info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Bisikan dari Dalam Laut

Yuri Alfa Centauri 20 Mei 2012

Surat untuk Sahabat

Dimanapun kalian semua berada

Bisikan dari Dalam Laut

Saya berdiam  diri, duduk diujung belakang perahu pumpboat, melihat bentangan cakrawala di laut lepas sambil sesekali membuang air yang masuk ke dalam perahu, kemudian teringat satu pertanyaan dari Indonesia Mengajar  yang diajukan saat pengisian esai, aplikasi pendaftaran calon pengajar muda:

“Ceritakan pengalaman pribadi anda yang paling anda syukuri”,

Saya menjawabnya seperti ini:

Ketika berkegiatan di Wanadri, Seorang kawan saya, Aryadi Fallah,  pernah berkata: saya percaya pada orang yang mampu berdiri saat tidak ada orang lain yang menopang, saat orang manjauhi, saat kamu sendiri dan tetap percaya pada kawannya apapun yang terjadi. Saya percaya pada kamu. Ayo kita berbuat sesuatu, membuat sebuah ekspedisi, yang membuat orang lain ingin ikut beserta didalamnya. Yang membuat bangga Negara kita”, hal itu diutarakan saat bertanya kepadanya, kenapa kamu percaya dan mengajak saya bergabung didalam rencana ini, berkegiatan sepertimu saja saya jarang sekali.  Ini hanya masalah waktu, kapan kita akan melakukan dan dapat mencapai hal tersebut, hal yang ingin kita tuju, walau harus berjalan di “jalan pedang”, sebuah jalan yang ada pada setiap orang yang melakukan perjuangan dalam hidupnya, apapun bentuknya, dimanapun tempatnya dan seperti apapun jalan yang ditempuhnya karena sebuah perjuangan bersama akan selalu dihargai dan diingat sebagai sesuatu hal yang bernilai tinggi yang terkandung didalamnya berbagai ujian, semangat, tekad, ketulusan, pengorbanan dan ketabahan serta persaudaraan tanpa akhir.

Berjuang bersama, masih lazimkah hal seperti itu saat ini, bukankah kita manusia individual?! Tidak, kehidupan ini dan mereka, kawan-kawan disamping kita, telah berkata bahwa kita manusia yang membutuhkan orang lain. Mereka memberikan semangat dan kepercayaanya kepada kawanya, dengan cara masing-masing.

Limpahan kepedulianmu, kepercayaanmu pada kami,  kawan-kawanmu, melepaskan dari kekhawatiran, merangkul dalam kesulitan, berkata bahwa detik hari kita masih panjang pergunakanlah dengan bersemangat, sehingga kita mampu mencapai keyakinan saat ini.  Bersama, berpikir dan bertindak untuk satu tujuan sehingga mampu berjalan di jalan pedang yang mampu melukai siapapun yang berjalan diatasnya.

Karena kita sudah tidak dapat berbalik lagi, harus terus menjalankanya, harus menapakinya, harus menyeberanginya, menatap kedepan.

Tuhan berkehendak lain, sebelum mimpi-mimpi besarnya tercapai, hanya beberapa bulan setelah pembicaraan tersebut dia dipanggil ke pangkuan-Nya, Aryadi Fallah (22) dan Denny Prasetya(19) dua sahabat yang meninggal karena kecelakaan, tersambar petir saat bersama saya dan 5 kawan lainya bulan April tahun 2010 berlatih di pegunungan sunda mempersiapkan diri untuk sebuah kegiatan perjalanan. Saya masih beruntung diberi tuhan keselamatan saat telah tersambar petir, sempat terpuruk dalam ketakutan tetapi kemudian saya mencoba bangkit dari keterpurukan karena jika tetap jatuh maka akan sia-sia pengorbanan dua kawan saya tersebut. Saya harus mampu berdiri dengan tegap, mampu berjalan dengan berani, dan memiliki tekad yang teguh. Bangun dari keterpurukan. Lakukanlah kegiatan dengan tetap bergembira. Mereka telah melakukanya, sekarang saatnya untuk saya, untuk kita. Pemuda senantiasa berperan dalam perubahan…. Berkarya ditengah masyarakat.

Ucapan-ucapan kawan saya tersebut akan selalu diingat, kata-kata  yang terus bergemuruh didalam dada, yang selalu menyemangati dikala terpuruk melakukan sesuatu hal. Yang selalu mengikat kami sebagai saudara, impianmu-impianku, semangatmu-semangatku, pejuanganmu-perjuanganku. Kenangan pahit tidak untuk membuat terpuruk, tetapi mengobarkan semangat kita untuk terus melaju tanpa beban, berkreasi tanpa batas, hiduplah dengan menjadi diri kita sendiri, karena mati tidak akan pernah menunggu, jangan sampai menyesali sesuatu. Jangan sampai kita mengingat bahwa menghargai seorang kawan itu perlu setelah kita kehilangan dia, bahwa menghargai nyawa itu penting setelah hampir kehilangan nyawa.  Itulah  hal yang saya paling syukuri karena mampu bangkit dalam “kehidupan kedua” saya yang telah diberikan oleh Tuhan, jangan sia-siakan hidup kita.

Terusik kembali ingatan satu tahun lalu kejadian tersebut karena saat ini, dua orang, saya dan bapak nelayan sedang terjebak di dalam perahu yang mesinya mati, dilautan lepas, perjalanan terjauh saya dengan pumpboat, dari kota Tahuna-Sangihe menuju pulau Matutuang. Detik berlalu, belasan menit dan satu jam kemudian, belum ada perubahan, bapak nelayan masih mengutak-atik mesin perahu dan yang dapat saya lakukan hanya mengeluarkan air dari dalam pumpboat yang masuk dari bagian bawah perahu dan sesekali dari ombak yang berdebur menghampiri. Laut yang berombak saat itu tiba-tiba berubah menjadi tenang, tetapi aneh, rasa yang muncul malah tidak menenangkan, kesunyian merebak, kedalaman air seakan berbisik, “istirahatlah dengan tenang”. Lamunan demi lamunan pun datang, melihat wajah letih bapak nelayan yang terus berjuang memperbaiki mesin seakan melihat wajah bapak saya yang keras karena kehidupan dan pekerjaanya yang tidak jauh berbeda dari bapak nelayan, memperjuangkan kehidupan keluarga, yang kulitnya menghitam legam dan berkerut karena terik matahari menyengat setiap hari, wajah tua yang lelah, tetapi dari kedalaman sorot matanya memiliki semangat pantang menyerah yang tidak pernah pudar.

Disini hanya ada kami dengan perahu yang terombang ambing, tetapi didapat sedikit ketenangan dengan masih terlihatnya pulau di kejauhan. Walaupun begitu, kegundahan masih tetap terasa, apapun bisa terjadi, kami hanya diam, sedapat mungkin melakukan tugas masing-masing dengan baik, demi berlangsungnya hari esok.

Lamunan pun terbuyarkan karena tiba-tiba sebuah benda putih hanyut melewati sisi perahu, sebuah botol plastik, “kehidupan”, pikirku, saya teringat saat kecil dulu di film-film anak, orang yang mewartakan berita dalam surat yang dimasukan ke botol dan kemudian di hanyutkan ke laut! Ya, selagi masih ada semangat untuk bertahan, maka masih akan ada matahari yang muncul esok pagi. Saya mencoba melihat handphone, ada “sinyaaal”!!!

Melihat sinyal, eforia bahagia menghampiri, seakan ingin mengabari orang-orang, tetapi setelah dipikir ternyata hanya akan mengkhawatirkan dengan memberikan kabar yang tidak begitu baik ini. Saya pun akhirnya hanya memberi kabar pada beberapa kawan pengajar muda sangihe, bahwa sedang ada masalah dalam perjalanan pulang ke pulau matutuang, tetapi insya Allah akan baik-baik saja. Sms balasan pun seakan menjadi selimut hangat untuk badan yang basah kuyup sekujur tubuh karena air laut.

