info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Welcome to The Jungle, Welcome to The Sea :) (Part 2)

Yunita Fransisca 16 November 2010
Jumat, 12 November 2010, Tim Tengkorak Gaul berangkat mengantar tim kami yang bertugas di daerah pesisir. Perjalanan kami tempuh selama 2.5 jam dari Grogot menuju Lori. Jalannya seperti off road track dengan pemandangan kebun sawit, hutan, serta rawa di kanan kiri kami. Setelah lompat-lompat di m0bil, tibalah kami di Lori. Mental saya langsung drop. Tuhan, keras sekali kehidupan di sini. Rumah-rumah panggung kumuh, udara berbau amis, masyarakat dengan ekspresi dingin, mewarnai Lori. Pemandangan laut dari Lori indah sekali. Hari itu cerah, panas tepatnya. Awan bergumpal seputih kapas dan langit biru menjadi latar pemandangan tim kami selama berlayar menggunakan perahu kelotok. Tujuan pertama adalah Tanjung Aru, tempat dimana sahabat PM1, Ridwan, dan Gilang ditempatkan. Selama 1 jam 15 menit kami berlayar. Tepat ketika adzan dzuhur berkumandang, kami tiba di dermaga Tanjung Aru. Para pria bergegas menuju masjid, sedangkan kami para wanita beristirahat di rumah Mama asuh Sahabat dan Gilang. Es teh pun segera dihidangkan. Berkah :) Haus pun hilang. Makan siang berupa ikan kakap besar dan kecil yang digoreng, sayur bening, tempe goreng, bakwan jagung, sambal, dan nasi hangat segera saja terhidang di meja makan. Yummy! Mama asuh Gilang dan Sahabat adalah orang Pasir, sedangkan Bapak asuhnya adalah orang Bugis. Kabarnya mereka adalah keluarga yang paling berada di Tanjung Aru, sehingga bersedia menampung dua orang sekaligus dalam rumah mereka. Rumah tersebut juag dilengkapi dengan fasilitas komputer dan printer. Orangtua Sahabat dan Gilang sangat ramah. Mereka juga mengundang kami untuk menginap di sana. Saya rasa, Sahabat dan Gilang akan segera merasa hommy di sini :) Setelah mengucapkan selamat tinggal, berangkatlah kami semua ke Selengot, tempat Mansyur bertugas. WOW. Sebuah perumahan padat yang berdiri di atas laut *bahkan pulau pun bukan*. Selengot mayoritas didiami suku Bugis dan Bajao. Mansyur tinggal di rumah Kepala Desa. Rumahnya cukup luas dan meriah~warna-warni. Ibu asuh Mansyur lebih banyak diam karena kurang bisa berbahasa Indonesia. Bahasa ibunya adalah bahasa Bugis. Kami sempat berkeliling ke sekolah Mansyur. Sedih rasanya melihat sekolah ini. Dibandingkan dengan sekolah saya dulu di Jakarta, sekolah ini sangat kurang memadai infrastrukturnya. Namun, kami menemui anak-anak yang bersekolah di sekolah tersebut. Keceriaan mereka seolah menutupi minimnya kondisi pendidikan wilayah ini. Semoga kehadiran Mansyur di sini menambah keceriaan mereka. Kami pun berpisah dengan Mansyur. P.S: Sebelumnya, ketika menuju dermaga, kami diantar pula oleh rombongan calon murid Mansyur. "Ibu, Ibu! Bapak, Bapak! Hendak ke mana kah? Kenapa ndak di sini saja? Sini saja Bu, Pak!" teriak mereka. "Kami mau pulang. Tapi di sini kalian akan punya guru baru, Pak Masyur namanya. Itu orangnya. Baik-baik ya kalian di sini. Ajak Pak Mansyur bermain ya!" sahutku. "Asyiiiiikkkk!!!" teriak mereka. I'm sure you'll be fine here, Acuy :) Perjalanan terakhir, mengantar Patrya. Saat itu kami mulai tersadar bahwa penumpang kapal kami mulai berkurang. Perasaan aneh mulai menyelimutiku. Ya Allah, kuatkanlah kami. Selamat datang di Labuangkalo. Sama seperti Selengot, pemukiman di sini padat dan dihuni masyarakat Bugis dan Bajao. Kami pun bertandang ke rumah Pak Kades. Rumahnya persis di mulut dermaga tempat kami berlabuh. Pak Kades rupanya suka sekali musik. Musik berkumandang keras dari rumahnya, mungkin ke seantero baris depan Labuangkalo. Pak Kades kemudian mengantar kami menuju rumah tempat Patrya tinggal. Rupanya rumah tersebut terletak di sebelah sekolah. Sekolah dari kayu dan berbentuk rumah panggung berlantai lumpur. Maklum saja, sekolah ini akan berdiri di atas air atau lumpur, tergantung kondisi pasang-surut air laut. Tidak lupa terdapat tiang bendera di atas halaman panggung dari kayu dimana merah putih tegak brediri. Tiba di rumah Patrya, kami pun masuk ke dalam. Jreng jreng. Rumah ini hampir kosong, tidak ada kursi, tempat tidur, dan kasur di dalamnya. Rumah ini ditempati seorang guru muda yang menempati sebuah kamar di dalam rumah tersebut. Sedikit sekali barang di dalam rumah itu.  Tim Tengkorak Gaul saling bertukar pandang. Bingung, cemas, sedih, campur aduk. Segera saja Bu Yundri mengkonfirmasi mengenai hal ini. Rupanya, orangtua asuh Patrya yang sebelumnya bersedia menampungnya, mengundurkan diri. Jadi, Patrya ditempatkan di rumah tersebut. Kecemasan mulai melanda. Tidak mungkin Patrya ditempatkan di rumah tanpa orangtua asuh dengan fasilitas yang sangat minim ini. Akhirnya, disepakati untuk sementara waktu Patrya tinggal di rumah Kepala Desa. Patrya sesegera mungkin akan dicarikan rumah dengan orangtua asuh yang mau menampungnya. Sedih sekali rasanya saat itu. Kami beranjak ke dermaga meninggalkan Patrya dengan kalut. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata saya dan akhirnya mengalir tanpa bisa ditahan. Bu Yundri pun menangis terisak begitu mengucapkan selamat tinggal kepada Patrya. Patrya, dengan wajah ceria khasnya, hanya tertawa melihat kami dan berkata "Gw bakal baik-baik aja kok. I'm fine NOW, hahahha. Bu Yundri kenapa nangis sih? Saya bakalan baik-baik aja kok Bu." Mendengar dirinya yang tetap tabah membuat kami semakin menangis. Kapal bergerak menjauhi dermaga. Langit mulai gelap karena hari mulai sore dan mendung. Kami terus melambaikan tangan kepada Pakpat, panggilan saya untuknya, hingga kapal menjauh. Air mata masih mengalir. Saat itulah saya mulai sadar bahwa tantangan yang kami hadapi di kemudian hari tidaklah mudah. Kami akan berjuang di tempat masing-masing, sendiri. Finally, we stand by our own feet and it's not gonna be easy.
"Ya Allah, berikanlah kami kekuatan, ketahanan, ketabahan, kesabaran, kesehatan, keselamatan, kemudahan, dan kelancaran dalam menjalankan pilihan kami. Terangkanlah yang gelap, mudahkanlah yang sulit. Amiin." doaku dalam hati.

Cerita Lainnya

Lihat Semua