info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Malu Aku Malu

Yuri Alfa Centauri 5 Januari 2012

“Kau tau ini tulisan apa?” tanyaku, mereka tampak bingung dan mengeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum malu menghindarkan wajahnya dari tatapan. Inilah  kesan pertama saya pada anak-anak kelas 3 SD Negeri Matutuang, kelas yang saya ajar, hanya ada 2 orang yang sudah mampu membaca dari total 12 orang siswa, 10 orang lainya kurang dapat membaca. Apakah  mereka malas, sehingga tidak mau belajar membaca, atau ada faktor lainya?

Selama proses belajar saya mencoba mengamati pola prilaku siswa-siswi yang akhirnya dapat ditemukan beberapa faktor utama:

1.       Mereka MALU, mengakibatkan ada ketakutan untuk belajar membaca, bahkan hanya sekedar mengeja kata-kata. Apa sebabnya mereka malu ya?saya berpikir, hal ini ternyata berkaitan dengan faktor-faktor selanjutnya,

2.       Pendekatan yang Kurang Tepat, baik itu oleh pengajar dan orangtua dirumah, terkadang pengajar hanya menuliskan kata-kata, kalimat, atau paragraf didepan kelas, kemudian menyuruh siswa menyalinya, menuliskanya kembali di buku tulis, tanpa memberikan pemahaman dalam membaca dan mengeja tulisan. Sehingga anak-anak hanya “ jago” untuk menyalin teks. Hal ini berkaitan juga dengan faktor ketiga.

3.       Kelas yang digabung menjadi satu, contohnya kelas 1 dan 2 dalam satu ruangan, kemudian kelas 3 dan 4, kelas 5 dan kelas 6. Tingkat pemahaman dan daya tangkap berbeda-beda tiap kelas, bahkan setiap anak dalam satu strata kelas pun berbeda, kemudian pembahasan pelajaran pun berbeda. Penggabungan seperti ini membuat kelas yang lebih kecil terintimidasi oleh yang lebih besar, didalam hal ini kelas 4 lebih dominan daripada kelas 3, apabila kelas 4 sudah mengerti, kelas 3 masih belum. Sehingga kelas 3 yang merasa tidak dapat menyamai kelas 4 menjadi “liar”, tidak memperhatikan pelajaran. Pembagian pembahasan pelajaran diantara kelas 3 dan 4 dibedakan, misal kelas 3 dahulu dengan pelajaran IPA,  ketika menerangkan pelajaran kelas 3 tersebut, maka kelas 4 tidak fokus, menjadi ribut, begitu pula sebaliknya.

4.       Penggabungan kelas tersebut disebabkan faktor ke-empat, jumlah guru yang terbatas, hanya ada 3 guru yang aktif mengajar, 1 PNS, satu orang honorer, dan yang ketiga adalah guru yang sudah pensiun, kembali membantu mengajar.

5.       Dan yang terakhir adalah sikap anak-anak yang suka saling mengejek, kelas yang diatas dan sudah mampu membaca, kerab berkata “bodoh”, dan kata-kata makian bagi yangtidak dapat membaca, menyebabkan anak-anak tersebut semakin malas membaca, karena kembali pada faktor 1, MALU.

Setelah ada tambahan 2 pengajar, 1 guru PNS baru dan PM, setidaknya sekarang kelas kelas 3, 4, 5 dan 6 sudah memiliki guru masing-masing, walaupun sering ada ketidak hadiran dari salah satu wali kelas, sehingga terkadang pengajar lain harus mengkovernya.

Ternyata setelah dipisahkan, kelas 3 ini mulai dapat mengutarakan isi pikiranya, pendapatnya, dan keinginannya untuk membaca, mereka sudah merasa tidak di dominasi oleh kelas yang lebih tinggi. Tetapi rasa malu itu masih tetap melekat, sehingga tugas yang paling pertama adalah “menyingkirkan rasa malu anak-anak tersebut dan membuatnya percaya diri” kemudian mulai kembali belajar membaca dan berhitung.

Pendekatan yang sedang dilakukan adalah membiasakan siswa sesering mungkin untuk mengeja dan membaca kata-kata dan kalimat dimanapun mereka berada dengan cara memberikan secarik kertas bertuliskan huruf-huruf yang dapat dilihat kapanpun, kemudian untuk proses selanjutnya adalah membuat media pembantu, yang akan segera dicoba berupa “gantungan huruf-huruf”, yakni portable product berisi huruf-huruf A-Z yang dapat dibawa kemana-mana, sehingga harapanya saat dimanapun mereka berada dan ingin membaca, mereka dapat melihat huruf-huruf tersebut.

Tetapi kembali muncul pertanyaan, apakah penekanan terhadap materi-materi pelajaran masih relevan untuk dilakukan dan mendambakan hasil akhir berupa “nilai-nilai yang konvensional”? sedangkan siswa dan siswi masih harus memulai belajar tahap dasar, membaca.

Yuri Alfa Centauri, PM pulau Matutuang, Sangihe


Cerita Lainnya

Lihat Semua