istirahat sebelum masuk babak kedua, saya menggunakannya untuk mengecek pertandingan cabang lain seperti bulutangkis dan voli yang diperuntukkan terutama kepada murid perempuan. Pertandingan Class-Meeting ini saya adakan pararel agar menghemat waktu, tetapi konsekuensinya saya mesti multitasking memantau semua cabang. Untuk membantu saya, saya memberi amanah pada anak-anak pilihan untuk menjadi pengawas saat saya tidak mengawas atau sedang mewasiti pertandingan lain. Masalah pun juga muncul di cabang bulu tangkis, melihat saya “nganggur” mereka langsung meminta saya jadi wasit, padahal yang main bulu tangkis banyak belum lagi ditambah voli, ada juga yang meminta raket karena belum kebagian. WOW!! Berada dalam Class-Meeting ini saya berperan menjadi wasit serba serbi, kadang sepak bola, kadang bulu tangkis, kadang voli. Dan kadang menjadi perayu juga karena saya harus membujuk dan merayu anak-anak ketika saya harus gantian mewasiti pertandingan yang lain sedangkan saya belum punya kemampuan membagi tubuh seperti amuba (kalau otak mungkin sama...sama-sama kecil). Situasi ini benar-benar seperti perang, tepatnya perang yang tidak imbang, dan peperangan ini semakin lengkap ketika anak-anak SMP juga meminta “jatah” untuk bermain juga di cabang-cabang olahraga yang sedang dimainkan anak SD. Saya pun kemudian menjadi wasit antara SD dan SMP agar tidak terjadi kerusuhan sekolah gara-gara ada yang tidak mendapat kesempatan olahraga. Saya seperti sedang berperang, sendirian, melawan perpaduan pasukan SD yang berjumlah 300-an anak dengan pasukan SMP yang berjumlah 100-an anak, seketika terngiang-ngiang dalam pikiran liar saya, panca indera saya bercampur dengan imajinasi saya, realita samar-samar terdistorsi oleh halusinasi...saya melihat muka-muka anak itu...menoleh ke saya kompak dengan gerakan slow motion...mata mereka dengan serentak melihat ke mata saya lalu kemudian menghunuskan pedang layaknya pasukan Leonidas dan berteriak lantang... “THIS IS JAYAMURNI!!!!” Bahkan pasukan ini jumlahnya melebihi pasukan 300 yang legendaris. Peperangan antara saya dengan Pasukan Jayamurni berlangsung selama 4 hari. Hari terakhir, laga final sepakbola dilangsungkan, pertandingan berlangsung cukup seru tapi tidak terjadi konflik. Dan untungnya saya mendapat tenaga bantuan, akhirnya rekan guru saya ada yang datang dan membantu saya mengawasi jalannya Clash-Class-Meeting ini. Ada kesenangan sendiri untuk saya, bukan karena sebentar lagi Class-Meeting ini akan berakhir tetapi lebih karena saya bisa menangani dan menjalankan Class-Meeting ini dengan sukses. Apa paramater sukses?muka gembira dan minat mereka! walaupun ada yang kecewa karena keputusan saya selama jadi pengadil di lapangan, tetapi tidak menyurutkan semangat mereka mengikuti Class-Meeting ini sampai hari terakhir. Rasa senang saya berlipat karena saya dibuat kagum oleh keterampilan mengolah bola beberapa anak. Ada yang paling menonjol, dia seperti fantasista-nya Sekolah Jayamurni, liukan dan ketenangannnya di lapangan mengingatkan saya pada Zidane, anak SMP pun dibuat keteteran olehnya yang masih kelas 5 SD. Dan betapa bahagianya saya bisa mengendalikan perang ini, pasukan anak-anak itu memang berhasil mengalahkan saya, tetapi kekalahan ini sangat manis karena yang mereka taklukkan adalah hati saya. Saya larut dalam kesenangan mereka memainkan bola. “GOOOOLLL!!!” teriak mereka seusai menggolkan. “Paak, ayo main bolaa!!” tiba-tiba mereka memanggil saya. Di pertandingan penutup setelah final selesai digelar, saya pun ikut bermain bola bersama anak-anak, rekan guru saya pun turut merumput setelah saya ajak. Woow benar-benar pelampiasan yang sungguh lepas, setelah menjadi wasit, pengadil, dan pengawas mereka dan merasakan diteriaki, diprotes, dan dipuji oleh mereka. Pengalaman mengendalikan ratusan anak benar-benar akan menjadi memori yang tidak akan pernah saya lupakan. Kini saya bermain dengan mereka, bermain bola dengan anak-anak ini sungguh menyenangkan dan menghanyutkan, walau matahari di Jayamurni sangat terik tetapi saya merasakan dan tersengat oleh semangat mereka. Dan tiba-tiba keanehan itu datang lagi, realita bercampur halusinasi. Kali ini saya merasakan anak-anak itu berlari bersama saya mengejar bola...kemudian gerakan kami mengalami slow motion dan bersiap-siap berteriak. Saya dan anak-anak ini berteriak kalimat yang sama...”Hey World, This Is Jayamurni !!!” PS  : La Masia disebut-sebut sebagai akademi terbaik sepakbola di dunia. Lionel Messi, Iniesta dan Xavi adalah punggawa-punggawa Barcelona hasil didikan dari akademi tersebut, ketiganya meraih nominasi pemain terbaik dunia. Indonesia sangat terkenal dengan kekayaan alamnya, dan saya menjadi saksinya di desa ini, saya tidak melihat penambangan emas ataupun minyak bumi. Yang saya lihat adalah lapangan rumput dimana-mana, dan anak-anak itu bebas bermain bola di mana saja, hasrat mereka tinggi akan olahraga ini, selain itu saya berani bertaruh fisik mereka sudah tertempa oleh alam, kaki mereka sudah kenyang berjalan jauh membawa bakul penuh dengan rumput, tangan mereka kuat karena kebiasaan mencangkul. Kalau saja ada kebijakan untuk mengirimkan pemandu bakat usia dini ke daerah-daerah dan melatih mereka di daerahnya, mungkin sepakbola Indonesia akan maju, bukan tahun ini, tapi jangka panjang. Indonesia juga bisa punya La Masia,  tersebar di seluruh pulaunya. -Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu....orang bilang tanah kita tanah surga-KOES PLUS

Cerita Lainnya

Lihat Semua