Kembali pada keadaan yang dekat dengan kondisi kritis, ketika merenungkan kehidupan, membuat saya bertanya-tanya, “apa sebenarnya yang sedang saya lakukan?”, “kenapa hal ini selalu terjadi?”. Tapi pertanyaan-pertanyaan tersebut berangsur sirna karena kegiatan yang saat ini dilakukan, menjadi pengajar muda, adalah sebuah pilihan, mungkin bisa disebut sebagai “hal yang sangat ingin dilakukan”, saya merasa menemukan ritme yang menyenangkan saat mengerjakanya kemudian menaiki aliranya untuk sampai pada puncak tujuan, walaupun ternyata banyak rintangan dan halangan yang harus dihadapi, tetapi akan selalu ada kawan di samping kita yang menemani. Hidup ini adalah tentang mengambil keputusan (Paul Arden, What Ever You Think-Think The Opposite), apapun keputusan yang diambil, itulah satu-satunya keputusan yang dapat kita ambil, jika tidak, kita akan mengambil keputusan yang lain. Apapun yang kita lakukan, kitalah yang memilih. Jadi apa yang harus disesali?! You are the person you choose to be. Resiko yang menghampiri saat ini seperti halnya saat berkegiatan di Wanadri, memang tidak bisa dihindari, karena resiko ada dimana-mana, ditempat yang senyaman dan seaman apapun masih akan ada celah untuk timbulnya resiko, tinggal bagaimana kita bersikap saat menghadapinya, kita harus bertanggung jawab atas diri kita.

"Just do your art", Sebuah seni akan menceritakan sendiri seperti apakah dirinya,mengingat akan ada senyuman mereka yang menanti di ujung pulau  tujuan, anak-anak pesisir pulau Matutuang, mereka pun merupakan sebuah seni, sama seperti kita yang akan menceritakan dirinya kepada dunia, seperti apa dirinya, oleh karena itu pasti masih ada harapan dan kesempatan kepada kita untuk menularkan semangat dan rasa percaya kepada mereka yang tinggal jauh dari hingar bingar ibukota untuk melanjutkan pendidikan. Mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapat ilmu dan pelajaran yang kita dapat.

SOMAHE KAI KEHAGE, sekali layar terkembang pantang mundur kebelakang.

“Rrrrrrrrr”, Deru mesin mengoyak kesunyian laut, akhirnya perahu pun dapat hidup, Pak Carlos, sang bapak nelayan tersenyum, kami melanjutkan perjalanan, diikuti beberapa lumba-lumba disamping  dan belakang perahu yang baru pertama kali saya lihat sedekat ini di habitat aslinya. Waktu tempuh lebih dari 6 jam sampai di Pulau Matutuang menjelang magrib, sesaat sebelum berbuka puasa, disambut beberapa anak-anak SD yang membantu mengangkat barang-barang bawaan dan berteriak kepada yang lainya, “Pa Guru Sudah Pulaaang!!!”

Dan hal yang sekarang saya lakukan bersama anak-anak di Pulau Matutuang dan Pengajar Muda menjadi salah satu jawaban pula dari pertanyaan yang diajukan IM dahulu, “pengalaman yang paling disyukuri”.

Semoga, kita, sebagai Pengajar Muda selalu diberikan kekuatan saat ada berbagai masalah yang datang. Amin.

impianmu-impianku, semangatmu-semangatku, pejuanganmu-perjuanganku, sekali menjadi saudara, selamanya adalah saudara.

Yuri Alfa Centauri, Pesisir Pantai Putih Pulau Matutuang, 10 Agustus 2011, 00.30 WITA

Denny Prasetya, remaja ini bercerita di malam hari sebelum musibah, di dalam bivak, bahwa dia ingin sekali melanjutkan sekolah ke bangku perkuliahan, dan juni tahun itu berencana mendaftar ke ITB, dengan kondisi ekonomi orang tua yang tidak memungkinkan, dia berencana akan diam-diam masuk kuliah, dan akan bekerja keras untuk hal itu serta bersamaan dengan tetap membantu ibu serta adiknya untuk bersekolah. Hal ini pun menjadi salah satu alasan saya untuk menjadi pengajar muda, kawan saya telah kehilangan kesempatan untuk belajar, keadaan ini sudah tidak dapat dirubah, tapi diluar sana masih banyak pula anak-anak yang belum mendapat kesempatan untuk belajar, setiap orang punya kesempatan mendapatkan pendidikan, saat seseorang itu tidak dapat datang kepada kita karena berbagai kendala yang dihadapi, maka kenapa tidak, kita dengan sukarela yang mendatangi mereka.

Kawan, usia kita akan selalu bertambah, masa kita di dunia semakin sedikit, tetapi kesempatan masih terbuka sangat lebar. Selamat Ulang tahun kawan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua