info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Mereka dan masa depan negeri ini....

Yunita Ekasari 16 Agustus 2011
Jika kini anda adalah seorang yang sukses dan telah berhasil mencapai impian, ingatlah untuk berterima kasih kepada guru-guru masa kecil anda. Karena mungkin ada pengaruh mereka dibalik apa yang anda peroleh saat ini. Jika kini anda belum meraih impian dan cita-cita anda, ingatlah bagaimana waktu kecil  ketika anda berani dan mulai bermimpi tentang hal  itu?. Jika anda adalah seorang guru SD, maka berbanggalah karena masa depan bangsa ini sesungguhnya ada ditangan anda. Namun, anda memiliki PR besar, karena harus menjawab kemana bangsa ini akan anda bawa nantinya? Mereka dan masa depan bangsa ini Apabila kita mengingat masa lalu kita hingga dengan masa kini, semoga benar jika saya mengatakan bahwa kita yang sekarang adalah manifestasi dari masa kanak-kanak kita. Masa ketika kita masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Selain waktu di sekolah dasar kita lebih lama, sekitar enam tahun juga karena banyak pengalaman pertama yang terjadi pada masa tersebut. Rekaman tentang kehidupan masa kecil akan masuk ke dalam memori jangka panjang seorang manusia, istilah populer yang mungkin sering kita dengar adalah long term memory. Saya sering mendengar kalimat tersebut. Awalnya saya menganggap ini hanya teori kedokteran biasa. Tapi kenyataan membuat saya membantah anggapan saya sendiri. Saya tiba-tiba teringat dengan salah satu teman Pengajar Muda, ketika pelatihan beberapa bulan yang lalu. Dia bercerita bahwa nilai-nilai kepemimpinan yang dia miliki saat ini sangat dipengaruhi apa yang ditanamkan oleh orang tuanya ketika ia masih kecil. Sekilas dia bercerita seperti ini : “Waktu kecil, orang tua dan guru saya sering berkata bahwa saya adalah juara, saya adalah pemimpin”. Hal tersebut tertanam hingga ia berhasil lulus dan menyelesaikan studinya di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia. Tidak hanya itu segudang prestasi ia raih selama kuliah. Dan karena rekaman masa kanak-kanaknya juga yang membuat dia mengambil keputusan untuk menjadi guru SD selama setahun di salah satu daerah pelosok di Indonesia. Dia menganggap sangat penting untuk dia meneruskan hal baik yang telah ia terima dulu sewaktu kecil. Selain itu beberapa penulis novel, dimana isi novel tersebut menggambarkan bahwa pengaruh masa kecil mereka cukup kuat terhadap kehidupan mereka di saat ini. Dan novel-novel tersebut menjadi insprator bagi orang-orang. Siapa yang tak kenal Andrea hirata, dosen sekaligus penulis tetralogi laskar pelangi yang kini mendunia. Andrea Hirata menuliskan dengan lengkap cerita masa kecilnya di  novel dan film laskar pelangi. Bagaimana kemudian Ikal dan Arai mampu mewujudkan mimpi ke perancis yang sejak kecil mereka bangun. Bagaimana pentingnya kehadiran Bu Mus dan Pak Harfan bagi ikal dan sahabat-sahabatnya. Salah satu novel yang baru-baru saja terbit, 9 Summers 10 Autumns (Iwan Setiawan, 2011) menceritakan bagaimana childhood memories yang ia miliki begitu berperan penting terhadap kesuksesan hidupnya. Itu hanya beberapa contoh, namun mungkin beribu contoh yang dimiliki ribuan orang yang tak tertuliskan. Saya juga kemudian teringat dengan anak-anakku disini. Anak-anak desa, anak-anak yang “tidak dibiarkan bermimpi” dengan alasan keterbatasan fasilitas ini itu. Beberapa bulan lalu saya membeli sebuah buku tentang perjalanan seseorang menyebarkan budaya Indonesia di Polandia (erditya arfah, merah putih di benua biru, 2011). Setelah saya baca, saya membawa ke sekolah memperlihatkan ke anak-anak kelas empat sambil menceritakan tentang bagaimana penulis mewujudkan mimpi-mimpinya, menularkan virus kebudayaan Indonesia ke benua eropa. Mereka sempat bertanya “eropa dimana bu?”. Namun selebihnya banyak diam. Saya mengira cerita barusan tidak menarik bagi mereka. Tapi, Jumi dan eva tiba-tiba mengikutiku ketika pulang sekolah. Mereka menyampaikan kekagumannya pada sang penulis. “Bu, kak erdith itu dulu tinggal dimana bu? Sekarang?” “Wah, hebat ya dia bu bisa ke eropa” padahal mereka tidak tahu dimana (baca:apa) itu eropa? Kami juga mau ke eropa bu suatu saat, bawa bendera merah putih seperti kak erdith. (Hahh, ternyata masuk ke alam pikiran mereka ceritaku barusan). Dan mungkin saja, cerita tersebut masuk ke long term memory bukan hanya jumi dan eva tapi juga seisi kelas. Semoga. Lain lagi cerita tentang Ibnu,beberapa bulan lalu saya menunjuknya sebagai polisi kelas yang bertugas menertibkan kelas. Mengapa ibnu? Mengapa juga polisi? Karena ibnu bercita-cita sebagai polisi. Sederhana saja. Namun, beberapa bulan istilah itu kemudian jarang saya gunakan lagi. Beberapa hari yang lalu, dua orang teman kelasnya berkelahi. Tiba-tiba Ibnu melerai dan berkata “KALIAN DIAM DAN KEMBALI KE TEMPAT MASING-MASING” Sontak saya dan teman-temannya kaget. Ketika saya tanyakan mengapa ia bersikap demikian, ia hanya menjawab dengan santai “Saya kan polisi kelas bu, dan saya mau jadi polisi. Polisi kelas harus membantu ibu mengamankan kelas dua”. Saya pikir dia sudah lupa, namun ternyata masih terekam dengan jelas tentang itu olehnya. Ini betul-betul di luar dugaan. Saya hanya senyum mendengar perkataan ibnu barusan. Izinkan saya menarik kesimpulan bahwa masa depan bangsa kita tergantung pada anak-anak yang kini bersekolah di tingkat SD. Apabila guru-guru di sekolah dasar mengisi memori jangka panjang mereka dengan hal-hal yang positif seperti mimpi-mimpi, nasionalisme dan niali-nilai positif  lainnya maka janganlah ragukan kualitas sumberdaya manusia bangsa kita di masa depan kelak kita akan memiliki generasi yang pantang menyerah, konsisten dan mencintai bangsanya. Begitupula sebaliknya. Jika kita adalah manifestasi masa kanak-kanak kita, maka manusia dewasa di masa depan adalah manifestasi dari anak-anak masa kini.  Dimana pun mereka, di kota besar ataupun di suatu desa yang kecil. Masa depan yang lebih baik itu akan nyata dengan semangat optimisme.... Maka tanamkanlah semangat optimisme itu pada mereka, sang pemilik masa depan ibu pertiwi.

Cerita Lainnya

Lihat Semua