sekolah ramadhan
Yunita Ekasari 7 Agustus 2011
Saya menulis ini di hari ke-5 ramadhan. Sudah dua hari ini kami bersekolah di bulan ramadhan, karena menurut kalender pendidikan propinsi lampung libur ramadhan hanya tiga hari di awal ramdahan dan beberapa hari menjelang idul fitri. Ada pro dengan kebijakan sekolah ramadhan ini namun tidak sedikit pula yang kontra dengan kebijakan ini dikarenakan banyak alasan.
Tapi, tentunya saya tidak ingin menuliskan tentang sederet kontroversi yang menimbulkan hiruk pikuk dan akana menghabiskan waktu kita jika ingin ikut terlibat di dalamnya. Bagi saya pribadi pun kegiatan sekolah di bulan ramadhan juga memiliki baik dan buruknya. Hm, bagi saya (dan semoga semuanya juga setuju) bagaimana jika saya mengambil yang baiknya saja namun bukan berarti menutup mata sepenuhnya tentang kurang baiknya.
Nah, lo kok jadinya tulisannya memancing lahirnya kontroversi. Ok...ok...ok...Padahal saya kan ingin menceritakan sedikit tentang sekolah ramadhan minggu pertama.
Sekolah ramadhan bagi saya adalah momen untuk menanamkan pendidikan moral (selain karena senjatanya ke anak-anak lebih enak “kan puasa”). Misalnya saja kalau biasnya mereka berkelahi ataukah berkata tidak sopan, akan lebih mudah mengontrol mereka dengan “kan puasa, entar batal lho puasnya” dan mereka akan berhenti untuk berkelahi ataukah bertaubat karena berkata yang kurang sopan (walaupun dibutuhkan sedikit “pembujukan” dari saya).
Beberapa hari ini ada pemandangan baru memang di sekolah kami. Pekan lalu, sebelum libur 3 hari di awal ramadhan saya mengusulkan kepada mereka “bagaimana kalau siswa perempuan menggunakan jilbab dan siswa laki-laki menggunakan peci ke sekolah dan kita mengaji atau bertilawah sebelum belajar?”. Mereka menyambut dengan antusiasme yang sungguh luar biasa *aw...aw...aw...sedikit lebbay*. Namun, saya hanya mengumumkannya ke kelas 3,4 dan 5 saja karena kuanggap lebih mudah untuk ku kontrol. Libur tiga hari pun tiba. Hari keempat saatnya ke sekolah. Saya cukup kaget ketika melihat susi (murid kelas 2) menggunakan jilbab ke sekolah. Seperti biasanya mereka menyambut dengan pelukan, tawa kecil dan sapaan yang sangat hangat. Setlah susi saya lihat lagi santi, dan beberapa murid kelas dua lainnya juga menggunakan jilbab serta beberapa murid laki-laki kelas dua juga menggunakan peci dengan gagahnya. Tentu saja saya senyum sesumringah mungkin melihat mereka. Saya bertanya kepada mereka kemudian “siapa yang memberi tahu kalian kalau ke sekolah pakai jilbab atau peci?”. Mereka menjawab “masa hanya kelas tiga,empat dan lima aja sih bu, kami kan juga mau”. Waw, anak-anak ini saja mampu mencontoh kepada sesuatu yang baik. Anak-anak memang selalu sulot untuk berbohong. Sebaiknya memamng kita belajar tentang kejujuran kepada mereka. Hari itu kami belajar sama seperti hari biasanya, hanya mereka tersipu malu menutup wajahnya ketika saya memujinya. Kalian cantik-cantik dan ganteng-ganteng yah. Anak ibu memang anak sholeh dan sholehah.
Di waktu istirahat....
Seperti biasanya, saya biasanya ikut dalam perbincangan beberapa guru lainnya di salah satu ruang kelas karena kebetulan sekolah ini tidak memiliki ruang guru secara khusus. Tiba-tiba ada yang datang melaporkan bahwa ada dua orang yang sedang berkelahi di ruangan sebelah. Salah satu guru meminta anak yang melapor itu untuk memanggil dua anak yang sedang berkelahi. Tak lama kemudian datanglah dua orang anak itu. Sebnarnya saya cukup cemas, apabila anak-anak ini akan dimarahi. Tapi, kenyataan seperti berputar, ramadhan memang bulan yang penuh keajaiban, guru itu hanya meminta kedua anak yang berkelahi untuk saling meminta maaf. Lega, alhamdulillah aku membatin. Tapi rasa-rasanya saya kok dejavu yah?? Nah??eng, nggak ding saya hanya keGRan saja. Selama ini saya memang memperlakukan anak-anak yang saling berantem ataukah saling menghina ataukah saling saling lainnya yang kurang baik untuk meminta maaf satu sama lainnya yang ditandai dengan bersalaman. Jadi ketika bersalaman usai, maka usai pulalah perkara. Melihat itu, ingin rasanya lebih lama lagi disini,tidak cukup untuk waktu yang kurang dari empat bulan itu. Melihat mereka tumbuh secara fisik dan mental yang semakin baik.
Bulan ramadhan merupakan bukan belajar, selama bulan ramadhan sebenarnya disepakati agar kami bertilawahan sebelum memulai pelajaran. Namun karena kebanyakan dari mereka belum mencapai Al Qur’an bacaannya (masih Iqra’, red). Sempat terjadi kehebohan antara yang telah bisa membaca Al Qur’an dan yang belum. Meredam kehebohan tersebut, saya mengambil jalan tengahnya saja dengan meminta mereka agar melantunkan surah Al Fatihah dan dlanjutkan dengan surah-surah pendek yang berbeda di tiap harinya. Akhirnya mereka pun tenang dan saya lega karena keputusan itu ternyata cukup mampu mengakomodir keinginan mereka. Beberapa hari ini, belum ada yang meminta kegiatan ini berhenti ataupun protes karena mereka belum menghafal surah yang saya minta untuk dilantunkan. Dan, saya, mereka menikmati aktivitas ini. Penanaman moral memang harus dimulai dari hal-hal yang kecil (bagi saya setidaknya selama ramadhan mereka mulai mengeluarkan kata-kata yang indah dalam bahasa surga, dan semoga ini bisa menjadi sugesti ke jaringan-jaringan saraf di otak-otak mereka yang akan membawa mereka menjadi manusia yang memiliki good behaviour and good morality). Semoga ini bisa berjalan dengan baik hingga akhir ramadhan nanti. Amin.
Hari ini saya lupa bahwa akan ada hanya tiga guru di sekolah (ini akan berlaku di setiap hari kamis, jum’at dan sabtu). Sebenarnya sangat merasa bodoh ketika menjadwalkan murid-murid kelas 5 untuk belajar matematika. Karena sejak awal kedatangan, saya merasa bahwa matematika adalah pelajaran yang cukup menantang dan dibutuhkan totalitas (kayak iklan saja =)). Hari itu saya harus mengajar matematika di kelas 5, bahasa indonesia dan matematika di kelas satu dan dua. Jadilah, saya berpindah-pindah dari kelas lima untuk berdiskusi dengan mereka lalu memberi latihan kemudian pindah ke kelas satu,ke kelas lima, ke kelas satu lagi,ke kelas 5 lagi...pemandangan itu terlihat hingga waktu istirahat tiba dan adik-adik kelas satu pulang bergantian dengan kelas dua. Kelas dua?? Kalau kelas satu tadi jumlahnya hanya belasan siswa, kelas dua berjumlah sekitar 30 siswa dengan siswa yang tergolong super aktif. Untuk menenangkan mereka, satu-satunya cara adalah meminta mereka menggambar kemudian memberikan apresiasi sebesar-besarnya terhadap gambar mereka nantinya.
Waktu istirahat untuk kelas lima cukup, sementara anak-anak kelas dua masih asyik menggambar, controlled condition, yang berarti kesempatan untuk melanjutkan materi matematika di kelas lima saat itu. Setelah meminta izin sebentar dengan murid-murid kelas dua, saya pun pindah ke kelas lima untuk melanjutkan materi yang tertunda tadi. Hari itu kelas lima belajar tentang bilangan bulat yang dimulai dengan membuat garis bilangan masing-masing di karton kuning yang telah saya potong menggunakan gunting bergerigi. Ketika sedang asyik kami menyanyikan lagu yang berjudul garis bilangan (dinyanyikan dengan nada yang sama dengan nada “lihat kebunku”), priya (murid kelas 2) tiba-tiba datang dan berkata ayo bu periksa gambar kelas 2, kami sudah selesai..tetoottt (batinku). Kemudian ke kelas dua dan yeahh, yang gambarnya sudah selesai seketika menyerbu dengan membawa buku gambar mereka masing-masing. Seperti biasa lagi, pancingan lagu “kalau kau suka hati tepuk tangan dan diakhiri dengan kalau kau suka hati duduk rapi....” sepertinya cukup ampuh untuk menenangkan anak-anak super lincah ini. Kondisi kelas hening sejenak, walaupun ada yang terlihat resah dan gelisah sambil garuk-garuk kepala dengan tangan kiri dan buku gambar di tangan kanan. Ini kesempatan untuk memberi instruksi agar pemeriksaan gambar mereka lebih tertib. Saya kemudian meminta mereka agar melantunkan surah Al Fatihah dan Surah Al Ikhlas apabila ingin gambarnya diperiksa. Ini benar-benar ampuh, entah (mungkin malu atau juga ada yang masih belum terlalu hafal..). Tapi ternyata kondisi tenang tidak terlalu lama karena ternyata sejenak kemudian mereka seolah-olah sungguh excited dengan tawaran barusan. Giliran pertama adalah fatma dan fatma membuat danu terpancing lalu priya, husein, kemudian susi. Begitu selanjutnya hingga Uswah dan Binti tiba-tiba maju dan berkata kami berdua ya bu. Uswah yang bertubuh besar tanpa jilbab hari itu dan Binti yang bertubuh kecil. Mereka bergandengan seperti saling menjaga satu sama lainnya. Beberapa temannya ada yang tertawa melihat mereka, saya juga kurang mengerti =). Karena banyaknya jumlah siswa, jadilah belajar matematika di kelas lima tidak tuntas (untuk ke sekian kaliny). Dan untungnya, menjadi wali kelas membuka ruang bagi saya untuk sedikit mengubah jadwal pelajaran mereka. Karena waktu sekolah telah usai dan saya meminta mereka tetap melanjutkan pelajaran matematika seok harinya..
Di rumah ...
Menjelang maghrib, saya, ibu, dan lilis sedang berada di dapur. Tak lama terdengar langkah-langkah kecil yang sedang berlarian menuju satu tempat. Kami mengabaikan, karena kami pikir suara itu tidak akan menuju ke rumah.
Lima menit sebelum berbuka...
“BU YUNIIIIIIIIIIIIIIII...........”
Empat anak serentak memanggil nama, saya bergegas keluar, khawatir dengan sumber teriakan itu.
Ternyata ada fatma, danu, nurul dan ranti yang sedang menunggu di luar rumah.
“Bu kami mau buka puasa disini ya bu dengan bu yuni, ini kami bawa bontot (bekal makanan) kok bu”. Terpana melihat mereka, melihat usaha untuk dekat dengan saya (ueeewwwaaaaahhhh, GR..siapa yang bilang?).
Tentu saja saya jawab, terima kasih ya, tentu kalian boleh buka puasa disini. Kalau begitu ayo bu, mereka menarik tanganku ke teras rumah. Dan, hap, mereka mengangkat bontot mereka yang telah mereka siapkan di dalam sebuah kantong plastik. Sungguh, dengan bekal buka puasa yang sederhana tapi merupakan buka puasa yang mewah. Bagaimana tidak? Jika buka puasa itu dihiasi dengan tawa-tawa renyah mereka yang tanpa beban dan tanpa dibuat-buat. Ramadhan kali ini memang sedikit spesial bagi saya, karena memiliki kesempatan berpuasa dengan danu, fatma dan mereka, apalagi hari ini, kedatangan mereka seketika menghapus penat dan dahaga hari ini. Buka puasa termewah yang pernah saya rasakan.
Keesokan harinya, melanjutkan pelajaran matematika yang belum tuntas kemarin. Hari ini agak sedikit terbantu, karena saya tidak harus mengajar lebih dari satu kelas. Hari ini, dimulai lagi dengan menyanyikan lagu garis bilangan (perulangan ternyata penting untuk membantu me-remind). Yah, mereka cukup menangkap, terlihat dari latihan-latihan di awal yang saya berikan. Sampai pada akhirnya evaluasi, ada sepuluh soal. Yeah, tak disangka dan tak diduga lagi Beni yang baru setahun ini lancar membaca, menjawab semua soal dengan cepat dan tepat, disusul wayan yang diduga hanya memiliki bakat seni (menggambar). Hari ini terbukti lagi, bahwa sebenarnya tidak ada anak yang bodoh. Yang lainnya mendiskusikannya dengan saya, beberapa masih ada yang salah ketika ingin saya beri nilai mereka bertanya dulu, bu yang benar berapa? Saya menjawabnya dengan masih ada tiga yang belum benar, mereka langsung meminta di buku mereka dan berkata bu saya benerin dulu ya bu....Ada juga yang bertanya bu yang salah ada berapa bu? Saya kemudian menjawab dengan masih ada dua yang salah, anak itu kemudian mengambil bukunya dengan wajah lemas sambil menunduk seperti seorang yang putus asa karena diPHK dari kantornya #sunggguuuuhhhhlebaayyy#.
Saat itu saya belajar tentang pentingnya kata-kata positif bagi mereka. “Masih salah” dan “belum benar” memang memiliki arti yang sama, namun ternyata maknanya berbeda bagi mereka. Belum benar memiliki arti yang lebih positif, karena seolah-olah membuat mereka tersugesti untuk tidak menyerah, terus belajar. “Masih salah” lebih negatif dan membuat mereka tersugesti untuk menyerah atau putus asa saja.
Ramadhan memang bulan belajar. Selamat membaca dan belajar.
Ini cerita minggu pertama ramadhanku bersama mereka...
How about you??
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda