Menjadi Pengajar Itu…

Yunita Fransisca 2 November 2010
Selama minggu kedua ini, para Pengajar Muda (PM) praktek mengajar di SD atau MI yang ada di sekitar camp. Masing-masing kelompok ada yang melakukan individual teaching, ada pula yang melakukan group teaching. Ada yang mencoba mengajar kelas 1 hingga 6, ada pula yang mencoba kelas-kelas tertentu saja. Saya sendiri mengajar kelas 5 SD Cikereteg 1 bersama rekan tim Paser saya, Gilang. Hari pertama kami datang ke sekolah, awalnya siswa kelas 5 masih malu-malu untuk berinteraksi dengan kami. Untungnya, Gilang pandai membawa suasana kelas sehingga siswa-siswa tersebut menjadi lebih santai dan antusias dalam menyimak pelajaran yang kami bawakan hari itu. (Tampaknya saya butuh belajar banyak kepada Gilang) Sayangnya, saya merasa kurang maksimal hari itu. Jujur, saya gugup ketika harus membawakan materi di depan anak-anak dan wali kelasnya. Oia, saya lupa menyampaikan. Di setiap kelas yang menjadi tempat mengajar, kami didampingi oleh wali kelas yang akan mengawasi dan diberi feedback oleh mereka terkait dengan praktek mengajar kami. Saya merasa kurang baik dalam membawakan materi hari pertama. Berbeda dengan Gilang yang tampil memukau hari itu, saya pulang dengan langkah lunglai dan berusaha berpikir bahwa saya akan melakukan yang lebih baik. Wah, menjadi pengajar itu ternyata tidak mudah ya. Menjadi pengajar itu harus dapat menguasai kelas dan materi dengan baik. Waktu pun terus berjalan. Tiap PM memiliki cerita sendiri setiap mengajar di kelasnya masing-masing. Begitu pula dengan saya dan Gilang. Kami saling membantu dalam mengatur siswa dalam kelas, terutama ketika sedang ribut. Kami bahu membahu untuk menindaklanjuti siswa yang bertengkar. Saya seringkali kehabisan kesabaran dalam menghadapi mereka, apalagi jika ketika saya sedang bicara, mereka memotong apa yang saya katakan dan mereka berbicara. Puncaknya, saya merasa kesal kepada seorang anak di kelas saya yang sebenernya pandai, tapi nakal dan mendominasi. Saya menyindirnya dengan halus, sehingga anak tersebut menurut Gilang menahan tangis dan menjadi lebih pendiam saat itu. Saya sendiri tidak menyadari hal itu. Ketika tahu, saya jadi merasa bersalah, apalagi ketika wali kelas yang mengawasi kami juga memberi masukan kepada saya agar tidak melakukan hal tersebut kembali. Hal tersebut katanya dapat mematikan kreativitas siswa yang bersangkutan. Saya jadi bingung harus bersikap seperti apa bila di kemudian hari menemukan kasus yang mirip. Wah, menjadi pengajar itu ternyata penuh tantangan ya. Menjadi pengajar itu harus sabar dan memperhatikan kebutuhan belajar tiap siswa kelasnya (terutama) agar dapat bersikap tepat ketika berinteraksi dengan mereka. Setelah 5 hari, tiba akhirnya pada hari dimana saya dan tim Paser lainnya pamit kepada anak-anak SD tempat kami mengajar. Tidak ada pesta perpisahan. Namun, kedatangan kami pada hari terkahir ke sekolah menyisakan kenangan mendalam bagi saya. Saya masih ingat betul hari itu saya dan Gilang datang terlambat. Kami datang ke kelas dengan terburu-buru dan sudah mengenakan pakaian olahraga IM kami. Rencananya, kami akan mengajar Penjaskes hari itu. Tahukah kawan apa yang kami dapatkan ketika kami memasuki kelas? Kami disambut dengan sorak sorai gembira dan tepuk tangan siswa kelas 5 tersebut. Rasanya? Wah, saya terharu sekali. Bangga rasanya telah memiliki penggemar kecil J Lebih dari itu, sambutan luar biasa dari anak-anak tersebut telah memompa kepercayaan diri kami. Well, let’s say we made it: we did well :) Wah, menjadi pengajar itu ternyata dapat mberi inspirasi ya. Adalah suatu hal yang tak terbayarkan ketika seorang pengajar diberi apresiasi oleh siswanya, walaupun hanya tepuk tangan dan sorak-sorai “Asiiiiikkkk! Bu Guru dan Pak Guru datang lagi! :)

Cerita Lainnya

Lihat Semua